Subscribe:

Mari Membaca

Ads 468x60px

Social Icons

Kamis, 03 Desember 2009

Pendahuluan


Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya al-kitab (al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya:sebagai bimbingan yang lurus. Untuk memperingatkan akan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah Dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang beriman yang mengerjakan amal soleh bahwa mereka akan mendapatkan pembalasan yang baik: Mereka kekal di dalam nya untuk selama-lamnya. (al-kahfi:1-3)
Shalawat dan salam bagi Nabi yang mu’jizatnya Al-Quran,Akhlaknya Al-Quran.Penghias dadanya,cahaya hatinya juga penghilang kesedihan nya adalah Al-Quran: Nabi Muhammad bin Abdullah dan keluarganya serta para sahabatnya yang beriman dengannya,mendukung dan membantunya serta mengikuti cahaya yang di turunkan kepadanya.merka adalah orang-orang yang beruntung dan seluruh orang yang mengikutinya dengan baik hingga hari kiamat.
Rabb kita telah memberikan kemulyaan kepada kita -sebagi kaum muslimin- dengan menganugrahkan kitab suci yang terbaik yang di turunkan kepada ummat manusia,Rabb kita juga telah mengutus Nabi terbaik yang pernah di utus kepada manusia.sesuai firman Allah SWT:

10. Sesungguhnya Telah kami turunkan kepada kamu sebuah Kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya? (al-anbiya:10)
Kita lah kaum muslimin satu-satunya ummat yang memiliki manuskrip langit yang paling autentik yang mengandung firman Allah SWT yang terakhir yang diberikan untuk menjadi petunjuk bagi ummat manusia yang membedakan antara yang hak dengan yang batil.dan anugerah it terus terpelihara dan terjaga dari perubahan dan pemalsuan kata maupun makna.inilah yang sepatutnya kita syukuri sebagi kaum muslimin yang beriman kepada Allah dan Rosul-Nya.

Disini kami coba menguraikan redaksi ayat yang terkandung di dalam surat Al-BAqarah ayat 89 baik makna kalimat,asbab An-Nuzul, munasabah ayat sebelum maupun sesudahnya beserta penafsiranya.yang berkenaan dengan pengingkaran orang-orang yahudi, yang menjual kebenaran dengan kebathilan serta menyembunyikan apa yang dibawa Nabi Muhammad SAW dan enggan untuk menjelaskan dan mengimaninya.












Terjemahan Ayat

“Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, Padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.” (al-Baqarah: 89)

A. Makna Kalimat
كتاب: kitab yang dimaksud dalam ayat ini adalah al-Qur’an seperti yang diungkapka oleh Imam Ali as-Shabuni “dia adalah al-Qur’an yang agung yang diturunkan kepada penutup para Rasul sebagai pembenar apa yang ada dalam Taurat”.
يستفتحون: maksudnya adalah meminta pertolongan Allah dengan pengutusan Nabi Muhammad saw., dikatakan juga bahwa sekali waktu mereka menggunakan berita pengutusan Nabi dari manusia dan menyimpulkan dari kitab-kitab mereka. Dikatakan juga bahwa mereka memohon kemenangan dari Allah dengan menyebut nama beliau, dan dikatakan juga bahwa mereka berkata “sesungguhnya kami benar-benar akan menolong Muhammad dari para penyembah berhala”.

B. Sababun Nuzul
Ada lima perbedaan pendapat berkaitan dengan sebab turunnya ayat ini. Pertama, sesungguhnya sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw., dan diturunkannya al-Qur’an, mereka selalu memohon pertolongan, mereka berkata: “Ya Allah berilah keputusan serta pertolongan dengan Nabi yang ummi”. Kedua, menurut Ibnu Abbas, mereka berkata kepada musuh-musuh mereka pada waktu berperang: “Inilah seorang Nabi yang telah sampai masanya yang akan menolong kita membawa kemenangan atas kalian”. Ketiga, menurut Abi Muslim, mereka menanyakan kepada orang-orang Arab tentang hari kelahirannnya dan mensifatinya dengan begini dan begini..dan mereka mencari (kesesuaian berita pengutusan Nabi Muhammad) kepada orang-orang yang inkar atau kaum musyrikin Arab. .keempat, menurut Ibnu Abbas, Qatadah dan Suddi, ayat ini turun berkaitan dengan Bani Quraidzah dan Bani Nadr. Mereka meminta petolongan kepada Kaum Aus dan Khazraj dengan (menyebutkan berita gembira) tentang Rasululah sebelum pengutusannya. Kelima, ayat ini turun berkaitan dengan para rahib Yahudi. Jika mereka membaca dan menyebutkan Muhammad di dalam Taurat bahwa dia akan diutus dan merupakan keturunan Arab, mereka bertanya kepada kaum musyrikin Arab pada waktu itu berkaitan dengan tentang kedua sifat ini, agar mereka tahu apakah dia dilahirkan di tengah-tengah mereka agar sesuai kondisinya dengan kondisi pengutusannya.
Jika kita menganalisis, dari uraian diatas, pada dasarnya orang-orang yahudi itu bukan tidak tahu berita tentang akan diutusnya Nabi akhir zaman yang mereka yakini kedatanganya berdasarkan kitab taurat, buktinya mereka sering berdo’a dan menyebut-nyebut kedatangan utusan Nabi yang ummi agar mereka dimenangkan dari lawan-lawan mereka.tiada lain yang menyebabkan mereka inkar adalah dikarenakan sifat hasud dan dengki mereka.



C. Munasabah

Munasabah (hubungan) dengan ayat sebelumnya:
Setelah Allah mengabarkan kepada kita pernyataan orang-orang Yahudi akan ketertutupan hati mereka dari hidayah Allah serta laknat yang mereka terima disebabkan oleh keinkaran mereka, sehingga sedikit sekali di antara mereka yang beriman dan berpegang teguh kepada tali Allah. Maka, pada ayat ini Allah memperinci dengan sangat jelas awal apa bentuk keinkaran mereka, dan ayat ini juga memberikan keterangan penguat dari laknat yang sudah disebutkan pada ayat sebelumnya.

Munasabah (hubungan) dengan ayat sesudahnya:
Setelah Allah menjelaskan secara terperinci bentuk keinkaran mereka, serta keterangan penguat dari laknat yang sudah disebutkan pada ayat sebelumnya, maka, pada ayat ini Allah menjelaskan betapa buruknya keingkaran mereka. Karena keingkaran mereka disimbolkan seperti orang yang menjual diri mereka sendiri. Namun pada ayat ini Allah juga menyebutkan kedengkian sebagai sebab dari keinkaran mereka. Di samping kedua hal itu, pada ayat ini disebutkan juga bahwa mereka akan mendapatkan murka dan siksa yang pedih. Jadi, jelas sekali hubungan antara ketiga ayat ini dan di antara ketiganya saling menjelaskan.
Disini kita bisa melihat segi kemi’jizatan dan keindahan Al-Qur’an, antara ayat yang satu dengan yang lainya saling berpadu mengokohkan dan membenarkan dan tidak bertentangan.

82. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.


D. Penafsiran
Secara umum ayat ini menerangkan tentang sikap orang-orang Yahudi sebelum dan setelah diutusnya Nabi Muhammad saw., namun untuk lebih memperinci penafsirannya ada baiknya kita membaginya ke dalam beberapa potongan ayat:
Pertama, sikap orang-orang Yahudi sebelum diutusnya Nabi Muhammad
ولما جاءهم كتاب من عند الله مصدق لمامعهم وكانوامن قبل يستفتحون على الذين كفروا
Fakhruddin Ar-Razi mengatakan bahwa semua ahli tafsir sepakat yang dimaksud dengan “kitab” dalam ayat ini adalah al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri merupakan pembenar dari kitab-kitab yang turun kepada mereka sebelumnya. Al-Alusi mengatakan “Hal itu karena dia (al-Qur’an) mencakup segala berita yang berkaitan dengan kitab-kitab sebelumnya, maka membenarkannya memang dibutuhkan. Dan karena nilai kemukjizatannya, dia tidak membutuhkan lagi untuk membenarkan yang lain (selain kitab-kitab sebelumnya)”. Pendapat yang lebih spesifik diungkapkan oleh Syaikh Nawawi al-Bantani, “(yang dimaksud dengan “mushaddiqun”) yaitu sesuai dengan apa yang terdapat dalam kitab Taurat, baik dalam persoalan tauhid maupun sifat Nabi Muhammad yang mereka dustakan”.
Mereka memohon pertolongan (untuk memenagkan perang) atas kaum musyrikin jika mereka memerangi, dan mereka mengatakan: “Ya Allah tolonglah kami dengan Nabi yang diutus di akhir zaman yang kami temukan perangainya dan sifatnya di dalam Taurat”.

Kedua, sikap orang-orang Yahudi setelah diutusya Nabi Muhammad saw.
فلماجاءهم ماعرفواكفروابه
Yang dimaksud dengan apa yang mereka ketahui di sini menurut az-Zamakhsyari adalah kebenaran (dari berita pengutusan Nabi Muhammad seperti yang terdapat dalam kitab Taurat mereka). Namun pendapat yang lebih spesifik disampaikan oleh Wahbah Zuhaili, “setelah datang kitab dari sisi Allah yaitu al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad, sebagai pembenar bagi Taurat, serta sebagai penguat sifat Nabi yang mereka ketahui di antara mereka, mereka kemudian inkar karena sikap hasud kepada masyarakat Arab dan menyangkal apa yang telah mereka akui, serta sombong dalam menerima dan menjawab ajakannya, sebagai bentuk penghinaan atas semua Rasul, padahal mereka tahu bahwa beliau adalah utusan Allah”.
Ar-Razi menjelaskan beberapa hal yang menyebabkan mereka inkar setelah diutusnya Nabi Muhammad saw. Pertama, mereka menduga Nabi terakhir yang diutus ini berasal dari keturunan Bani Israel, karena sebelumnya nabi-nabi yang diutus mayoritas dari keturunan mereka. Dan mereka memberi kabar gembira serta mengajak manusia ke dalam agama mereka. Maka, tatkala Allah mengutus Nabi Muhammad, orang Arab yang justru dari keturunan Ismail, hal itu jelas memberatkan mereka sehingga kemudian mereka memperlihatkan kedustaan dan mengingkari jalan yang telah mereka yakini sebelumnya. Kedua, dengan melegitimasi kenabian Muhammad, maka hal itu mengharuskan mereka melepaskan kekuasaan dan harta mereka. Oleh karena itu mereka pun menolak dan terus mengingkarinya. Ketiga, mungkin juga mereka menganggap bahwa Nabi Muhammad hanya diutus untuk masyarakat Arab saja. Maka dari itu mereka pun mengingkarinya.

Ketiga, laknat Allah kepada orang-orang kafir.
فلعنة الله على الكافرين
Syaikh Nawawi al-Bantani mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan laknat Allah adalah dijauhkannya seseorang oleh Allah dari segala kebaikan akhirat. Alasan dari pendapat beliau ini dijelaskan oleh Ar-Razi “karena orang yang dijauhkan dari kebaikan-kebaikan dunia saja sebenarnya dia belum bisa disebut sebagai orang dilaknat”.
Namun, dari potongan ayat yang terakhir ini ada beberapa perbedaan penafsiran, apakah yang dimaksud dengan orang-orang kafir di sini hanya terbatas kepada orang-orang Yahudi saja atau juga berlaku bagi golongan selain mereka.
Pertama, adalah para mufassir yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang inkar di sini adalah khusus bagi orang-orang Yahudi saja. As-Shabuni mengatakan “Yaitu laknat Allah atas orang-orang Yahudi yang inkar akan (pengutusan) Nabi Muhammad sebagai penutup para Rasul.” Pendapat ini diperkuat oleh Abu Hayyan al-Andalusi “Ketika Kitab (al-Qur’an) datang dari sisi Allah, mereka mengingkarinya dan menutupi apa yang telah mereka akui sebelumnya. Hal itu merupakan penghinaan kepada pengutus (Allah) dan yang diutus (Muhammad). Allah pun mencapakkan kehinaan dan pengusiran kepada mereka. Penyebutan “laknat Allah” merupakan bentuk mubalaghah (berlebih-lebihan). Karena siapapun yang dilaknat Allah maka, dia memang benar-benar dilaknat”.
Kedua, mufassir yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang inkar dalam potongan terakhir ayat ini adalah orang-orang Yahudi dan golongan-golongan selain mereka. Wahbah Zuhaili mengatakan “Maka laknat Allah bagi setiap orang yang inkar baik dari Yahudi dan selain mereka. Karena (objek) kufur (dalam ayat ini) adalah terhadap dakwah Islam”.

E. Kesimpulan

Dari penjelasan-penjelasan yang sudah penulis paparkan di atas, ada beberapa hal yang bisa kita tarik sebagai kesimpulan:
 Secara umum ayat ini menerangkan tentang sikap orang-oarang yahudi. baik sebelum maupun sesudap diutusnya Nabi Muhammad SAW.
 Sebelum diutusnya nabi Muhammad SAW mereka orang-oarang yahudi selalu memohon kepada Allah agar mereka di beri keputusan dan pertolongan dari Nabi yang ummi.
 Bahawa, pengutusan Nabi Muhammad SAW itu sebelumnya sudah diberitakan di dalam kitab taurat. Baik dari keturunan siapa, maupun yang menjadi sifat-sifatnya.
 Al-Qur’an adalah pembenar dari kitab-kitab yang di turunkan sebelumnya, dan karena nilai kemu’jizatanya dia tidak butuh lagi untuk membenarkan yang lain, selain kitab-kitab sebelumnya.
 Ayat-ayat Al-Qur’an itu saling berkaitan. baik antara ayat yang satu dengan ayat yang lainya, saling menguatkan dan membenarkan.
 Ada beberapa faktor yang menyebabkan orang-orang yahudi inkar:
a. Karena kedengkian dan sifat hasud mereka.
b. Karena Nabi Muhammad SAW di utus dari keturunan orang arab.
c. Mereka mengira Nabi Muhammad SAW di utus khusus untuk orang-orang arab saja.
 Mengutif pendapat Wahbah Zuhaili, bahwa laknat Allah itu bagi setiap orang yang inkar baik yahudi maupun selain mereka. Karena (objek) kufur (dalam ayat ini) terhadap dakwah islam
DAFTAR PUSTAKA

Ar-Razi, Fakhruddin, Tafsir al-Fakhrurrazi Jilid I, Beirut: Darul Fikr, 2005, Cet.
Al-Khawarizmi, Abi al-Qasim Jarullah Mahmud bin Umar az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf Juz I, Fijalah: Maktabah Misra, tth.

Al-Gharnathi, Muhammad Yusuf Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahrul Muhith Juz I, Beirut: Darul Fikr, 1992.

Al-Baghdadi, Abul Fadl Shihabuddin as-Sayyid Mahmud al-Alusi, Ruh al-Ma’ani Juz I, Beirut: Darul Fikr, 1994.

Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Shafwah at-Tafasir Jilid I, Kairo: Darul Hadis, tth.
Az-Zuhaili, Wahbah, At-Tafsir al-Munir Jilid I, Damaskus: Darul Fikr, 2007.

Al-Jawi, Muhammad Nawawi, Marah Labid Tafsir al-Munir Juz I, al-Haramain Jaya.

al-Ashfahani, Abi al-Qasim al-Husain bin Muhammad bin al-Mufaddal ar-Raghib, Mufradatu Alfadl al-Qur’an, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, 2008.

Zakat Profesi

A.PEDAHULUAN
Zakat merupakan salah satu kewajiban yang harus di laksanakan oleh setiap orang islam yang beriman dan mampu secara syara’ karena termasuk rukun islam yang ke tiga. Sedangkan zakat itu sendiri menurut para ulama’ ada dua macam yaitu;zakat mal dan zakat fitrah. Zakat mal(kekayaan) yang wajib di keluarkan zakatnya para ulama’ berbeda pendapat tentang jenis kekayaan yang wajib di zakati, Ada yang mengkategorikan penghasilan tetap atau profesi termasuk sesuatu yang harus di keluarkan zakatnya kalau sudah memenuhi syarat dan ada yang tidak. Menurut Prof. Dr. M. Yusuf Qardhawi, di antara harta benda yang wajib di keluarkan zakatnya adalah zakat pencarian dan profesi serta zakat saham dan obligasi. Dalam makalah ini kami akan mencoba membahas tentang zakat profesi. Bagaimana hukumnya, profesi apa saja yang wajib zakatnya, dan sebagainya. Oleh karena itu kritik, saran dan masukan dari teman-teman sangat kami harapkan guna sempurnanya makalah ini, tak lupa kami ucapkan beribu-ribu terima kasih kepada Ibu Asriati M.A yang telah membimbing dan mengarahkan kami hingga makalah ini bisa terselesaikan. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.
B.PENGERTIAN
Zakat berasal dari kata dasa’’zaka’’artinya berkah,tumbuh,bersih dan baik. Menurut etimologi zakat adalah mengharap berkah,membersihkan jiwa. Sedangkan menurut terminologi zakat adalah;
1.Sejumlah harta tertentu yang di wajibkan oleh Allah di serahkan kepada orang-orang yang berhak.
2.-Mengeluarkan sebagian dari harta benda atas perintah Allah, sebagai sedekah wajib kepada mereka yang telah ditetapkan menurut syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hokum islam.
3.Sejumlah harta yang di keluarkan oleh seseorang dari haknya Allah kepada fakir miskin.
Menurut pemerintah DKI Jakarta, jenis kekayaan yang wajib dikelurarkan zakatnya adalah:
a. Tumbuh-tumbuhan
b. Emas dan perak
c. Perusahaan, perdagangan, pendapatan dan jasa
d. Binatang ternak
e. Penghasilan tetap
Menurut Prof. Dr. M. Yusuf Qardhawi, harta benda yang wajib dikeluarkan hartanya adalah sebagai berikut:
a. Zakat binatang ternak
b. Zakat emas dan perak
c. Zakat kekayaan dagang
d. Zakat pertanian
e. Zakat madu dan produksi hewani
f. Zakat investasi pabrik, gedung dan lain-lain
g. Zakat pencarian dan profesi
h. Zakat saham dan obligasi

B.PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN ZAKAT PROFESI
Zakat Profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi (hasil profesi) bila telah mencapai nisab. Profesi tersebut misalnya pegawai negeri atau swasta, konsultan, dokter, notaris, akuntan, artis, dan wiraswasta.
Firman Allah :

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. ( QS.Al-Baqarah : 267 )

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”. (QS.At-Taubah : 34 )


“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. ( QS.At-Taubah : 103 )

Pada masa Nabi Muhammad, kehidupan perekonomian lebih banyak bertumpu pada sector pertanian dan peternakan. Sekarang, kehidupan perekonomian lebih banyak berkisar pada sector industri dan jasa.

Perlu diketahui bahwa dalam tataran fiqih Islam, penghasilan yang diperoleh wiraswastawan, seperti dokter atau konsultan, dikenal dengan istilah al-maal al-mustafad. Itulah perkembangan ekonomi umat manusia.

Maka tidak mengherankan, banyak jenis kekayaan berikut rinciannya yang sangat menonjol dan terkadang menjadi kebanggaan kelas yang belum disinggung sama sekali oleh Rasulullah SAW. Kategori tijarah masih terbatas pada jual-beli barang, belum mencakup jual-bali jasa keahlian atau profesi. Namun itu tidak berarti kekayaan tersebut
Tidak wajib dizakati walau Nabi tidak membicarakannya.

Menyangkut soal zakat profesi ini, memang ada beragam pendapat. Banyak Ulama yang mewajibkan zakat atasnya, tetapi tidak sedikit Ulama yang tidak mewajibkannya dan sebagai konsekuensinya ia hanya membayar infak. Dua argument mereka bisa dilacak dan ditelusuri, diantaranya :

a. Kata anfiqu pada surah Al-Baqarah ayat 267 serta surah At-Taubah ayat 34 tidak bisa diartikan sebagai “zakat”, mestilah menggunakan lafazh al-shadaqaat atau al-zakah.
b. Kata maa kasabtum dalam surah Al-Baqarah ayat 267 dinilai kelompok ini sebagai ‘am yang makhsus. Yakni ‘am yang telah ditakhsis (dikhususkan) dengan zakat tijarah (perdagangan). Ketetapan ini telah diberlakukan pada zaman Nabi SAW. Oleh karena itu, tidak dibenarkan menambah lagi dengan zakat jenis baru, misalnya zakat profesi. Hal ini sesuai dengan kaidah ushul fiqih yang berbunyi: “Menggunakan dalil ‘am sesudah di- takhsis itu tidak dapat diterima”.
c. Zakat itu merupakan ibadah mahdah. Oleh karena itu ia tidak dapat berdasarkan ijtihad tetapi harus melalui dalil dan keterangan yang betul-betul tegas, jelas dan valid. Hal ini sesuai dengan kaidah: “Pada dasrnya ibadah itu terlarang sehingga ada dalil yang memerintahnya”.
d. Sesuai dengan makna surat Al-Maaidah ayat 3 bahwa agama Islam itu adalah agama yang sudah sempurna. Manusia tidak dapat dibenarkan membuat ketentuan-ketentuan baru, baik yang bersifat menambah atau yang bersifat mengurangi. Menetapkan adanya hukum wajib bagi zakat profesi sama halnya dengan memberikan ketentuan tersebut, dan hal itu dilarang.

Demikianlah argumen yang disodorkan oleh mereka yang menolak kewajiban zakat profesi ini.

Jika kita amati nash, baik dalam Al-Qur’an maupun hadits, tidak akan dijumpai adanya zakat profesi sebagaimana tidak akan dijumpai kewajiban zakat untuk mata uang, sertifikat berharga, saham, dan obligasi. Namun hal itu tidak berarti bahwa harta-harta tersebut tidak wajib dizakati.

Menyangkut zakat profesi, baik MUI maupun BAZIS DKI telah menetapkan kewajiban zakatnya. Memang zakat adalah ibadah mahdah ( ibadah murni ) tapi mahadah maaliyyah. Artinya, ibadah yang sangkut-pautnya dengan masalah harta; jika ada harta dan cukup nishabnya maka wajib zakat atasnya. Berbeda dengan shalat yang dikenal dengan mahdah badaniyyah ( ibadah yang bersangkut-paut dengan fisik ) atau dengan haji yang disebut mahdah badaniyyah wa maaliyyah ( ibadah yang bersangkut-paut dengan fisik dan harta ). Demikian pula dengan profesi. Profesi apa saja yang ia lakukan, jika ada harta dan cukup nashab, maka kewajiban zakat sudah datang kepadanya.

Semuanya tetap wajib dizakati dengan jalan menganalogikan dengan kewajiban harta lainnya. Alasannya, profesi adalah pekerjaan, maka setiap orang yang bekerja, baik dokter, konsultan bahkan petani pedagang semuanya adalah profesi ( dan karena itu harus mengeluarkan zakatnya dari profesi yang digelutinya ). Dalam pertanian kadar zakatnya 5-10% dan dalam perdagangan 2,5%. Semua itu didasarkan pada profesinya masing-masing sebagai petani atau pedagang. Maka jika dalam pertanian dan perdagangan saja ada zakatnya, mengapa pada profesi lainnya tidak?

Di samping itu adalah bahwa kata maa kasabtum dalam surah Al-Baqarah ayat 267 itu bersifat umum, meski sudah ddi-takhsis-kan oleh berbagai hadits dan dalil lainnya. Norma hukum yang terdapat baik dalam surah Al-Baqarah tersebut maupun dalam hadits-hadits lainnya yang dinilai pihak pertama sebagai pen-takhsis adalah sama. Oleh karena itu keumuman kata maa kasabtum tersebut tetap berlaku secara utuh, termasuk harta yang dihasilkan melalui profesi tertentu. Pemahaman seperti ini sesuai dengan kaidah ushul fiqih yang berbunyi : “Menyebutkan sebagai satuan dari lafazh ‘aam yang sesuai dengan hukumnya, tidak mengandung ketentuan takhsis”.

Selain itu, juga perlu diketahui bahwa zakat itu mengandung makna ijtima’iyyah. Fungsi zakat, seperti disebutkan dalam berbagai ayat Al-Qur’an dan Hadits adalah untuk merealisasikan keadilan yang menjadi tujuan Islam, mensucikan harta benda dan mempersempit jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Untuk itu, mewajibkan zakat profesi sekalipun tidak ada teks khusus yang secara tegas dan jelas mengupas masalah ini, namun dengan melihat fungsi dari zakat itu sendiri, kiranya mewajibkan zakat profesi adalah lebih dekat dengan semangat dan rooh dari zakat itu sendiri.

Dalam Al-Qur’an secara tegas dinyatakan ,” Nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik”. (QS. Al-Baqarah : 267 ). Kata kasabtum dadlam ayat di atas, dalam istilah sekarang adalah zakat profesi. Maka ayat di atas juga sekaligus menegaskan kewajiban adanya zakat profesi.


2. BESAR KADAR ZAKAT PROFESI

Sebelum membahas kadar besarnya zakat profesi, perlu didudukkan bahwa profesi itu ada yang tradisional seperti petani dan nelayan, dan ada juga profesi yang professional penghasilannya seperti konsultan dan dokter. Jadi tidak dapat disamakan antara mereka yang berprofesi nelayan dengan mereka yang berprofesi konsultan. Demikian pula, tidak dapat disamakan antara dokter yang sekali suntik Rp 5.000,- dengan dokter yang sekali suntik Rp 50.000,- Kalau besar zakatnya disamakan, tentu hal itu tidak adil.

Para pakar hukum Islam, seperti Dr. Yusuf Qardhawi, Dr. Abdul Halim Uwais dan Dr. Panjani mempunyai kecenderungan bahwa zakat profesi yang bisa mendapatkan hasil besar maka zakatnya bisa sampai 20% dengan diqiyaskan (dianalogikan) pada harta rikaz (harta temuan).

Akan tetapi kita harus tahu standard yang baku untuk semua zakat berkisar antara 2,5-20%. Setiap orang dapat berpendapat, tergantung ke mana ia menganalogikan. Kalau zakat profesi itu diqiyaskan pada zakat perdagangan, maka zakatnya adalah 2,5% dan jika pada zakat pertanian, maka kadar zakatnya berkisar antara 5-10%, sedangkan kalau pada barang temuan (rikaz), msks kadarnya sebesar 20%. Tapi kita harapkan kelak ada satu standar yang bisa dijadikan patokan bagi ummat.



C. KESIMPULAN

Zakat profesi wajib dikeluarkannya zakatnya apabila mencapai batas nisab. Dan nisabnya nishab zakat penghasilan dengan hasil pertanian. Nishabnya senilai 520 kg beras, sedangkan kadarnya dianalogikan dengan emas yaitu 2,5 %. Meskipun merupakan hasil ijtihad para ulama sekarang. Namun Rasa keadilan, serta hikmah adanya kewajiban zakat, mengantar banyak ulama masa kini memasukkan profesi-profesi tersebut dalam pengertian "hasil usaha kamu yang baik-baik" . Dengan harapan zakat akan dapat membersihkan dan menyucikan harta, dan menambah rasa syukur terhadap Allah atas rizki yang telah diberikan-Nya.




DAFTAR PUSTAKA

Yafie, Ali “Menjawab Seputar Zakat, Infaq dan Sedekah”, PT. Raja Grafindo Persada, 2002
Sabiq, Sayyid “Fikih Sunnah” Juz 1 MESIR, Darul fath, 1999
Fadlullah, Cholid “Mengenal Hukum Zis” BAZIS DKI JAKARTA,1993
Www muslim.or.id

Selasa, 24 November 2009

Larangan memerangi orang muslim

PEMBAHASAN
Hadits ke 8

عن ابن عمر رضي الله تعلى عنهما ꞉ ان رسول الله صلى الله تعلى عليه واله وسلم قال ꞉››ٲمرت ان ٲقاتل الناس حتى يشهدوا ٲن لا ٳله ٳلا الله وٲن محمدا رسول الله٬ ويقيموا الصلاة٬ ويًو توا الز كاة• فٳذا فعلوا ذالك ٬ عصموا منى د ماءهم و امو الهم الا بحق الا سلام٬ وحسا بهم على الله تعالى››• [رواه البحارى ومسلم]•

Dari Ibnu Umar r.a sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai ia mengucapkan laa ilaaha illallah, menegakkan sholat, dan mengeluarkan zakat. Barangsiapa telah mengucapkannya, maka ia telah memelihara darah dan hartanya kecuali karena alasan yang hak dan kelak Ta’ala. “ (HR. Bukhari dan Muslim)
Maraji’ul Hadits :
1. Shahih Bukhari, Kitabul Iman, Bab Fa in Tabuu Wa Aqamu As-Sholata. Hadits nomor 25.
2. Shahih Muslim, Kitabul Iman, Bab Al-Amru Bi Qitalin Naas Hatta Yaqulu Laa Ilaa Ilallah…. Hadits nomor 22.
3. Ad-Daruqthni I/232
4. Al-Baihaqi III/92, 367, VIII/177

Ahammiyatul Hadits :

1. Wajib memerangi kaum yang tidak masuk agama Allah atau membayar jizzyah.
2. Diperbolehkannya hukuman mati bagi setiap muslim jika dia melakukan
perbuatan yang menuntut dijatuhkannya hukuman seperti itu seperti : Berzina
bagi orang yang sudah menikah (muhshan), membunuh orang lain dengan
sengaja dan meninggalkan agamanya dan jamaahnya.
3. Dalam hadits ini terdapat jawaban bagi kalangan murji’ah yang mengira
bahwa iman tidak membutuhkan amal perbuatan.
4. Didalamnya terdapat dalil bahwa diterimanya amal yang zhahir dan
menghukumi berdasarkan sesuatu yang zhahir sementara yang tersembunyi
hanya urusan Allah.
Imam An-Nawawi berkata :
Sabdanya ٲمرت (aku diperintah....) hingga akhir hadits, di dalamnya berisikan dalil kemutlakan perintah dan pola katanya menunjukkan atas kewajiban.

Sabdanya,
فٲذا فعلوا ذالك عصموا مني دما ء هم وٲموالهم
“Jika mereka melakukan hal itu, maka telah terlindung dariku darah dan harta mereka.”
Di antara hak Islam ialah melaksanakan berbagai kewajiban. Barangsiapa meninggalkan kewajiban, boleh diperangi, seperti pemberontak, perampok, orang yang menolak membayar zakat, pezina muhsan (orang yang sudah nikah), orang yang meninggalkan sholat jum’at. Siapa yang mengucapkan dua syahadat, mendirikan sholat dan membayar zakat, maka darah dan hartanya dilindungi.
Imam Ibnu Daqiq berkata :
Ini adalah salah satu hadits berkaidah agama dan Anas juga meriwayatkan hadits ini dengan lafazh,
حتّى ييشهدوا ٲن لا اله الا الله وٲن محمدًا عبده ورسوله وٲن يستقبلوا قبلتنا وٲن يأ كلوا ذبيحتنا وٲن يّصلوا صلاتنا٬ فٳذا فعلوا ذالك حرّمت علينا دما ؤهم وٲملهم ٳلا بحقّها٬ لهم ما للمسلمين وعليهم ما على المسلمين̣
"Hingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, mereka menghadap kiblat kami, makan sembelihan kami, dan sholat dengan sholat kami. Jika mereka melakukan hal itu, maka diharamkan darah dan hartanya kecuali dengan hak. Mereka mendapatkan hak sebagaimana yang diperoleh kaum Muslimin lainnya dan mereka menanggung kewajiban sebagaimana yang berlaku atas kaum Muslimin lainnya.”
Dalam Shahih Muslim dari abu Hurairah disebutkan sabda beliau:
حتى يشهدوا ٲن لا ٳله الله ويًو منوا بي وبما جٮًت به
“Sampai mereka bersaksi tiada Tuhan kecuali Allah dan beriman kepadaku dan apa yang aku bawa”
Makna hadits ini ialah “Ketika Rasulullah SAW wafat dan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a dinobatkan sebagai khalifah sesudahnya, sementara sejumlah kalangan bangsa Arab menjadi kafir (murtad), maka Abu Bakar bertekad untuk memerangi mereka. Di antara mereka ada yang menolak membayar zakat, namun tidak menjadi kafir dalam artian mereka masih menyakini ke esaan Allah.. Maka Umar r.a berkata “Bagaimana mungkin anda akan memerangi manusia padahal mereka mengucapkan : la ilaha ilallah , sedangkan Rasulullah SAW bersabda “(Aku diperintahkan agar memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah….hingga akhir hadits?) Ash-Shiddiq menjawab, “Zakat adalah hak harta, ia melanjutkan, “Demi Allah, seandainya mereka menolak memberikan kepadaku anak kambing,-dalam suatu riwayat,-yang dulu mereka serahkan kepada Rasulullah, niscaya aku akan memerangi mereka karena penolakannya.’ Akhirnya, Umar pun mengikutinya dalam memerangi kaum tersebut.
Sabdanya,
ٲمرت ٲن ٲقاتل الناس حتى يقولوا ꞉ لا اله الا الله٬ فمن قال ꞉ لا اله الا الله فقد عصم مني ما له نفسه الا بحقه وحسابه على الله
“Aku diperintahkan agar memerangi manusia sehingga mereka berucap: Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Barangsiapa yang mengucapkan: la ilaha ilallah, maka terlindung dariku harta dan jiwanya, dan perhitungannya diserahkan pada Allah.”
Menurut al-Khaththabi dan selainnya, yang dimaksud dengan Annas disini ialah para penyembah berhala, kaum musyrikin Arab, dan kalangan yang tidak beriman selain Ahlul Kitab.
Syaikh Muhyidin An-Nawawi berkata: “ Di samping mengucapkan hal semacam itu ia juga harus mengimani semua ajaran yang dibawa Rasulullah SAW seperti yang disebutkan pada riwayat lain dari Abu Hurairah, yaiu kalimat ’sampai mereka bersaksi tiada Tuhan kecuali Allah, beriman kepadaku dan apa saja yang aku bawa.”
Syaikh Ibnu Utsaimin berkata:
ٲمرت (Aku diperintahkan). Yakni, Allah SWT memerintahkan kepadanya. Fa’il disembunyikan karena sudah dimaklumi. Karena yang memerintah adalah Allah SWT.
ٲقاتل الناس حتى يشهدوا (Untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi). Hadits ini bersifat umum, tapi ia dikhususkan dengan firmannya,

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasulnya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk,” (At-Taubah; 29)
Demikian pula sunnah menyebutkan bahwa manusia diperangi hingga masuk Islam atau menyerahkan jizyah (upeti).
Dalam hal ini pemakalah mempunyai pendapat sendiri yang didasari oleh pendapat Ibnu Syihab Az-Zuhri, bahwa mereka yang diperangi jika mereka satu kelompok yang kuat dan berpengaruh, maka mereka harus diperangi, sebagaimana orang yang menolak membayar zakat dan tidak mau mendirikan sholat, dan juga karena faktor mereka meninggalkan faktor yang lain yaitu, syahadatain, puasa dan haji.
Pendapat lain mengatakan, menurut mazhab Maliki dan Syafi’i, ia harus dibunuh sebagai hukuman jika yang ditinggalkan adalah sholat, sedangkan menurut Ahmad, Ishaq dan Ibnu Mubarak, ia harus dibunuh karena ia telah kafir. Adapun orang yang menolak membayar zakat, tidak mau puasa dan haji, menurut mazhab Syafi’i, ia tidak dibunuh, sedangkan menurut Imam Ahmad dalam pendapatnya yang paling masyhur, ia harus dibunuh.
Namun menurut penulis sesuai dengan konteks kekinian ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memahami hadits Nabi ini, Islam memerintahkan untuk melakukan pembunuhan terhadap orang-orang kafir atau orang Islam yang tidak menjalankan perintah agama sebelum melakukan pendekataan atau melakukan da’wah agama kepada mereka, namun apabila setelah di da’wah mereka masih tetap pada pendirian mereka/membangkang seperti kasus kalangan Arab yang enggan membayar zakat pada zaman khalifah Abu Bakar maka mereka inilah yang wajib untuk diperangi sehingga mereka kembali ke jalan islam yang sejati seperti sabda Nabi di atas.

Rabu, 11 November 2009

Hadits Ancaman Bagi Orang Yang Tidak Berpuasa

Ancaman Bagi Orang Yang Tidak Berpuasa Di Bulan Ramadlan Tanpa 'Udzur Syar'i

عن أبي هُرَيْرَةَ قالَ: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم "مَنْ أفْطَرَ يَوْماً مِنْ رَمَضَانَ منْ غَيْرِ رُخْصَةٍ ولا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِ عنهُ صَوْمُ الدّهْرِ كُلّهِ وإنْ صَامَهُ". رواه الترمذي

Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang berbuka (tidak berpuasa) sehari di bulan Ramadlan tanpa mendapatkan rukhshoh (keringanan) dan juga tanpa adanya sakit, maka seluruh puasa yang dilakukannya selama setahun tidak dapat menimpalinya (membayarnya)." (HR.at-Turmudziy)

عن أبي هُرَيْرَةَ قالَ: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم "مَنْ أفْطَرَ يَوْماً مِنْ رَمَضَانَ منْ غَيْرِ عِلَّةٍ ولا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدّهْرِ كُلّهِ وإنْ صَامَهُ" . ذكره البخاري معلقا

Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang berbuka (tidak berpuasa) sehari di bulan Ramadlan tanpa adanya alasan ('udzur) ataupun sakit, maka seluruh puasa yang dilakukannya selama setahun tidak dapat menimpalinya (membayarnya)." (HR.al-Bukhariy secara Ta'liq)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud, dia berkata, "Barangsiapa yang berbuka (tidak berpuasa) sehari di bulan Ramadlan tanpa adanya alasan ('udzur), maka tidak ada artinya puasa selama setahun hingga dia bertemu dengan Allah; jika Dia menghendaki, maka Dia akan mengampuninya dan bila Dia menghendaki, maka Dia akan menyiksanya." (Lihat, Fathul Bâriy, Jld.IV, h.161)

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah al-Bahiliy radliyallâhu 'anhu, dia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, 'Tatkala aku sedang tidur, tiba-tiba datang dua orang kepadaku, lantas meraih kedua lengan atasku, kemudian membawaku pergi ke bukit yang terjal. Keduanya berkata, 'Naiklah.' Lalu aku berkata, 'Aku tak sanggup.' Keduanya berkata lagi, 'Kami akan membimbingmu supaya lancar.' Maka akupun naik hingga bilamana aku sudah berada di puncak gunung, tiba-tiba terdengar suara-suara melengking, maka akupun berkata, 'Suara-suara apa ini?.' Mereka bekata, 'Ini teriakan penghuni neraka.' Kemudian keduanya membawaku pergi, tiba-tiba aku sudah berada di tengah suatu kaum yang kondisinya bergelantungan pada urat keting (urat diatas tumit) mereka, sudut-sudut mulut (tulang rahang bawah) mereka terbelah sehingga mengucurkan darah.' Aku bertanya, 'Siapa mereka itu?.' mereka menjawab, 'Merekalah orang-orang yang berbuka (tidak berpuasa) sebelum dihalalkannya puasa mereka (sebelum waktu berbuka).' " . (HR.an-Nasa`iy, di dalam as-Sunan al-Kubro sebagaimana di dalam buku Tuhfatul Asyrâf, Jld.IV, h.166; Ibn Hibban di dalam kitab Zawâ`id-nya, No.1800; al-Hâkim, Jld.I, h.430 . Dan sanadnya adalah Shahîh. Lihat juga, Kitab Shahîh at-Targhîb wa at-Tarhîb, No.995, Jld.I, h.420)

Demikianlah gambaran yang amat mengenaskan dari azab yang kelak akan dialami oleh mereka-mereka yang melanggar kehormatan bulan suci Ramadlan dan mengejek syi'ar yang suci ini dengan tidak berpuasa di siang bolong secara terang-terangan. Sungguh, mereka akan digantung dari ujung kaki mereka layaknya binatang yang digantung saat akan disembelih dimana posisi kakinya diatas dan kepala di bawah. Ditambah lagi, sudut-sudut mulut mereka juga akan terbelah dan mengucurkan darah. Kondisi tersebut benar-benar menjadi gambaran yang sadis dan mengenaskan.
Apakah setelah itu, mereka yang telah berbuat zhalim terhadap diri mereka sendiri, melanggar kehormatan bulan yang diberkahi ini, tidak mengindahkan kehormatan waktu dan hak Sang Khaliq dan menghancurkan rukun ke empat dari rukun Islam tanpa mau ambil peduli untuk apa mereka sebenarnya diciptakan tersebut, mau menjadikannya sebagai pelajaran berharga?

UCAPAN PARA ULAMA

Sementara para ulama menyatakan bahwa orang yang berbuka (tidak berpuasa) pada bulan Ramadlan tanpa 'udzur, maka dia telah melakukan salah satu dari perbuatan dosa besar (Kaba`ir).
Berikut beberapa ucapan para ulama:
1. Imam adz-Dzahabiy berkata, "Dosa besar ke-enam adalah orang yang berbuka pada akhir Ramadlan tanpa 'udzur.." (al-Kabâ`ir:49)
2. Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah berkata, "Bilamana orang yang muntah dianggap sebagai orang yang diterima 'udzurnya, maka apa yang dilakukannya adalah boleh hukumnya. Dengan begitu, dia termasuk kategori orang-orang sakit yang harus mengqadla puasa dan tidak termasuk pelaku dosa-dosa besar yang mereka itu berbuka (di bulan Ramadlan) tanpa 'udzur…" (Majmu' Fatawa:XXV/225)
3. al-Quffâl berkata, "…Dan barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadlan selain karena jima' tanpa 'udzur, maka wajib baginya mengqadla dan menahan diri dari sisa harinya. Dalam hal ini, dia tidak membayar kaffarat (tebusan) namun dia dita'zir oleh penguasa (diberi sanksi yang pas menurut mashlahat yang dipandangnya). Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan Daud azh-Zhahiriy…" (Hilyah al-Awliyâ`:III/198)
4. Syaikh Abu Bakar al-Jazâ`iriy sebagai yang dinukilnya dari Imam adz-Dzahabiy berkata, "…Sebagai yang sudah menjadi ketetapan bagi kaum Mukminin bahwa barangsiapa yang meningglkan puasa bulan Ramadlan bukan dikarenakan sakit atau 'udzur maka hal itu lebih jelek daripada pelaku zina dan penenggak khamar bahkan mereka meragukan keislamannya dan menganggapnya sebagai Zindiq atau penyeleweng…" (Risalah Ramadlan:66)

Seruan
Sesungguhnya orang-orang yang dengan terang-terangan berbuka (tidak berpuasa) di siang bolong pada bulan Ramadlan sementara kondisi mereka sangat sehat dan tidak ada 'udzur yang memberikan legitimasi pada mereka untuk tidak berpuasa adalah orang-orang yang sudah kehilangan rasa malu terhadap Allah dan rasa takut terhadap para hamba-Nya, otak-otak mereka telah dipenuhi oleh pembangkangan, hati mereka telah dipermainkan dan disentuh oleh syaithan dan gelimang dosa.
Mereka tidak menyadari bahwa dengan tidak berpuasa tersebut, berarti mereka telah menghancurkan salah satu dari rukun-rukun dien ini. Mereka adalah orang-orang yang fasiq, kurang iman dan rendah derajat. Kaum Muslimin akan memandang mereka dengan pandangan hina. Mereka termasuk para pelaku maksiat yang besar dan kelak di hari Kiamat, siksaan Allah Yang Maha Perkasa Lagi Kuasa telah menunggu mereka.
Semoga Allah menjauhkan kita dari hal itu, nau'ûdzu billâhi min dzâlik. Wallahu a'lam.

(Diambil dari buku ash-Syiyâm; Ahkâm Wa Adâb karya
Prof.Dr.Syaikh 'Abdullah ath-Thayyar, h.109-111)

Rabu, 21 Oktober 2009

Gender

IDENTITAS JENDER DALAM AL-QUR’AN

Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian; kita dilahirkan sebagai seorang lelaki atau perempuan. Gender adalah seperangkat peran, seperti halnya kostum dan topeng di teater, menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminim kultur dengan kultur yang lainnya. Gender dapat menentukan akses kita terhadap pendidikan, kerja, alat-alat dan sumber daya yang diperlukan untuk industri dan keterampilan. Gender bisa menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan kita bergerak.

Yang dimaksud dengan identitas jender dalam tulisan ini adalah nama-nama atau simbol-simbol yang sering digunakan dalam al-qur’an dalam mengunngkapkan jenis kelamin seseorang. Identitas jender dalam al-qur’an dapat dipahami melalui simbol dan bentuk jender yang digunakan di dalamnya. Dalam tulisan ini tidak akan dibahas secara detail mengenai shigah mudzakkar dan mu’annats yang lebih berorientasikan kepada yang lebih sering digunakan al-Qur’an dalam menggunakan jender seseorang. Istilah-istilah jender yang sering digunakan dalam al-Qur’an adalah :

A. ISTILAH YANG MERUJUK KEPADA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

Al-Rijal dan Al-Nisa
Kata al-rijal bentuk kata jama’ dari kata al-rajul, yang berasal dari akar kata ر ج ل yang derivasinya membentuk beberapa kata, seperti rajala (mengikat), rajila (berjalan kaki), al-rijl (telapak kaki), al-rijlah (tumbuh-tumbuhan), dan al-rajul berarti laki-laki.
Al-Ishfahani mengesankan adanya perbedaan kata al-rajul dan al-dzakar. yang pertama lebih berkonotasi jender (gender term) dengan menekankan aspek maskulinitas dan kejantanan seseorang, misalnya Q., s. al-An’am/6-9:
وَلَوْ جَعَلْنَاهُ مَلَكًا لَجَعَلْنَاهُ رَجُلا وَلَلَبَسْنَا عَلَيْهِمْ مَا يَلْبِسُونَ
Artinya :
Dan kalau Kami jadikan rasul itu malaikat, tentulah Kami jadikan dia seorang laki-laki dan (kalau Kami jadikan ia seorang laki-laki), tentulah Kami meragu-ragukan atas mereka apa yang mereka ragu-ragukan atas diri mereka sendiri.

Kata جلا ر dalam ayat ini tidak merujuk kepada jenis kelamin tetapi lebih menekankan aspek maskulinitas, karena keberadaan malaikat tidak pernah diisyaratkan jenis kelaminnya dalam al-qur’an. Adapun yang kedua (al-dzakar) lebih berkonotasi biologis (sex term), misalnya Q., s. Al-Imran/3:36:
فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّي وَضَعْتُهَا أُنْثَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالأنْثَى

Artinya :
Maka tatkala istri Imran melahirkan anaknya, dia pun berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak

Al-rijal (jama’ dari al-rajuh) dan al-nisa’ (jama’ dari mar’ah) digunakan untuk menggambarkan kualitas moral dan budaya seseorang. Berbeda dengan al-dzakar dan al-nisa yang penekanannya kepada jenis kelamin. Kata al-dzakar juga untuk menerangkan jenis kelamin binatang, seperti disebutkan dalam Q., s. al-An’am/6:144:
وَمِنَ الإبِلِ اثْنَيْنِ وَمِنَ الْبَقَرِ اثْنَيْنِ قُلْ آلذَّكَرَيْنِ حَرَّمَ أَمِ الأنْثَيَيْنِ أَمَّا اشْتَمَلَتْ عَلَيْهِ أَرْحَامُ الأنْثَيَيْن
Artinya :
Dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah: "Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya.
Padanannya di dalam bahasa inggris untuk kata al-rajul ialah man, dan male untuk al-dzakar. Seperti halnya kata man. Kata al-rajul kadang-kadang juga diartikan dengan “manusia” (al-insan) dan ”suami“ (al-zawj). Kata al-rajul tidak digunakan untuk species lain selain manusia, misalnya untuk binatang dan tumbuh-tumbuhan, tetapi hanya digunakan untuk manusia (the male of the human species).
a. Pengertian al-Rajul
Kata al-rajul dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 55 kali dalam al-Qur’an, dengan kecenderungan pengertian dan maksud sebagai berikut.
1. Al-rajul dalam arti jender laki-laki, seperti:
a. Q.,s. al-Baqarah/2:282

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.

Kata من ر جا لكم di atas lebih ditekankan kepada aspek jender laki-laki, bukan kepada aspek biologisnya sebagai manusia yang berjenis kelamin laki-laki. Buktinya tidak semua yang berjenis kelamin laki-laki mempunyai kualitas persaksian yang sama. Anak laki-laki di bawah umur, laki-laki kualifikasi saksi yang dimaksud dalam ayat tersebut di atas, karena laki-laki tersebut tidak memenuhi syarat sebagai saksi dalam hukum islam,
b. Q., s. al-baqarah/2;228
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya:
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Kata ا لر جا ل dalam ayat di atas ialah laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu, tidak semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada perempuan. Tuhan tidak mengatakan وللذ كر با المعر وف عليهن درجةkarena jika demikian maka secara alami semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tingi daripada perempuan.
2. Al-Rajul dalam arti orang, baik laki-laki maupun perempuan, seperti:
a. Q., s. al-A’raf/7:46 :
وَبَيْنَهُمَا حِجَابٌ وَعَلَى الأعْرَافِ رِجَالٌ يَعْرِفُونَ كُلا بِسِيمَاهُمْ وَنَادَوْا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ أَنْ سَلامٌ عَلَيْكُمْ لَمْ يَدْخُلُوهَا وَهُمْ يَطْمَعُون
Artinya :
Dan di antara keduanya (penghuni surga dan neraka) ada batas; dan di atas A'raaf itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka. Dan mereka menyeru penduduk surga:" Salaamun 'alaikum". Mereka belum lagi memasukinya, sedang mereka ingin segera (memasukinya).

Yang dimaksud kata ر جا ل dalam ayat di atas menurut ibnu katsir ialah para penghuni suatu tempat diantara surga dan neraka yang disebut A’raf. Mirip dengan pendapat Muhammad Rasyid Ridha yang mengatakan ر جا ل dalam ayat ini ialah para pendosa yang berada diantara surga dan neraka
b. Q., s. al-Ahzab/33:23 :
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلا
Artinya :
Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya),
3. Kata al-Rajul dalam arti Nabi atau, seperti :
a. Q., s. al-Anbiya’/21:7 :
ِوَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
Artinya:
Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.
Yang dimaksud dengan ر جا لا dalam ayat tersebut ialah Nabi atau Rasul yang ditugaskan untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk-Nya. Menurut Ibnu Katsir kata ر جا لا dalam ayat itu adalah penegasan kepada jenis manusia sebagai Nabi atau Rasul, untuk membedakan jenis makhluk lainnya, seperti jin.
b. Q., s. Saba’/34:7:
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا هَلْ نَدُلُّكُمْ عَلَى رَجُلٍ يُنَبِّئُكُمْ إِذَا مُزِّقْتُمْ كُلَّ مُمَزَّقٍ إِنَّكُمْ لَفِي خَلْقٍ جَدِيد
Artinya :
Dan orang-orang kafir berkata (kepada teman-temannya): "Maukah kamu kami tunjukkan kepadamu seorang laki-laki yang memberitakan kepadamu bahwa apabila badanmu telah hancur sehancur-hancurnya, sesungguhnya kamu benar-benar (akan dibangkitkan kembali) dalam ciptaan yang baru.
Para ulama tafsir menjelaskan maksud kata ر جل dalam ayat tersebut ialah Nabi Muhammad s.a.w. Kata ر جل dalam arti Nabi dan Rasul ditemukan di sejumlah ayat, antara lain dalam Q., s. al-A’raf/7:63 dan 69; Q.,s. Yunus/al-Mu’minun/23:25; dan 38; Q.,s. Saba’/34:43; Q.,s. al-Zukhruf/43:31; Q.,s. al-An’am/6-9; Q.,s. al-Isra’/17:47; Q.,s. al-Furqan/25:8; Q.,s. Yusuf/12:109, dan Q.,s. al-Nahl/16:43.
4. Al-Rajul dalam arti tokoh masyarakat, seperti :
a. Q.,s. Yasin/36:20:
وَجَاءَ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعَى قَالَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِين
Artinya :
Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki (Habib An Najjar) dengan bergegas-gegas ia berkata: "Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu.
Yang dimaksud kata ر جل dalam ayat tersebut menurut tafsir al-Jalalayn, ialah seorang tokoh yang amat disegani diantara kaumnya, yaitu Habib al-Najjar.
b. Q.,s. al-A’raf/7:48 :

وَنَادَى أَصْحَابُ الأعْرَافِ رِجَالا يَعْرِفُونَهُمْ بِسِيمَاهُمْ قَالُوا مَا أَغْنَى عَنْكُمْ جَمْعُكُمْ وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُون

Artinya :
Dan orang-orang yang di atas A'raaf memanggil beberapa orang (pemuka-pemuka orang kafir) yang mereka mengenalnya dengan tanda-tandanya dengan mengatakan: "Harta yang kamu kumpulkan dan apa yang selalu kamu sombongkan itu, tidaklah memberi manfaat kepadamu"
Yang dimaksud kata ر جالا pada contoh kedua dalam Tafsir al-Munir dimaksudkan dengan para pembesar (al-udzama’) sewaktu hidup di dunia. Kata al-rajul dalam arti tokoh masyarakat digunakan dalam beberapa ayat, antara lain Q., s. al-Qashash/28:20; Q., s. al-Mu’min/al-Ghafir/40:28; Q., d. al-A’raf/7:48; dan 155; Q., s. al-Kahfi/18:32; dan 37;
5. Al-Rajul dalam arti budak
Satu-satunya ayat yang menjelaskan hal ini Q., s. al-Zumar/39:29;
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا رَجُلا فِيهِ شُرَكَاءُ مُتَشَاكِسُونَ وَرَجُلا سَلَمًا لِرَجُلٍ هَلْ يَسْتَوِيَانِ مَثَلا الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْلَمُون
Artinya :
Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.
Yang dimaksud kata ر جلا dalam ayat ini menurut al-Maraghi ialah hamba yang dimiliki (‘abdun mamlukun). Pendapat yang sama juga telah disampaikan oleh Ibnu Katsir dan al-Qasimi. Dengan demikian, kata ا لر جل dalam al-Qur’an tidak semata-mata berarti laki-laki dalam arti jenis kelamin pria tetapi seseorang yang dihubungkan dengan atribut sosial budaya tertentu.
Ada beberapa kata al-rajul digunakan dalam al-Qur’an yang seolah-olah menunjukkan arti “jenis kelamin laki-laki” (al-dzakar) karena berbicara dalam konteks reproduksi dan hubungan seksual, tetapi setelah dikaji konteks (munasabah) dan sabab nuzul ayatnya ternyata ayat-ayat tersebut tetap lebih berat ditekankan kepada jender laki-laki.
a. Q,. s. al-Nisa/4:1;
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبً
Artinya :
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

b. Q,. s. al-Naml/27:55;
أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُون

Artinya :
Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu).

Kata al-Rajul dalam contoh pertama berada dalam konteks pembicara hukum keluarga, seperti kewajiban para pewasiat kepada anak-anak yang berada di bawah asuhannya dan para wali terhadap anak-anak yang hidup di bawah perwaliannya. Adapun contoh ayat kedua membicarakan tentang penyimpangan seks, di mana laki-laki mencari kepuasan seks kepada sesamanya lelaki. Penyimpangan seks seperti itu lebih menonjol sebagai masalah budaya daripada masalah biologis. Risiko biologis akibat seks sejenis dapat diperkecil melalui berbagai upaya medis, tetapi risiko budayanya yang sulit diatasi karena secara turun-temurun norma-norma seksual hanya dapat dilakukan dengan lawan jenis.
b. Pengertian al-Nisa’
Adapun kata al-Nisa ا لنساء adalah bentuk jama’ dari kata al-mar’ah/ ا المر ءة berarti perempuan yang sudah matang atau dewasa, berbeda dengan kata الا نثي berarti jenis kelamin perempuan secara umum, dari yang masih bayi sampai yang sudah berusia lanjut. Kata ا لنساء jender perempuan, sepadan dengan kata الر جا ل yang berarti jender laki-laki.
Kata al-nisa’ ا لنساء dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 59 kali dalam al-Qur’an dengan kecenderungan pengertian dan maksud sebagai berikut :
1. Al-Nisa’ dalam arti jender perempuan, seperti :
a. Q,. s. al-Nisa’/4:7
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضً
Artinya :
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
b. Q,. s. al-Nisa’/4:32;
وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Artinya :
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu
Kata ا لنساء. menunjukkan jender perempuan. Porsi pembagian hak dalam ayat ini tidak semata-mata ditentukan oleh realitas biologis sebagai perempuan atau laki-laki. Sementara itu besar kecilnya porsi pembagian peran ditentukan oleh faktor eksternal, atau menurut istilah ayat ini ditentukan oleh usaha yang bersangkutan(ا كتسبوا dan مما ا كتسبن). Contoh lain mengenai ا لنساء dalam arti jender perempuan dapat dilihat pada keterangan mengenai jender laki-laki (al-rajul).
2. Al-nisa’ dalam arti istri-istri, seperti :
a. Q,. s. al-Baqarah/2:222;
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِين

Artinya :
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.

b. Q,. s. al-Baqarah/2:223;
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِين
Artinya :
Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
Kata ا لنساء dalam kedua contoh diatas diartikan dengan istri-istri, sebagaimana halnya kata المر ءة sebagai bentuk mufrad dari kataء ا لنسا, hampir seluruhnya berarti istri, misalnya imra’ah Luth/ ا مرٲة لو ط (Q,. s. al-Tahrim/66:10), imra’ah Fir’aun/ ا مرٲة فر عون (Q,. s. al-Tahrim/66:11), dan imra’ah Nuh/ ا مرٲة نوح (Q,. s. al-Tahrim/66:10).
Penggunaan kata ا لنساء lebih teratas daripada penggunaan kata ا لر جا ل. Kata ا لرجا ل sebagaimana telah dijelaskan bisa berarti jender laki-laki, orang, menunjuk kepada pengertian Nabi atau Rasul, tokoh masyarakat, dan budak; sedangkan kata النساء hanya digunakan dalam arti jender perempuan dan istri-istri.
Bias Jender dalam Al-Qur’an
Dalam masalah ini wanita dan pria mempunyai kedudukan yang sama sebagai manusia. Wanita adalah manusia dan pria pun manusia, masing-masing tidak ada perbedaan dan tidak ada keistimewaan bagi yang satu atas yang lain. Allah SWT mempersiapkan pria dan wanita untuk terjun ke arena kehidupan sebagai manusia dan menjadikan keduanya hidup berdampingan secara bersama dalam masyarakat tanpa ada perbedaan. Oleh karena itu agama islam yang bersumber kepada kitab al-Qur’an tidak membedakan antara kewajiban yang dikerjakan pria atau wanita yang kwalitasnya sama.
Dalam al-Qur’an surat al-Dzariyat/51:56, yang artinya. “ Tidak aku lagi Maha Bijaksana ciptakan jin manusia manusia kecuali untuk menyembah Aku(Allah) “. Ayat ini mengisyaratkan bahwa wanita dan pria sejajar, keduanya diperintah untuk beribadah kepada allah, keduanya diberi pedoman al-Qur’an untuk memenuhi fungsinya sebagai hamba-Nya. Dalam ayat lain berbunyi, artinya : “ orang mukmin laki-laki maupun perempuan saling melindungi satu sama lain, mereka menganjurkan yang ma’ruf dan melarang yang munkar. Mereka mendirikan sholat, menunaikan zakat menaati Allah dan Rasul-Nya. Merekalah yang akan dirahmati allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa “.
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa al-Qur’an menempatkan wanita sejajar dengan pria tanpa diskriminasi.

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah, jender itu berbeda dengan jenis kelamin. Gender itu adalah seperangkat peran, seperti halnya teater selalu berkaitan dengan topeng dan kostum. Gender dapat mengakses kita terhadap pendidkan, kerja, alat-alat dan sumber daya yang diperlukan. Yang di maksudkan dengan bias jender adalah nama atau simbol yang sering digunakan dalam al-Qur’an dalam mengungkapkan jenis kelamin seseorang.
Dalam masalah ini pria dan wanita mempunyai kedudukan yang sama, dalam arti kata tidak adanya perbedaan dan tidak adanya keistimewaan satu atas yang lain dan menjadikan keduanya hidup berdampingan dalam melaksanakan tugasnya sebagai hamba-Nya.

DAFTAR PUSTAKA
 Ad-Da’wah, Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman
 Umar, Nasarudin, Argumen Kesetaraan Gender
 http://telagahikmah.org
 http://yayat84.wordpress.com
 Mosse, Julia Cleves, Gender dan Pembangunan
 Hadits Web

Sabtu, 28 Maret 2009

IJAZ AL-QUR'AN

Ijaz (Kemukjizatan) Al-Qur’an
Kata mukjizat berasal dari kata ‘ajaz (lemah).I’jaz dapat diartikan mukjizat, hal yang melemahkan, yang menjadikan sesuatu atau pihak lain tak berdaya. I’jazul Qur’an adalah kekuatan, keunggulan dan keistimewaan yang dimiliki Al-Qur’an yang menetapkan kelemahan manusia, baik secara terpisah maupun berkelompok-kelompok, untuk bisa mendatangkan minimal yang menyamainya. Kadar kemukjizatan Al-Qur’an itu meliputi tiga aspek, yaitu : aspek bahasa (sastra, badi’, balagah/ kefasihan), aspek ilmiah (science, knowledge, ketepatan ramalan) dan aspek tasyri’ (penetapan hukum syariat).
Muhammad Ali Ash Shabumi dalam kitab At-Tibyan menyebutkan segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an sebagai berikut :
1. Susunan kalimatnya indah.
2. Terdapat uslub (cita rasa bahasa) yang unik, berbeda dengan semua uslub-uslub bahasa Arab.
3. Menantang semua mahkluk untuk membuat satu ayat saja yang bisa menyamai Al-Qur’an, tapi tantangan itu tidak pernah bisa dipenuhi sampai sekarang ini.
4. Bentuk perundang-undangan yang memuat prinsip dasar dan sebagian memuat detail rinci yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia melebihi setiap undang-undang ciptaan manusia.
5. Menerangkan hal-hal ghaib yang tidak diketahui bila mengandalkan akal semata-mata.
6. Tidak bertentangan dengan pengetahuan ilmiah (ilmu pasti, science).
7. Tepat terbukti semua janji (ramalan) yang dikhabarkan dalam Al-Qur’an.
8. Mengandung prinsip-prinsip ilmu pengetahuan ilmiah didalamnya.
9. Berpengaruh kepada hati pengikut dan musuhnya

1. Pengertian
Kata I’jaz adalah masdar dari kata ‘ajz artinya lemah. Adapun maksud dari I’jaz adalah menampakkan kebenaran Nabi Mughammad SAW dalam tugas kerasulannya dengan menampakkan kelemahan masyarakat Arab dan generasi-generasi berikutnya untuk menentangnya.
Al-Qur’an digunakan oleh Nabi Muhammad SAW. Untuk menantang orang-orang pada masa beliau dan generasi sesudahnya yang tidak percaya akan kebenaran Al-Qur’an sebagai firman Allah dan tidak percaya akan risalah Nabi SAW ajaran yang dibawanya. Terhadap mereka sungguh pun mereka memiliki tingkat fashahah dan balaghah sedemikian tinggi di bidang bahasa Arab, Nabi mereka minta untuk menandingi Al-Qur’an dalam tiga tahapan :
1. Mendatangkan semisal Al-Qur’an secara keseluruhan. Sebagaimana di jelaskan pada surat Al-Isra’ ayat 88 :
“Katakanlah sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain”
2. Mendatangkan sepuluh surat yang menyamai surat-surat ada dalam Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan dalam surat Hud ayat 13 :
“Bahkan mereka mengatakan, “Muhammad telah membuat-buat Al-Qur’an.” Katakanlah, kalau demikian, maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang di buat-buat menyamainya, dan pangillah orang-orang yang kamu sanggup memanggilnya selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar”
3. Mendatangkan satu surat saja yang menyamai surat-surat yang ada dalam Al-Qur’an, sebagaiman dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 23 :
“Dan jika tetap dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang kami wahyukan kepada hamba kami {Muhammad}, buatlah satu surat saja semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”
2. Macam-macam I’jaz (Mukjizat)
Secara garis besar mukjizat dapat dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang bersifat material indrawi yang tidak kekal dan mukjizat immaterial, logis dan dapat dibuktikan sepanjang masa.mukjizat nabi-nabi terdahulu merupakan jenis pertama. Mukjizat mereka bersifat material dan indrawi dalam arti keluarbiasaan tersebut dapat disaksikan atau dijangkau langsung lewat indra oleh masyarakat tempat mereka merisalahkannya.
Perahu Nabi Nuh yang dibuat dia atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang yang sedemikian dahsyat, tidak terbakarnya Nabi Ibrahim a.s. dalam kobaran api yang sangat besar, berubah wujudnya tongkat Nabi Musa a.s. menjadi ular, penyembuhan yang dilakukan oleh Nabi Isa a.s. atas izin Allah, dan lain-lain. Kesemuanya itu bersifat material indrawi, sekaligus terbatas pada lokasi tempat mereka berada, dan berakhir dengan wafatnya mereka. Ini berbeda dengan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang sifat indrawi atau material, tetapi dapat dipahami akal. Karena sifatnya yang demikian, ia tidak dapat dibatasi oleh suatu tempat atau masa tertentu. Mukjizat Al-Qur’an dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya di mana dan kapan pun.
3. Segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an
a. Gaya Bahasa
Gaya bahasa Al-Qur’an membuat orang Arab pada saat itu kagum dan terpesona. Kehalusan ungkapan bahasanya membuat banyak diantara mereka masuk islam. Bahkan, Umar bin Abu Thalib pun yang mulanya dikenal sebagai seorang yang paling memusuhi Nabi Muhammad SAW dan bahkan berusaha untuk membunuhnya, memutuskan untuk masuk islam dan beriman pada kerasulan Muhammad hanya karena membaca petikan ayat-ayat Al-Qur’an. Susunan Al-Qur’an tidak dapat disamakan oleh karya sebaik apapun.
b. Susunan Kalimat
Kendati pun Al-Qur’an, hadis qudsi, dan hadis nabawi sama-sama keluar dari mulut nabi, tetapi uslub atau susunan bahasanya sangat jauh berbeda. Uslub bahasa Al-Qur’an jauh lebih tinggi kualitasnya bila di bandingkan dengan lainnya. Al-Qur’an muncul dengan uslub yang begitu indah.di dalam uslub tersebut terkandung nilai-nilai istimewa yang tidak akan pernah ada ucapan manusia.
Dalam Al-Qur’an, misalnya banyak ayat yang mengandung tasybih yang disusun kedalam bentuk yang sangat indah lagi mempesona, jauh lebih indah dari apa yang dibuat oleh para penyair atau sastrawan. Dapat dilihat dari satu contoh dalam surat Al-Qariah ayat 5, Allah berfirman :
“Dan gunung-gunung seperti bulu yang di hambur-hamburkan”
c. Hukum Illahi yang sempurna
Al-Qur’an menjelaskan pokok-pokok akidah, norma-norma keutamaan, sopan santun, undang-undang ekonomi, politik, social dan kemasyarakatan,serta hukum-hukum ibadah. Apabila memperhatikan pokok-pokok ibadah, kita akan memperoleh kenyataan bahwa islam telah memperluasnya dan menganekaragamkan serta meramunya menjadi ibadah amaliyah, seperti zakat dan sedekah. Ada juga berupa ibadah amaliyah sekaligus ibadah badaniyah, seperti berjuang di jalan Allah.
Al-Qur’an menggunakan dua cara tatkala menetapkan sebuah ketentuan hokum, yakni: secara global (perinciannya diserahkan kepada Mujtahid) dan secara terperinci (berkaiatan dengan dengan utang piutang, makanan yang halal dan yang haram, memelihara kehormatan wanita, dan masalah perkawinan)
d. Ketelitian Redaksinya
Ketelitian redaksi bergantung pada hal berikut :
1. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dan antonimnya, beberapa contoh diantaranya :
a. Al-Hayah (hidup) dan Al-Maut (mati), masing-masing sebanyak 145 kali
b. An-Naf (manfaat) dan Al-Madharah (mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali
c. Al-Har (panas) dan Al-Bard (dingin) sebanyak 4 kali
d. As-Shalihat (kebajikan) danAs-Syyiat (keburukan) sebanyak masing-masing 167 kali
e. Ath-thuma’ninah (kelapangan/ketenangan) dan Adh-dhiq (kesempitan/kekesalan) sebanyak masing-msing 13 kali
2. Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya atau makna yang dikandungnya
a. Al-harts dan Az-zira’ah (membajak/bertani) masing-masing 14 kali
b. Al-‘ushb dan Adh-dhurur (membanggakan diri/angkuh) masing-masing 27 kali
c. Adh-dhaulun dan Al-mawta (orang sesat/mati jiwanya) masing-masing 17 kali
5. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjukan akibatnya
a. Al-infaq (infaq) dengan Ar-ridha (kerelaan) masing-masing 73 kali
b. Al-bukhl (kekikiran) dengan Al-hasarah (penyesalan) masing-masing 12 kali
c. Al-kafirun(orang- orang kafir) dengan An-nar/Al-ihraq (neraka/pembakaran) masing-masing 154 kali
6. Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya
a. Al-israf (pemborosan dengan As-sur’ah (ketergesaan) masing-masing 23 kali
b. Al-maw’izhah (nasihat/petuah) dengan Al-lisan (lidah) masing-masing 25 kali
c. Al-asra (tawanan) dengan Al-harb (perang) masing-masing 6 kali
7. Di samping keseimbangan-keseimbangan tersebut, di temukan juga keseimbangan khusus
a. Kata yawm (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak hari-hari dalam setahun, sedangkan kata hari dalam bentuk plural (ayyam) atau dua (yawmayni), berjumlah tiga puluh, sama dengan jumlah hari dalam sebulan. Disisi lain, kata yang berarti bulan (syahr) hanya terdapat dua belas kali sama dengan jumlah bulan dalam setahun.
b. Al-Qur’an menjelaskan bahwa langit itu ada tujuh macam. Penjelasan ini diulangi sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam surat Al-Baqarah ayat 29, surat Al-Isra ayat 44, surat Al-Mu’minun ayat 86, surat Fushilat ayat 12, surat Ath-thalaq 12, surat Al- Mulk ayat 3, surat Nuh ayat 15, selain itu, penjelasan tentang terciptanta langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat.
c. Kata-kata yang menunjukkan kepada utusan Tuhan, baik rasul atau nabi atau basyir (pembawa berita gembira) atau (nadzir pemberi peringatan), kesemuanya berjumlah 5189 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan nama-nama nabi, rasul dan pembawa berita tersebut yakni 518.
e. Berita tentang hal-hal yang gaib
Sebagaian ulama mengatakan bahwa sebagian mukjizat Al-Qur’an itu adalah berita-berita gaib. Firaun yang mengejar-ngejar Nabi Musa, diceritakan dalam surat Yunus ayat 92 :
“Maka pada hari ini kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang dating sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami”
Pada ayat itu ditegaskan bahwa badan firaun tersebut akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya. Tidak seorang pun mengetahui hal tersebut karena telah terjadi sekitar 1.200 tahun SM. Pada awal abad ke-19 tepatnya.
f. Isyarat-isyarat ilmiah
Banyak sekali isyarat ilmiah yang di temukan dalam Al-Qur’an, misalnya :
a. Cahaya matahari bersumber dari dirinya dan cahaya bulan merupakan pantulan. Sebagaiman yang dijelaskan dalam firman Allah surat Yunus: 5
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkannya manzilah-manzilah {tempat-tempat} bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan {waktu}. Allah tidak menciptakan yang demikian itu, melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda {kebesaran-Nya} kepada orang-orang yang mengetahui}”
b. Kurangnya oksigen pada ketinggian dapat menyesakkan napas.Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 25
c. Perbedaan sidik jari manusia. Al-Qur’an surat Al-Qiyamah ayat 4
d. Aroma atau bau manusia berbeda-beda. Al-Qur’an surat Yusuf ayat 94
e. Masa penyusunan yang tepat dan masa kehamilan minimal, Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 233
f. Adanya nurani {superego} dan bawah sadar manusia. Al-Qur’an surat Al-Qiyamah ayat 14
g. Yang merasakan nyeri adalah kulit. Al-Qur’an surat An-nisa ayat 56:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat kami, kelak akan kami masukkan mereka kedalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha bijaksana”

AQSAMUL QUR'AN

AQSAMUL QUR’AN
A. Definisi Aqsamul Qur’an
Secara etimologi aqsam merupakan bentuk jamak dari kata qasam. Kata qasam memiliki makna yang sama dengan dua kata lain yaitu : halaf dan yamin yang berarti sumpah. Sumpah dinamakan juga dengan yamin karena kebiasaan orang arab ketika bersumpah saling memegang tangan kanannya masing-masing.
Secara terminologi qasam didefinisikan sebagai : “Mengikatkan jiwa (hati) untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan atau untuk melakukannya, yang diperkuat dengan sesuatu yang diagungkan bagi orang yang bersumpah, baik secara nyata ataupun keyakinan saja.”
B. Unsur-unsur Qasam
1. Fi’il Qasam (Yang di Muta’addikan Dengan Huruf Ba’)
Sighat qasam baik yang berbentuk uqsimu ataupun yang berbentuk akhlifu tidak akan berfungsi tanpa dita’adiyahkan dengan huruf ba’. Seperti yang terdaat dalam surat An-Nahl ayat 38 :
وَأَقْسَمُواْ بِاللّهِ ....... ( النحل: ٣٨ )
Artinya : “Mereka bersumpah dengan nama Allah”
Namun kadang kala dalam suatu ayat, sighat qasam langsung diebutkan dengan huruf wawu pada isim dzahir, kadang kala langsung diebutkan dengan huruf ta’ pada lafal jalalah. Hal ini terjadi mana kala fi’il qasam tidak disebutkan dalam ayat tersebut.
Contoh :
Dengan huruf wawu :
وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى ( الليل: ١ )
Artinya : “Demi malam apabila menutupi (cahaya siang)”
Dengan huruf ta’ :
( ٥٧: الأنبياء ) وَتَاللَّهِ لَأَكِيدَنَّ أَصْنَامَكُم
Artinya : “Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu”
2. Muqasam Bih
Muqasam bih ialah lafaz yang terletak setelah adapt qasam yang dijadikan sebagai sandaran dalam bersumpah yang juga disebut sebagai syarat.
Dalam al-qur’an, allah bersumpah dengan zat-Nya sendiri yang maha agung atau dengan tanda-tanda kekuasaannya yang maha besar.
ü Allah bersumpan dengan zat-Nya sendiri :
( ٣ : سبأ ) قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتَأْتِيَنَّكُمْ عَالِمِ الْغَيْب.ِ.. …
Artinya : “Katakanlah: ‘Pasti datang, demi Tuhanku Yang Mengetahui yang ghaib’.”
ü Allah bersumpan dengan makhluk ciptaannya :
وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ. وَطُورِ سِينِينَ ( التين : ١- ٢¬ )
Artinya : “Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun , dan demi bukit Sinai.”
3. Muqassam Alaih
Muqassam alaih ialah bentuk berita yang ingin supaya bipercaya/ diterima oleh orang yang mendengarnya sehingga diperkuat dengan sumpah tersebut, atau disebut juga jawab qasam.
Posisi muqasam alaih terkadang bisa menjadi taukid, sebagai jawaban qasam. Karena yang dikehendaki dengan qasam adalah untuk mentaukidi muqassam alaih (menguatkannya).
Ada empat hal yang harus dipenuhi muassam alaih, yaitu :
a. Muqassam alaih/ bwrita itu harus terdiri dari hal-hal yang baik, terpuji, atau hal-hal yang penting.
b. Muqassam alaih itu sebaiknya disebutkan dalam setiap bentuk sumpah. Jika kalimat muqassam alaih tersebut terlalu panjang, maka muqassam alaihnya boleh dibuang. Seperti yang terdapat dalam surah al-qiyamah ayat 1- 2 :
لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ ( القيامة: ١-٢¬ )
Artinya : “Aku bersumpah demi hari kiamat, dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).”
Muqassam alaih dari qasam tersebut dibuang, karena terlalu panjang. Yang menunjukkan adanya muqassam alaih adalah ayat setelahnya, yaitu ayat 3-4 :
أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَلَّن نَجْمَعَ عِظَامَهُ. بَلَى قَادِرِينَ عَلَى أَن نُّسَوِّيَ بَنَانَه ُ ( القيامة: ٣-٤¬ )
Artinya : “Apakah manusia mengira, bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya? Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna.”
Sedangkan takdir dari muqassam alaihnya bila didatangkan ialah kalimat : “Pasti kalian akan dibangkitkan dari kubur.”


c. Jika jawab qasamnya berupa fi’il madhi mutaharrif yang positif (tidak dinegatifkan), maka muqassam alaihnya harus dimasuki huruf “lam” dan “qod”.
Contohnya :
لَا أُقْسِمُ بِهَذَا الْبَلَدِ. وَأَنتَ حِلٌّ بِهَذَا الْبَلَدِ. وَوَالِدٍ وَمَا وَلَدَ. لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ ( البلد: ١-٤ )
Artinya : “Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah), dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Mekah ini, dan demi bapak dan anaknya. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.”
d. Materi isi muqassam alaih itu bisa bermacam-macam, terdiri dari berbagai bidang pembicaraan yang baik-baik dan penting. Seperti :
Keterangan bahwa rasulullah saw adalah benar-benar utusan allah :
يس. وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ. إِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ (يس : ١- ٣)
Artinya : “Yaa siin. Demi. Al-Quraan yang penuh hikmah. Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-rasul.”
C. Macam-macam Qasam
Dilihat dari segi fi’ilnya, qasam dalam alqur’an ada dua macam, yaitu ;
1. Qasam dhahir (nampak/ jelas), yaitu qasam yang fi’il qasamnya disebutkan bersama dengan muqasam bihnya. Seperti ayat berikut :
وَأَقْسَمُواْ بِاللّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لاَ يَبْعَثُ اللّهُ مَن يَمُوتُ.... ( النحل: ٣٨ )
Artinya : “Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpahnya yang sungguh-sungguh: ‘Allah tidak akan akan membangkitkan orang yang mati’.”
Dan diantaranya ada yang dihilangkan fi’il qasamnya, dan dicukupkan dengan huruf “ba’”, “wawu”, dan ta’”. Seperti :
وَالضُّحَى. وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى ( الضحى : ١-٢¬ )
Artinya : “Demi waktu matahari sepenggalahan naik. Dan demi malam apabila telah sunyi (gelap).”
2. Qasam Mudhmar (tersimpan/ samar) yaitu qasam yang didalamnya tidak dijelaskan/ disebutkan fi’il qasam dan muqassam bihnya. Tetapi yang menunjukkan bahwa kalimat tersebut adalah qasam adalah kata-kata setelahnya yang diberi lam taukid yang masuk kedalam jawab qasamnya. Seperti :

لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ...( آل عمران : ١٨٦ )
Artinya : “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu.”
D. Faedah Qasam Dalam Al-Qur’an
Sumpah (qasam) dalam ucapan sehari-hari merupakan salah satu cara untuk menguatkan pembicaraan yang diselingi dengan pembuktian untuk mendorong lawan bicara agar bisa menerima/ mempercayainya.
Apakah makna sumpah dari Allah SWT? Abu Al-Qasim Al-Qusyairi menjawab bahwa sesuatu dapat dipastikan kebenarannya dengan dua cara, yaitu persaksian dan sumpah. Kedua cara itu dipergunakan Allah dalam Al-Qur’an sehingga mereka tidak memiliki hujjah lagi untuk membantahnya.
Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia, dan manusia mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadapnya. Diantaranya ada yang meragukan, ada yang mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi
Karena itu dipakailah qasam dalam kalamullah, guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalah fahaman, menguatkan berita, dan menetapkan hukum dengan cara paling sempurna.
E. Bersumpah Dengan Selain Allah
Dr. Bakri Syekh Amin dalam buku At-Ta’bir Alfan Fil Qur’an, menceritakan kebiasaan sumpah orang arab jahiliyah yang selalu memakai muqassam bih selain allah, misalnya dengan hidupnya, kakeknya, kepalanya, dan sebagainya. Maksud dari sumpah tersebut adalah untuk mengagungkan/ memuliakan hal-hal yang dijadikan muqassam bih terebut.
Menurut peraturan bersumpah dalam islam, muqassam bih harus menggunakan nama Allah SWT, Dzat atau Sifat-sifat-Nya. Sumpah dengan selain nama Allah dihukumi musyrik. Hal ini berdasarkan hadits riwayat umar :
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم : من حلف بغير الله فقد كفر او اشرك (رواه الترمذى)
Artinya : “Barang siapa bersumpah dengan selain Allah, maka berarti dia telah kafir atau musyrik.”)H.R. Tirmidzi)
Dalam hadits lain disebutkan :
ان الله اقسم بما شاء من خلقه وليس لاحد ان يقسم الا بِالله (رواه ابن ابى حاتم)
Artinya : “Sesungguhnya Allah bersumpah bisa dengan makhluk-Nya apa saja. Tetapi seorangpun tidak boleh bersumpah selain dengan Nama Allah.”
Bagi Allah boleh bersumpah dengan muqassam bih apa saja. Sebab, muqassam bih adalah berupa sesuatu yang di agungkan oleh yang bersumpah. Sedangkan bagi Allah, Dzat yang Maha Agung dan Maha Mulia, tidak ada hal yang harus di agungkan-Nya. Allah bersumpah dengan suatu makhluk, tidak untuk mengagungkan makhluk tersebut, melainkan supaya manusia mengerti bahwa makhluk yang dijadikan muqassam bih oleh Allah, itu adalah makhluk-makhluk yang penting, yang besar artinya.

Minggu, 01 Maret 2009

AHMADIYAH QODYAN

AHMADIYAH
Ahmadiyah, adalah Jamaah Muslim yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889 di satu desa kecil yang bernama Qadian, Punjab, India. Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Mujaddid, al Masih dan al Mahdi. [1]
Jemaat Ahmadiyah Indonesia adalah bagian dari Jamaah Muslim Ahmadiyah Internasional. Di Indonesia, organisasi ini telah berbadan hukum dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953) [2].
Atas nama Pemerintah Indonesia, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung pada tanggal 9 Juni 2008 telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama, yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam.[3]
Tujuan pendirian
Menurut pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, misi Ahmadiyah adalah untuk menghidupkan Islam dan menegakkan Syariah Islam. Tujuan didirikan Jemaat Ahmadiyah menurut pendirinya tersebut adalah untuk meremajakan moral Islam dan nilai-nilai spiritual. Ahmadiyah bukanlah sebuah agama baru namun merupakan bagian dari Islam. Para pengikut Ahmadiyah mengamalkan Rukun Iman yang enam dan Rukun Islam yang lima. Gerakan Ahmadiyah mendorong dialog antar agama dan senantiasa membela Islam serta berusaha untuk memperbaiki kesalah-pahaman mengenai Islam di dunia Barat. Gerakan ini menganjurkan perdamaian, toleransi, kasih dan saling pengertian diantara para pengikut agama yang berbeda; dan sebenar-benarnya percaya dan bertindak berdasarkan ajaran al Quran : "Tidak ada paksaan dalam agama" (2:257) serta menolak kekerasan dan teror dalam bentuk apapun untuk alasan apapun. [4]
Jemaat Muslim Ahmadiyah adalah satu organisasi keagamaan Internasional yang telah tersebar ke lebih dari 185 negara di dunia[5]. Pergerakan Jemaat Ahmadiyah dalam Islam adalah suatu organisasi keagamaan dengan ruang lingkup internasional yang memiliki cabang di 174 negara tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia dan Eropa. Saat ini jumlah keanggotaannya di seluruh dunia lebih dari 150 juta orang. [6] Jemaat Ahmadiyah Internasional juga telah menerjemahkan al Quran ke dalam bahasa-bahasa besar di dunia dan sedang merampungkan penerjemahan al Quran ke dalam 100 bahasa di dunia. Sedangkan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia telah menerjemahkan al Quran dalam bahasa Indonesia, Sunda, dan Jawa.
Ahmadiyah Qadian dan Lahore
Terdapat dua kelompok Ahmadiyah. Keduanya sama-sama mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa al Masih yang telah dijanjikan Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dua kelompok tersebut memiliki perbedaan prinsip:
1. Ahmadiyah Qadian, di Indonesia dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Bogor[7]), yakni kelompok yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid (pembaharu) dan seorang nabi.
2. Ahmadiyah Lahore, di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Yogyakarta). Secara umum kelompok ini tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan hanya sekedar mujaddid dari ajaran Islam [8].
Sejarah penyebaran di Indonesia
Ahmadiyah Qadian
Tiga pemuda dari Sumatera Tawalib yakni sauatu pesantren di Sumatera Barat meninggalkan negerinya untuk menuntut Ilmu. Mereka adalah (alm) Abubakar Ayyub, (alm) Ahmad Nuruddin, dan (alm) Zaini Dahlan. Awalnya meraka akan berangkat ke Mesir, karena saat itu Kairo terkenal sebagai Pusat Studi Islam. Namun Guru mereka menyarankan agar pergi ke India karena negara tersebut mulai menjadi pusat pemikiran Modernisasi Islam. Sampailah ketiga pemuda Indonesia itu di Kota Lahore dan bertemu dengan Anjuman Isyaati Islam atau dikenal dengan nama Ahmadiyah Lahore. Setelah beberapa waktu disana, merekapun ingin melihat sumber dan pusat Ahmadiyah yang ada di desa Qadian. Dan setelah mendapatkan penjelasan dan keterangan, akhirnya mereka Bai'at di tangan Hadhrat Khalifatul Masih II r.a., Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a. Kemudian tiga pemuda itu memutuskan untuk belajar di Madrasah Ahmadiyah yang kini disebut Jamiah Ahmadiyah. Merasa puas dengan pengajaran disana, Mereka mengundang rekan-rekan pelajar di Sumatera Tawalib untuk belajar di Qadian. Tidak lama kemudian duapuluh tiga orang pemuda Indonesia dari Sumatera Tawalib bergabung dengan ketiga pemuda Indonesia yang terdahulu, untuk melanjutkan studi juga baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah. Dua tahun setelah peristiwa itu, para pelajar Indonesia menginginkan agar Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. berkunjung ke Indonesia. Hal ini disampaikan (alm) Haji Mahmud - juru bicara para pelajar Indonesia dalam Bahasa Arab. Respon positif terlontar dari Hadhrat Khalifatul Masih II r.a.. Beliau meyakinkan bahwa meskipun beliau sendiri tidak dapat mengunjungi Indonesia, beliau akan mengirim wakil beliau ke Indonesia. Kemudian, (alm) Maulana Rahmat Ali HAOT dikirim sebagai muballigh ke Indonesia sebagai pemenuhannya. Tanggal 17 Agustus 1925, Maulana Rahmat Ali HAOT dilepas Hadhrat Khalifatul Masih II r.a berangkat dari Qadian. Tepatnya tanggal 2 Oktober 1925 sampailah Maulana Rahmat Ali HAOT di Tapaktuan, Aceh. Kemudian berangkat menuju Padang, Sumatera Barat. Banyak kaum intelek dan orang orang biasa menggabungkan diri dengan Ahmadiyah. Pada tahun 1926, Disana, Jemaat Ahmadiyah mulai resmi berdiri sebagai organisasi.[10] Tak beberapa lama, Maulana Rahmat Ali HAOT berangkat ke Jakarta, ibukota Indonesia. Perkembangan Ahmadiyah tumbuh semakin cepat, hingga dibentuklah Pengurus Besar (PB) Jemaat Ahmadiyah dengan (alm) R. Muhyiddin sebagai Ketua pertamanya. Terjadilah Proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Di dalam meraih kemerdekaan itu tidak sedikit para Ahmadi Indonesia yang ikut berjuang dan meraih kemerdekaan. Misalnya (alm) R. Muhyiddin. Beliau dibunuh oleh tentara Belanda pada tahun 1946 karena beliau merupakan salah satu tokoh penting kemerdekaan Indonesia. Juga ada beberapa Ahmadi yang bertugas sebagai prajurit di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan mengorbankan diri mereka untuk negara. Sementara para Ahmadi yang lain berperan di bidang masing-masing untuk kemerdekaan Indonesia, seperti (alm) Mln. Abdul Wahid dan (alm) Mln. Ahmad Nuruddin berjuang sebagai penyiar radio, menyampaikan pesan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Sementara itu, muballigh yang lain (alm) Mln. Sayyid Syah Muhammad merupakan salah satu tokoh penting sehingga Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, di kemudian hari menganugerahkan gelar veteran kepada beliau untuk dedikasi beliau kepada negara. Di tahun lima puluhan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia mendapatkan legalitas menjadi satu Organisasi keormasan di Indonesia. Yakni dengan dikeluarkannya Badan Hukum oleh Menteri Kehakiman RI No. JA. 5/23/13 tertanggal 13-3-1953. Ahmadiyah tidak pernah berpolitik, meskipun ketegangan politik di Indonesia pada tahun 1960-an sangat tinggi. Pergulatan politik ujung-ujungnya membawa kejatuhan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, juga memakan banyak korban. Satu lambang era baru di Indonesia pada masa itu adalah gugurnya mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim, yang tidak lain melainkan seorang khadim Ahmadiyah. Dia terbunuh di tengah ketegangan politik masa itu dan menjadi simbol bagi era baru pada masa itu. Oleh karena itu iapun diberikan penghargaan sebagai salah satu Pahlawan Ampera. Di Era 70-an, melalui Rabithah Alam al Islami semakin menjadi-jadi di awal 1970-an, para ulama Indonesia mengikuti langkah mereka. Maka ketika Rabithah Alam al Islami menyatakan Ahmadiyah sebagai non muslim pada tahun 1974, hingga MUI memberikan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah. Sebagai akibatnya, Banyak mesjid Ahmadiyah yang dirubuhkan oleh massa yang dipimpin oleh ulama. Selain itu, banyak Ahmadi yang menderita serangan secara fisik. Periode 90-an menjadi periode pesat perkembangan Ahmadiyah di Indonesia bersamaan dengan diluncurkannya Moslem Television Ahmadiyya (MTA). Ketika Pengungsi Timor Timur yang membanjiri wilayah Indonesia setelah jajak pendapat dan menyatakan bahwa Timor Timur ingin lepas dari Indonesia, hal ini memberikan kesempatan kepada Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia untuk mengirimkan tim Khidmat Khalq untuk berkhidmat secara terbuka. Ketika Tahun 2000, tibalah Hadhrat Mirza Tahir Ahmad ke Indonesia datang dari London menuju Indonesia. Ketika itu beliau sempat bertemu dan mendapat sambuatan baik dari Presiden Republik Indonesia, Abdurahman Wahid dan Ketua MPR, Amin Rais. [11]
Ahmadiyah Lahore
Tahun 1924 dua pendakwah Ahmadiyah Lahore Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad, datang ke Yogyakarta. Minhadjurrahman Djojosoegito, seorang sekretaris di organisasi Muhammadiyah, mengundang Mirza dan Maulana untuk berpidato dalam Muktamar ke-13 Muhammadiyah, dan menyebut Ahmadiyah sebagai "Organisasi Saudara Muhammadiyah". [12]
Pada tahun 1926, Haji Rasul mendebat Mirza Wali Ahmad Baig, dan selanjutnya pengajaran paham Ahmadiyah dalam lingkup Muhammadiyah dilarang. Pada Muktamar Muhammadiyah 18 di Solo tahun 1929, dikeluarkanlah pernyataan bahwa "orang yang percaya akan Nabi sesudah Muhammad adalah kafir". Djojosoegito yang diberhentikan dari Muhammadiyah, lalu membentuk dan menjadi ketua pertama dari Gerakan Ahmadiyah Indonesia, yang resmi berdiri 4 April 1930.[12]
Status di Berbagai Negara
Pakistan
Di Pakistan, parlemen telah mendeklarasikan pengikut Ahmadiyah sebagai non-muslim. Pada tahun 1974, pemerintah Pakistan merevisi konstitusinya tentang definisi Muslim, yaitu "orang yang meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir.[13] Penganut Ahmadiyah, baik Qadian maupun Lahore, dibolehkah menjalankan kepercayaannya di Pakistan, namun harus mengaku sebagai agama tersendiri di luar Islam.[14]
Indonesia
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat semenjak tahun 1980 [15], lalu ditegaskan kembali pada fatwa MUI yang dikeluarkan tahun 2005. [16]
Malaysia
Di Malaysia Ahmadiyah telah lama dilarang.[17]
Brunei Darussalam
Sebagaimana di Malaysia, di Brunei Darussalam pun status terlarang ditetapkan untuk Ahmadiyah.[18]
Kontroversi ajaran Ahmadiyah
Menurut sudut pandang umum umat Islam, ajaran Ahmadiyah (Qadian) dianggap melenceng dari ajaran Islam sebenarnya karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi yaitu Isa al Masih dan Imam Mahdi, hal yang bertentangan dengan pandangan umumnya kaum muslim yang mempercayai Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir walaupun masih menunggu kedatangan Isa al Masih dan Imam Mahdi [19].
Perbedaan Ahmadiyah dengan kaum Muslim pada umumnya adalah karena Ahmadiyah menganggap bahwa Isa al Masih dan Imam Mahdi telah datang ke dunia ini seperti yang telah dinubuwwatkan Nabi Muhammad SAW. Namun umat Islam pada umumnya mempercayai bahwa Isa al Masih dan Imam Mahdi belum turun ke dunia. Sedangkan permasalahan-permasalahan selain itu adalah perbedaan penafsiran ayat-ayat al Quran saja.[rujukan?]
Ahmadiyah sering dikait-kaitkan dengan adanya kitab Tazkirah. Sebenarnya kitab tersebut bukanlah satu kitab suci bagi warga Ahmadiyah, namun hanya merupakan satu buku yang berisi kumpulan pengalaman ruhani pendiri Jemaat Ahmadiyah, layaknya diary. Tidak semua anggota Ahmadiyah memilikinya, karena yang digunakan sebagai pegangan dan pedoman hidup adalah Al Quran-ul-Karim saja. [20]
Ada pula yang menyebutkan bahwa Kota suci Jemaat Ahmadiyah adalah Qadian dan Rabwah. Namun tidak demikian adanya, kota suci Jemaat Ahmadiyah adalah sama dengan kota suci umat Islam lainnya, yakni Mekkah dan Madinah.[21]
Sedangkan Ahmadiyah Lahore mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah mujaddid dan tidak disetarakan dengan posisi nabi, sesuai keterangan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Lahore) untuk Indonesia yang berpusat di Yogyakarta.
Ahmadiyah menurut pengikutnya
Pada tahun 1835, di sebuah desa bernama Qadian, di daerah Punjab, India, lahir seorang anak laki-laki bernama Ghulam Ahmad yang kemudian diagungkan sebagai seorang mujaddid dari zaman ini oleh para pendukungnya. Orang tuanya Muslim dan ia tumbuh dewasa menjadi seorang Muslim yang luar biasa. Sejak awal kehidupannya, Mirza Ghulam Ahmad sudah amat tertarik pada telaah dan khidmat agama Islam. Ia sering bertemu dengan individual Kristiani, Hindu ataupun Sikh dalam perdebatan publik, serta menulis dan bicara tentang mereka. Hal ini menjadikan lingkungan keagamaan menjadi tertarik kepadanya dan ia dikenal baik oleh para pimpinan komunitas. Mirza Ghulam Ahmad mulai menerima wahyu Ilahi sejak usia muda dan dengan berjalannya waktu maka pengalaman perwahyuannya berlipat kali secara progresif. Setiap wahyu yang diterimanya kemudian terpenuhi pada saatnya, sebagian di antaranya yang berkaitan dengan masa depan masih menunggu pemenuhannya. Dakwahnya menyatakan diri sebagai Imam Mahdi dan Masih Mau'ud (al Masih) dilakukan di akhir tahun 1890, dan dipublikasikan ke seluruh dunia. Pernyataannya, seperti juga halnya para pembaharu Ilahiah lainnya seperti Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW, langsung mendapat tentangan luas. Sebelum menyatakan dirinya sebagai Masih Mau'ud, Allah SWT telah menjanjikan kepada Mirza Ghulam Ahmad melalui wahyu bahwa:
“ Aku akan membawa pesanmu sampai ke ujung-ujung dunia.
— Mirza Ghulam Ahmad

Wahyu ini memberikan janji akan adanya dukungan Ilahi dalam penyebaran ajaran Jemaat yang telah dimulainya di dalam Islam. Mentaati perintah Tuhan, Mirza Ghulam Ahmad menyatakan diri sebagai Al-Masih bagi umat Kristiani, sebagai Imam Mahdi bagi umat Muslim, sebagai Krishna bagi umat Hindu, dan lain sebagainya. Jelasnya, ia adalah "Nabi Yang Dijanjikan" bagi masing-masing bangsa, dan ditugaskan untuk menyatukan umat manusia di bawah bendera satu agama. Nabi Muhammad SAW sebagai nabi umat Islam adalah seorang nabi yang membawa ajaran yang bersifat universal; dan sosok Mirza Ghulam Ahmad yang menyatakan diri sebagai al Masih yang dijanjikan juga menyatakan dirinya tunduk dan menjadi refleksi dari Muhammad, Khataman Nabiyin. Menjelaskan tentang tujuan diutusnya wujud Masih Mau'ud, ia menjelaskan:
“ Tugas yang diberikan Tuhan kepadaku ialah agar aku dengan cara menghilangkan hambatan di antara hamba dan Khalik-nya, menegakkan kembali di hati manusia, kasih dan pengabdian kepada Allah. Dan dengan memanifestasikan kebenaran lalu mengakhiri semua perselisihan dan perang agama, sebagai fondasi dari kedamaian abadi serta memperkenalkan manusia kepada kebenaran ruhaniah yang telah dilupakannya selama ini. Begitu juga aku akan menunjukkan kepada dunia makna kehidupan keruhanian yang hakiki yang selama ini telah tergeser oleh nafsu duniawi. Dan melalui kehidupanku sendiri, memanifestasikan kekuatan Ilahiah yang sebenarnya dimiliki manusia namun hanya bisa nyata melalui doa dan ibadah. Di atas segalanya adalah aku harus menegakkan kembali Ketauhidan Ilahi yang suci, yang telah sirna dari hati manusia, yang bersih dari segala kekotoran pemikiran polytheistik[22].
— Mirza Ghulam Ahmad

Menyusul MATInya Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1908, para Muslim Ahmadi memilih seorang pengganti sebagai Khalifah. Sosok Khalifah merupakan pimpinan keruhanian dan administratif dari Jemaat Islam Ahmadiyah. Pimpinan tertinggi dari Jemaat Ahmadiyah di seluruh dunia pada saat ini (2007) adalah Hadhrat Mirza Masroor Ahmad yang berkedudukan di London, dan terpilih sebagai Khalifah kelima. Ia banyak berkunjung ke berbagai negara dan cermat mengamati budaya dan masyarakat lainnya.
Dengan bimbingan seorang Khalifah, Jemaat Ahmadiyah berada di barisan terdepan dalam khidmat dan kesejahteraan kemanusiaan. Banyak sekolah-sekolah, klinik dan rumah sakit yang didirikan di berbagai negeri, dimana mereka yang papa dan miskin dirawat secara gratis. Saat terjadi bencana alam, Jemaat Ahmadiyah membantu secara sukarela secara finansial ataupun fisik tanpa membedakan agama, warna kulit atau pun bangsa. Jemaat Ahmadiyah telah memiliki jaringan televisi global yang bernama "MTA (Muslim Television Ahmadiyya) International", yang mengudara dua puluh empat jam sehari dalam beberapa bahasa dunia. Layanan ini diberikan tanpa memungut biaya. Jemaat Ahmadiyah telah menyebar ke lebih dari 170 negara di dunia dan populasinya diperkirakan sudah mencapai 80 juta manusia yang telah berbai'at ke dalam Jemaat pada tahun 2001.

METODOLOGI STUDI ISLAM

METODOLOGI PENELITIAN STUDI AGAMA ISLAM
TINJAUAN SEJARAH ISLAM

A. Penegrtian Sejarah Islam
Kata sejarah dalam bahasa Arab disebut tarikh dan sirah, atau dalam bahasa Inggris disebut history. Dari segi bahasa, al-tarikh berarti ketentuan masa atau waktu, sedang ‘Ilmu Tarikh’ ilmu yang membahas peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian, masa atau tempat terjadinya peristiwa, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut.
Sedangkan menurut pengertian istilah, al-tarikh berarti; ’’sejumlah keadaan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau, dan benar-benar terjadi pada diri individu atau masyarakat, sebagaimana benar-benar terjadi pada kenyataan-kenyataan alam dan manusia’’.
Dalam bahasa Indonesia sejarah berarti: silsilah; asal-usul (keturunan); kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Sedangkan Ilmu Sejarah adalah ’’pengetahuan atau uraian peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau’’.
Dalam bahasa Inggris sejarah disebut history, yang berarti orderly description of past events (uraian secara berurutan tentang kejadian-kejadian masa lampau).
Menurut Ibnu Khaldun, sejarah tidak hanya dipahami sebagai suatu rekaman peristiwa masa lampau, tetapi juga penalaran kritias untuk menemukan kebenaran suatu peristiwa masa lampau. Dengan demikian unsur penting dalam sejarah adalah adanya objek peristiwa (who), adanya batas waktu (when), yaitu masa lampau, adanya pelaku (who), yaitu manusia, tempatnya (where), latar belakangnya (whay), dan daya kritis dari peneliti sejarah.
Dari pengertian demikian kita dapat mengatakan bahwa yang dimaksud sejarah Islam adalah peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang sungguh-sungguh terjadi yang seluruhnya berkaitan dengan agama Islam. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sejarah Islam adalah berbagai peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi, yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam dalam berbagai aspek. Dalam kaitan ini maka muncullah istilah yang sering digunakan untuk sejarah Islam ini, diantaranya Sejarah Islam, Sejarah Peradaban Islam, Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Dalam mempelajari dan mengkaji sejarah Islam (muslim) yang terkandung dalam buku-buku sejarah, maka kita harus mengetahui terlebih dahulu:
a. Apa yang menjadi tujuan penulisan, apakah bentuk sejarah pragmatik ataukah berbentuk filsafat sejarah.
b. Siapa penulis sejarah itu, termasuk bagaimana kecenderungan sikap hidup atau ide poliik yang dianutnya, dan
c. Kapan dia menulis, karena dari situ dapat pula memberi pengaruh apa dan siapa yang telah membuat dia berinterprestasi begitu.

B. Periodisasi Sejarah Islam
Dikalangan ahli sejarah terdapat perbedaan tentang kapan dimulainya sejarah Islam yang telah berusia lebih dari empat belas abad ini. Di satu pihak menyatakan bahwa sejarah Islam (muslim) dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. diangkat sebagai Rasul, dan berada di Makkah atau tiga belas tahun sebelim hijrah ke Madinah. Di lain pihak menyatakan, bahwa sejarah Islam itu dimulai sejak lahirnya negara Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW. Atau tepatnya setelah Nabi Muhammad SAW. Berhijrah ke Madinah yang sebelumnya bernama Yatsrib.
Timbulnya perbedaan dari kedua belah pihak tersebut disebabkan karena perbedaan tinjauan tentang unit sejarah. Pihak pertama melihat bahwa unit sejarah adalah masyarakat. Masyarakat Muslim telah ada sejak Nabi Muhammad SAW. Menyampaikan seruannya. Malah jumlah mereka sedikit atau banyak tidak menjadi soal. Disamping itu, meskipun mereka belum berdaulat, tetapi sudah terikat dalam satu organisasi yang memiliki corak tersendiri. Sedangkan pihak kedua melihat bahwa niat sejarah itu adalah Negara, sehingga sejarah Islam muai dihitung sejak lahirnya Negara Madinah.
Perbedaan pendapat tersebut akan tercermin pada pembagian periodisasi sejarah (kebudayaan) Islam yang dikemukakan oleh para ahli, terutama dalam hal tahun permulaan sejarah Islam pada periode pertama atau biasa disebut periode klasik, dan bahkan ada yang menyebutkan sebagai periode praklasik guna mengisi babakan sejarah Islam yang belum disebutkan secara tegas dalam periode klasik tersebut.
Hasjimy menyatakan bahwa para ahli sejarah kebudayaan telah membagi sejarah kebudayaan Islam kepada sembilan (9) periode, sesuai dengan perubahan-perubahan politik, ekonomi, dan social dalam masyarakat Islam selama masa-masa itu. Kesembilan periode itu adalah, sebagai berikut:
1. Masa permulaan Islam, yang dimulai sejak lahirannya Islam pada tanggal 17 Ramadhan 12 tahun sebelum hijrah sampai tahun 41 Hijriyah, atau 6 Agustus 610 sampai 661 M;
2. Masa Daulah Amawiyah: dari tahun 41-132 H. ( 661-750 M );
3. Masa Daulah Abbsiyah Islam: dari tahun 132-232 H. ( 750-847 M );
4. Masa Daulah Abbasiyah II: dari tahun 232-334 H. ( 847-946 M );
5. Masa Daulah Abbasiyah III: dari tahun 334-467 H. ( 946-1075 M );
6. Masa Daulah Abbasiyah IV: dari tahun 467-656 H. ( 1075-1261 M );
7. Masa Daulah Mungoliyah: dari tahun 656-925 H. ( 1261-1520 M );
8. Masa Daulah Usmaniyah: dari tahun 925-1213 H. ( 1520-1801 M );
9. Masa Kebangkitan Baru: dari tahun 1213 H. (1801 M ) sampai awal abad 20.
Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa periode sejarah kebudayaan Islam dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. Diangkat menjadi Rasul, pada tahun 12/13 tahun sebelum hijrah. Hal ini berarti mendukung pendapat pihak pertama sebagaimana uraian terdahulu.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Nourouzzaman as-Shiddiqi yang menyatakan bahwa waktu sekarang ini para sejarawan cenderung mengambil masyarakat sebagai unit sejarah. Jika unit sejarah itu tertumpu pada Negara, maka hal itu mengandung kelemahan. Artinya, batas Negara tidak selalu tetap. Dia telah membagi perjalanan sejarah Islam ke dalam tiga bagian besar beserta cirri-ciri sebagai berikut:
1. Periode klasik, yang dimulai sejak Rasulallah SAW. Menyampaikan seruannya sampai masa runtuhnya Dinasti Abbasiyah pada tahun 656 H/1258 M. Cirinya ialah tanpa menutup mata terhadap adanya dinasti-dinasti kecil, Dinasti Umaiyah Barat yang berkedudukan di Andalusia dan interengum (masa peralihan pemerintahan) Dinasti Fatimah di Mesir, masih ada satu kekuasaan politik yang kuat dan disegani. Dalam periode klasik inilah umat Islam mencapai prestasi-prestasi puncak di bidang kebudayaan.
2. Periode pertengahan yang dimulai sejak runtuhnya Dinasti Abbasiyah sampai abad ke-11 H/17 M. Ciri-cirinya ialah kekuasaan politik terpecah-pecah dan saling bermusuhan. Osmanli Turki, Mamluk Mesir, Umaiyah Barat di Andalusia, Mamluk India, dan berdirinya kerajaan-kerajaan Muslim yang berdaulat sendiri-sendiri.
3. Periode modern, yaitu sejak abad ke-12 H/18 M sampai sekarang. Dalam periode ini umat Islam sudah tidak memiliki kekuatan politik yang disegani. Dinasti Turki Osmanli yang pernah menggedor pintu Wina sudah mendapat julukan The Sick Man of Europa. Bukan saja Turki sudah tidak mampu memperluas wilayah dibagi-bagi antara Inggris, Perancis dan Rusia. Wilayah Turki Barat seperti sepotong kue yang menjadi rebutan antara kekuasaan-kekuasaan besar Barat. Bekas jajahan setiap Negara Barat inilah yang kemudian melahirkan Negara-negara baru setelah Perang Dunia I.

Pembagian periode sejarah Islam ke dalam tiga (3) periode tersebut memang merupakan pembagian secara garis besar. Bila dikaitkan dengan pendapat A. Hasjmy, maka periode pertama (periode klasik) dimulai sejak masa permulaan Islam sampai menjelang berakhirnya masa Daulah Abbasiyah IV (No. 1-6); periode kedua (periode pertengahan) adalah masa Daulah Mongoliyah dan masa Daulah Usmaniyah (No.7 dan 8); sedangkan Nomor 9 sebagai periode ketiga (periode modern).
Di lain pihak Harun Nasution juga telah membagi sejarah Islam secara garis besar ke dalam tiga (3) periode besar, yaitu periode klasik (650-1250 M); periode pertengahan (1250-1800 M); dan periode modern (1800-dan seterusnya). Periode klasik merupakan kemajuan Islam dan dibagi ke dalam dua fase, yaitu pertama: fase ekspansi, integrasi, dan puncak kemajuan (650-1000 M); dan kedua: fase disintegrasi, periode pertengahan juga dibagi ke dalam dua fase, yaitu pertama; fase kemunduran (1250-1500 M) dan fase ketiga kerajaan besar (1500-1800 M), yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700 M) dan zaman kemunduran (1700-1800 M), sedang periode modern merupakan zaman kebangkitan umat Islam.
Dari pendapat tersebut dapat dipahami periodisasi sejarah Islam dimulai pada tahun (650 M), yang berarti dia tidak memasukkan masa permulaan Islam (sejak Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul) sampai dengan tahun 650 M, sebagai periode Islam. Pada selama masa itu (610-650 M) Nabi Muhammad SAW dan umatnya (para sahabat) telah banyak berperan membawa perubahan-perubahan besar dikalangan masyarakat, yang seharusnya dimasukkan dalam suatu babakan (periodisasi) sejarah tersendiri.
Karena itu, untuk tidak mengurangi arti pendapat-pendapat sebelumnya dan juga pendapat dari Harun Nasution tersebut, maka ada baiknya periodisasi sejarah Islam secara garis besarnya dibagi ke dalam 4 (empat) periode besar, yaitu:
1. Periode praklasik (610-650 M), yang meliputi 3 (tiga) fase, yaitu: fase pembentukan agama (610-622 M), fase pembentukan Negara (622-632 M), dan fase praekspansi (632-650 M).
2. Periode klasik (650-1230 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M), dan fase disintegrasi (1000-1250 M).
3. Periode pertengahan (1250-1800 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase kemunduran (1250-1500 M), dan fase tiga kerajaan besar (1500-1800 M), dan
4. Periode modern (1800-dan seterusnya), yang merupakan zaman kebangkitan Islam.
C. Beberapa Peristiwa Penting Yang Terjadi Pada Masing-masing
Periode Sejarah Islam
I. Periode Praklasik (610-650 M)
Periode ini dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) fase, yaitu:
1. Fase Pembentukan Agama (610-622 M)
Pada fase ini Nabi Muhammad SAW melakukan kegiatan pembentukan akidah dan pemantapannya serta pengalaman ibadah di kalangan umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama dan wahyu-wahyu berikutnya, kemudian Nabi Muhammad SAW memperkenalkan Islam kepada masyarakatnya di Makkah berdasarkan wahyu tersebut. Dakwah yang beliau lakukan melalui tiga tahapan, yaitu: pertama, memperkenalkan Islam secara rahasia, dalam arti terbatas pada keluarga terdekat dan teman-teman akrabnya, melalui pendekatan pribadi. Tahap ini dilakukan secara hati-hati sehingga tidak menimbulkan kejutan dikalangan masyarakat, namun hasilnya cukup memadai,terbukti beberapa keluarga dan teman terdekatnya berhasil masuk Islam. Kedua dilakukan dengan semi rahasia, dalam arti mengajak keluarganya yang lebih luas dibandingkan pada tahap pertama, terutama keluarga yang bergabung dalam rumpun Bani Abdul Mutholib (Baca QS. As-Syu’ara: 214), Ketiga dilakukan secara terbuka dan terang-terangan dihadapan masyarakat umum dan luas (Baca QS.al-Hijr: 94) pada tahap ini Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya menghadapi oposisi dari berbagai pihak, bahkan mendapatkan siksaan berat sebagiannya mengakibatkan kematian. Sungguhpun demikian, akidah mengikuti Nabi tetap kokoh dan tidak luntur dalam menghadapi oposisi tersebut. Berbagai upaya dilakukan antara lain pengungsian rahasia ke Abbesinia, tetapi justru menimbulkan pengejaran hebat, bahkan terjadi pemboikotan massa atas pengikut Nabi Muhammad SAW. A. Syalabi telah menjelaskan beberapa sebab timbulnya reaksi negatif terhadap dakwah beliau, yaitu:
1) Persaingan dalam berebut kekuasaan.
2) Persamaan hak antara kasta bangsawan dan kasta hamba sahaya.
3) Takut dibangkitkan setelah manusia mati,untuk mempertanggungjawabkan segala amalannya selama hidup di dunia.
4) Taklid kepada nenek moyang.
5) Memperniagaan patung (masalah ekonomi).
2. Fase Pembentukan Negara (622-632 M)
Sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Yatsrib (Madinah) didahului dengan usaha memengaruhi para peziarah Ka’bah di Makkah agar mereka masuk Islam. Di antara mereka banyak yang berasal dari kabilah Khazraj dan Aus (Yatsrib/Madinah). Ternyata sebagian mereka menyambut baik atas seruan dan ajakan Nabi Muhammad SAW tersebut, yang pada gilirannya menyatakan diri masuk Islam serta diikuti dengan perjanjian kesetiaan mereka kepada agama Islam dan Nabi Muhammad SAW yang terkenal dengan ’’Perjanjian Aqabah’’.Beberapa upaya dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah, yaitu:
1) Mendirikan Masjid, sebagai tempat ibadah dan berkumpulnya umat Islam, secara gotong-royong;
2) Mempersaudarakan antara kaum Anshor dan Muhajiin;
3) Membuat perjanjian persahabatan (toleransi) antara intern umat Islam dan antara umat beragama; dan
4) Meletakkan dasar-dasar politik ekonomi dan social untuk masyarakat baru. Karena itu terbentuklah masyarakat yang disebut Negara kota dengan membuat konstitusi di dunia.

3. Fase Pra-Ekspansi (632-650 M)
Merupakan fase ekspansi pertama (pendahuluan), yang pada dasarnya dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
Pertama: Fase konsolidasi. Abu Bakar sebagai kholifah Islam pengikut Rasulallah SAW. (632 M) harus menghadapi suku-suku bangsa Arab yang tidak mau lagi tunduk kepada Madinah, mereka menganggap bahwa perjanjian yang mereka buat dengan Nabi SAW. Dengan sendirinya tidak mengikat lagi setelah beliau wafat. Selanjutnya mereka mengambil sikap menentang Abu Bakar ( ingkar kepada pemerintah Islam ) tidak mau membayar dinar karena itu Abu Bakar menyelesaikannya dengan perang Riddah (melawan kaum separatis) di bawah komando Khalid bin Walid, dan kemenangan di pihak Abu Bakar ( umat Islam ).
Kedua, Fase pembuka jalan. Dimana setelah selesai perang dalam negeri tersebut (konsolidasi), Abu Bakar mulai mengirim kekuatan-kekuatan ke luar Arabia. Khalid bin al-Walid memimpin tentara yang diantar ke Irak (wilayah Bizantium) dan dapat menguasai al-Hirah di tahun 634 M. Bersama dengan itu ke Suria (Iran) dikirim tentara di bawah pimpinan tiga Jendral: Amr Ibnu ‘Ash, Yazid Ibnu Abi Sofyan dan Syurahbil Ibnu Hasanah, dan ditunjang oleh pasukan Khalid, sehingga dapat menguasai kota Ajnadin dan Fihl.
Ketiga, Fase pemerataan jalan. Dimana usaha-usaha yang dirintis oleh Abu Bakar untuk membuka jalan ekspansi, kemudian dilanjutkan oleh khalifah kedau, Umar bin Khatab (634-664 M). pada zaman Umar inilah gelombang ekspansi pertama terjadi kota Damaskus jatuh di tahun 635 M dan setahun kemudian Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, daerah Suria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan adanya gelombang ekspansi pertama ini (menurut istilah kami fase perantara jalan ekspansi). Maka kekuasaan Islam di bawah Khalifah Umar telah meliputi selain Semenanjung Arabiah, juga Palestina, Suria, Irak, Persia, dan Mesir.
Keempat, Fase jalan buntu, yaitu pada zaman Usman bin Affan (644-656 M) sebagai khalifah ketiga, dan pada zaman Ali bin Abi Thalib (656-661 M) khalifah keempat. Pada zaman Usman, meskipun Tripoli, Ciprus dan beberapa daerah lain dikuasai, tetapi gelombang ekspansi pertama berhenti sampai disini, karena dikalangan umat Islam mulai terjadi perpecahan menyangkut masalah pemerintahaan dan dalam kekacauan yang timbul itu Usman mati terbunuh.
Selanjutnya diganti oleh Ali bin Abi Thalib, tetapi mendapat tantangan dari pendukung Usman, terutama Muawiyah Gubernur Damaskus dari Golongan Thalhah dan Zubair di Makkah dan kaum Khawarij dan Ali sebagaimana Usman juga terbunuh.
II. Periode klasik (650-1250 M)
Periode Klasik ini merupakan zaman kemajuan umat Islam. Harun Nasution telah membagi periode klasik ini ke dalam dua (2) fase, yaitu:
1. Fase Ekspansi, Integrasi, dan Puncak Kemajuan (650-1000 M)
Periode klasik ini merupakan periode kebudayaan dan peradaban Islam yang tertinggi dan mempunyai pengaruh terhadap tercapainya kemajuan atau peradaban modern di Barat sekarang, sungguhpun tidak dengan secara langsung. Hal ini diakui oleh para orientalis Barat, sebagai berikut:
a. Christopher Dawson, menyatakan:”Periode kemajuan Islam ini bersamaan masanya dengan abad kegagalan di Barat (Eropa).”
b. H. McNeill, menyatakan:”Kebudayaan Kristen di Eropa di antara tahun 600-1000 M sedang mengalami masa surut yang rendah. Di abad XI Eropa mulai sadar akan adanya peradaban Islam yang tinggi di Timur, dan melalui Spanyol, Sicilia, Perang Salib peradaban itu sedikit demi sedikit di bawa ke Eropa.”
c. Gustave Lebon, menyatakan: “Orang Arablah yang menyebabkan kita mempunyai peradaban, karena mereka imam kiita selama enam abad..”
d. Romm Landayu, dari hasil penelitiannya mengambil kesimpulan bahwa “dari orang Islam periode klasik inilah orang Barat belajar berfikir serta objektif dan logis, dan belajar lapang dada.
e. Jacques C. Rislar juga menyatakan bahwa “ilmu pengetahuan dan teknik Islam amat dalam memengaruhi kebudayaan Barat.”
2. Fase Disintegrasi (1000-1250 M)
Fase disintegrasi merupakan fase di mana pemisahan diri dinasti-dinasti dari kekuasaan pusat, dilanjutkan dengan perebutan kekuasaan antara dinasti-dinasti tersebut untuk menguasai satu sama lain. Misalnya:(1). Dinasti Buwaihi yang menguasai daerah Persia dikalahkan oleh Saljuk pimpinan Tughril Beg (1076 M).
(2). Dinasti Saljuk waktu dipimpin Nizamul Mulk dikalahkan oleh Dinasti Hasysyasin pimpinan Hasan Ibnu Sabah, yang meskipun Dinasti Saljuk masih sempat berdiri, tetapi akhirnya dikalahkan total pada Perang Salib oleh Paus Urban II (1096-1099 M).
III. Periode Pertengahan (1250-1800 M)
Periode pertengahan ini juga dibagi ke dalam dua (2) fase yaitu:
1. Fase Kemunduran (1250-1500 M)
Pada masa ini desentralisasi dan disintegrasi bertambah meningkat. Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah, demikian juga antara Arab dan Persia bertambah tampak. Dunia Islam pada zaman ini terbagi dua, yaitu: Bagian Arab yang terdiri dari Arabia, Irak, Suria, Palestina, Mesir dan Afrika Utara, dengan Mesir sebagai pusat, dan Bagian Persia yang terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai Pusat.
2. Fase Tiga Kerajaan Besar (1500-1700 M) yang Dimulai dengan Zaman Kemajuan (1500-1700 M), Kemudian Zaman Kemunduran (1700-1800 M). Tiga Kerajaan Besar Tersebut Ialah Kerajaan Usmani (Ottoman Empire) di Turki, Kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India.
Dimasa kemajuaan, ketiga kerajaan besar tersebut mempunyai kerajaan masing-masing, terutama dalam bentuk literature dan arsitek. Masjid-masjid dan gedung-gedung indah yang didirikan di zaman ini masih dapat dilihat di Istambul, di Tibriz, Isfahan, serta kota-kota lain di Iran dan Delhi. Kemajuan umat Islam di zaman ini lebih banyak merupakan kemajuan di periode klasik.
Sedangkan di zaman kemunduran kerajaan Usmani terpukul di Eropa, Kerajaan Safawi dihancurkan oleh serangan-serangan suku bangsa Afgam, dan daerah kekuasaan kerajaan Mughal diperkecil oleh pukulan-pukulan raja-raa India. Kekuatan militer dan kekuatan politik umat Islam menurun umat Islam dalam keadaan kemunduran drastis. Akhirnya Napoleon pada tahun 1798 M. menduduki Mesir, sebagai salah satu pusat Islam terpentin jatuhnya pusat umat Islam ke tangan Barat, menginsafkan dunia Islam.
IV. Periode Modern (1800 M-dan seterusnya)
Ciri-ciri umat Islam pada periode modern ini adalah keadaan yang berbalik dengan pada periode klasik. Dalam arti, umat Islam pada periode ini sedang menaik sementara Barat sedang dalam kegelapan sedang pada periode modern ini sebaliknya, umat Islam sedang dalam kegelapan sementara Barat sedang mendominasi dunia Islam, dan umat Islam ingin belajar dari Barat tersebut.
KESIMPULAN


Sejarah Islam adalah berbagai peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi, yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam dalam berbagai aspek. periodisasi sejarah kebudayaan Islam dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. Diangkat menjadi Rasul, pada tahun 12/13 tahun sebelum hijriyah, periode sejarah kebudayaan Islam dapat dibagi dalam 9 periode, yaitu:
1. Masa permulaan Islam, yang dimulai sejak lahirannya Islam pada tanggal 17 Ramadhan 12 tahun sebelum hijrah sampai tahun 41 Hijriyah, atau 6 Agustus 610 sampai 661 M;
2. Masa Daulah Amawiyah: dari tahun 41-132 H. ( 661-750 M );
3. Masa Daulah Abbsiyah Islam: dari tahun 132-232 H. ( 750-847 M );
4. Masa Daulah Abbasiyah II: dari tahun 232-334 H. ( 847-946 M );
5. Masa Daulah Abbasiyah III: dari tahun 334-467 H. ( 946-1075 M );
6. Masa Daulah Abbasiyah IV: dari tahun 467-656 H. ( 1075-1261 M );
7. Masa Daulah Mungoliyah: dari tahun 656-925 H. ( 1261-1520 M );
8. Masa Daulah Usmaniyah: dari tahun 925-1213 H. ( 1520-1801 M );
9. Masa Kebangkitan Baru: dari tahun 1213 H. (1801 M ) sampai awal abad 20.
Periodisasi sejarah Islam secara garis besarnya dapat dibagi ke dalam 4 (empat) periode besar, yaitu:
1. Periode praklasik (610-650 M), yang meliputi 3 (tiga) fase, yaitu: fase pembentukan agama (610-622 M), fase pembentukan Negara (622-632 M), dan fase praekspansi (632-650 M).
2. Periode klasik (650-1230 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M), dan fase disintegrasi (1000-1250 M).
3. Periode pertengahan (1250-1800 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase kemunduran (1250-1500 M), dan fase tiga kerajaan besar (1500-1800 M), dan
4. Periode modern (1800-dan seterusnya), yang merupakan zaman kebangkitan Islam.






DAFTAR PUSTAKA


Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Ed. Revisi -11: PT.Raja Grafindo Persada Jakarta Thn. 2007.
Atang Abd.Hakim, Jaih Mubarok, Metodologo Studi Islam, Ed. Revisi -9: PT.Remaja Rosda Karya, Bandung. Mei 2007.
Muhaimin, Abd.Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Ed. I cetakan ke-2 PT.Prenada Media, Jakarta, Juli 2007.
Tadjab, Muhaimin, Abd.Mujib, Dimensi-dimensi Studi Islam, cetakan pertama, PT.Karya Abditama, Surabaya, Agustus 1994.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1 (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 57
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983), hal. 87-89.
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyrik, 1986), hal. 8.
Majdid wahab, Kamil al-Muhandis, Mu’jam al-Musthalahat al-Arabiyah fi al-Lughah wa al-adab, (Beirut: Maktab Lubanani, 1984), hal. 82.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1988), hal. 794.
AS. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Distionary of Current English, (Oxford University Press, 1983), hal. 405
 
Blogger Templates