Subscribe:

Mari Membaca

Ads 468x60px

Social Icons

Senin, 25 Oktober 2010

HADITS : ANCAMAN BAGI YANG TIDAK BERPUASA

Ancaman Bagi Orang Yang Tidak Berpuasa Di Bulan Ramadlan Tanpa 'Udzur Syar'i

عن أبي هُرَيْرَةَ قالَ: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم "مَنْ أفْطَرَ يَوْماً مِنْ رَمَضَانَ منْ غَيْرِ رُخْصَةٍ ولا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِ عنهُ صَوْمُ الدّهْرِ كُلّهِ وإنْ صَامَهُ". رواه الترمذي

Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang berbuka (tidak berpuasa) sehari di bulan Ramadlan tanpa mendapatkan rukhshoh (keringanan) dan juga tanpa adanya sakit, maka seluruh puasa yang dilakukannya selama setahun tidak dapat menimpalinya (membayarnya)." (HR.at-Turmudziy)

عن أبي هُرَيْرَةَ قالَ: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم "مَنْ أفْطَرَ يَوْماً مِنْ رَمَضَانَ منْ غَيْرِ عِلَّةٍ ولا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدّهْرِ كُلّهِ وإنْ صَامَهُ" . ذكره البخاري معلقا

Dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang berbuka (tidak berpuasa) sehari di bulan Ramadlan tanpa adanya alasan ('udzur) ataupun sakit, maka seluruh puasa yang dilakukannya selama setahun tidak dapat menimpalinya (membayarnya)." (HR.al-Bukhariy secara Ta'liq)

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud, dia berkata, "Barangsiapa yang berbuka (tidak berpuasa) sehari di bulan Ramadlan tanpa adanya alasan ('udzur), maka tidak ada artinya puasa selama setahun hingga dia bertemu dengan Allah; jika Dia menghendaki, maka Dia akan mengampuninya dan bila Dia menghendaki, maka Dia akan menyiksanya." (Lihat, Fathul Bâriy, Jld.IV, h.161)

Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Umamah al-Bahiliy radliyallâhu 'anhu, dia berkata, "Aku mendengar Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam bersabda, 'Tatkala aku sedang tidur, tiba-tiba datang dua orang kepadaku, lantas meraih kedua lengan atasku, kemudian membawaku pergi ke bukit yang terjal. Keduanya berkata, 'Naiklah.' Lalu aku berkata, 'Aku tak sanggup.' Keduanya berkata lagi, 'Kami akan membimbingmu supaya lancar.' Maka akupun naik hingga bilamana aku sudah berada di puncak gunung, tiba-tiba terdengar suara-suara melengking, maka akupun berkata, 'Suara-suara apa ini?.' Mereka bekata, 'Ini teriakan penghuni neraka.' Kemudian keduanya membawaku pergi, tiba-tiba aku sudah berada di tengah suatu kaum yang kondisinya bergelantungan pada urat keting (urat diatas tumit) mereka, sudut-sudut mulut (tulang rahang bawah) mereka terbelah sehingga mengucurkan darah.' Aku bertanya, 'Siapa mereka itu?.' mereka menjawab, 'Merekalah orang-orang yang berbuka (tidak berpuasa) sebelum dihalalkannya puasa mereka (sebelum waktu berbuka).' " . (HR.an-Nasa`iy, di dalam as-Sunan al-Kubro sebagaimana di dalam buku Tuhfatul Asyrâf, Jld.IV, h.166; Ibn Hibban di dalam kitab Zawâ`id-nya, No.1800; al-Hâkim, Jld.I, h.430 . Dan sanadnya adalah Shahîh. Lihat juga, Kitab Shahîh at-Targhîb wa at-Tarhîb, No.995, Jld.I, h.420)

Demikianlah gambaran yang amat mengenaskan dari azab yang kelak akan dialami oleh mereka-mereka yang melanggar kehormatan bulan suci Ramadlan dan mengejek syi'ar yang suci ini dengan tidak berpuasa di siang bolong secara terang-terangan. Sungguh, mereka akan digantung dari ujung kaki mereka layaknya binatang yang digantung saat akan disembelih dimana posisi kakinya diatas dan kepala di bawah. Ditambah lagi, sudut-sudut mulut mereka juga akan terbelah dan mengucurkan darah. Kondisi tersebut benar-benar menjadi gambaran yang sadis dan mengenaskan.
Apakah setelah itu, mereka yang telah berbuat zhalim terhadap diri mereka sendiri, melanggar kehormatan bulan yang diberkahi ini, tidak mengindahkan kehormatan waktu dan hak Sang Khaliq dan menghancurkan rukun ke empat dari rukun Islam tanpa mau ambil peduli untuk apa mereka sebenarnya diciptakan tersebut, mau menjadikannya sebagai pelajaran berharga?

UCAPAN PARA ULAMA

Sementara para ulama menyatakan bahwa orang yang berbuka (tidak berpuasa) pada bulan Ramadlan tanpa 'udzur, maka dia telah melakukan salah satu dari perbuatan dosa besar (Kaba`ir).
Berikut beberapa ucapan para ulama:
1. Imam adz-Dzahabiy berkata, "Dosa besar ke-enam adalah orang yang berbuka pada akhir Ramadlan tanpa 'udzur.." (al-Kabâ`ir:49)
2. Syaikhul Islam, Ibn Taimiyyah berkata, "Bilamana orang yang muntah dianggap sebagai orang yang diterima 'udzurnya, maka apa yang dilakukannya adalah boleh hukumnya. Dengan begitu, dia termasuk kategori orang-orang sakit yang harus mengqadla puasa dan tidak termasuk pelaku dosa-dosa besar yang mereka itu berbuka (di bulan Ramadlan) tanpa 'udzur…" (Majmu' Fatawa:XXV/225)
3. al-Quffâl berkata, "…Dan barangsiapa yang berbuka di bulan Ramadlan selain karena jima' tanpa 'udzur, maka wajib baginya mengqadla dan menahan diri dari sisa harinya. Dalam hal ini, dia tidak membayar kaffarat (tebusan) namun dia dita'zir oleh penguasa (diberi sanksi yang pas menurut mashlahat yang dipandangnya). Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan Daud azh-Zhahiriy…" (Hilyah al-Awliyâ`:III/198)
4. Syaikh Abu Bakar al-Jazâ`iriy sebagai yang dinukilnya dari Imam adz-Dzahabiy berkata, "…Sebagai yang sudah menjadi ketetapan bagi kaum Mukminin bahwa barangsiapa yang meningglkan puasa bulan Ramadlan bukan dikarenakan sakit atau 'udzur maka hal itu lebih jelek daripada pelaku zina dan penenggak khamar bahkan mereka meragukan keislamannya dan menganggapnya sebagai Zindiq atau penyeleweng…" (Risalah Ramadlan:66)

Seruan
Sesungguhnya orang-orang yang dengan terang-terangan berbuka (tidak berpuasa) di siang bolong pada bulan Ramadlan sementara kondisi mereka sangat sehat dan tidak ada 'udzur yang memberikan legitimasi pada mereka untuk tidak berpuasa adalah orang-orang yang sudah kehilangan rasa malu terhadap Allah dan rasa takut terhadap para hamba-Nya, otak-otak mereka telah dipenuhi oleh pembangkangan, hati mereka telah dipermainkan dan disentuh oleh syaithan dan gelimang dosa.
Mereka tidak menyadari bahwa dengan tidak berpuasa tersebut, berarti mereka telah menghancurkan salah satu dari rukun-rukun dien ini. Mereka adalah orang-orang yang fasiq, kurang iman dan rendah derajat. Kaum Muslimin akan memandang mereka dengan pandangan hina. Mereka termasuk para pelaku maksiat yang besar dan kelak di hari Kiamat, siksaan Allah Yang Maha Perkasa Lagi Kuasa telah menunggu mereka.
Semoga Allah menjauhkan kita dari hal itu, nau'ûdzu billâhi min dzâlik. Wallahu a'lam.

(Diambil dari buku ash-Syiyâm; Ahkâm Wa Adâb karya
Prof.Dr.Syaikh 'Abdullah ath-Thayyar, h.109-111)

Mazhab Hanafi

Pendahuluan


Dewasa ini sangat mudah sekali kita temui wanita-wanita yang senang mempertontonkan auratnya tanpa adanya rasa penyelasan, dengan menunjukkan lekuk tubuhnya yang seksi, adalah suatu kebanggaan untuk mereka, padahal itu adalah suatu kesalahan yang fatal akibatnya, kalau mereka benar-benar sayang akan kecantikan dan keindahan tubuhnya tidaklah seharusnya mereka memperlihatkannya karena itu sama saja mengundang nafsu birahi.

Ada juga yang memakai jilbab tapi pakaiannya tetap saja menunjukkan lekuk tubuhnya dan mengatasnamakan Tren, hal itu mereka anggap sangatlah baik padahal mereka telah merusak citra dari memakai jilbab dan menutup aurat itu sendiri.

Syaikh Bakar Abu Zaid menyatakan bahwa Jilbab adalah baju kurung yang tebal yang dikenakan seorang wanita dari kepala hingga kedua kakinya dan menutupi seluruh tubuhnya berikut pakaian dan perhiasan yang dikenakannya.Akan tetapi dalam tulisan ini, fokus utamanya adalah aurat (apa saja yang boleh dilihat dan yang tidak boleh dilihat) bukan jilbabnya. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua.


I. Sejarah singkat Imam Hanafi (Abu Hanifah)

Imam Abu Hanifah adalah seorang pendiri mazhab Hanafi. Nama lengkap beliau adalah Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit bin Zufti at-Tamimi. Dilahirkan di Kuffah 80 H/699 M, pada masa pemerintahan al-Qalid bin Abdul Malik. Beliau berasal dari kalangan seorang pedagang. Dalam hal mendalami ilmu pengetahuan al-Qur’an, beliau sempat belajar pada Imam Asin, seorang ulama terkenal pada masa itu. Selain itu beliau juga mendalami ilmu Fiqh pada sahabat Rasul diantaranya Anas binMalik, Abdullah bin Aufa dan Abu Tufail Amir, beliau juga mendalami hadits dari mereka. Beliau juga pernah belajar pada seorang ulama yangbernama Humaid bin Abu Sulaiman.

Setelah 10 tahun sepeninggal gurunya, yakni 130 H, beliau pergi meninggalkan Kuffah menuju Makkah, disanalah beliau bertemu dengan muridnya Abdullah bin Abbas r.a. semasa hidupnya beliau dikenal sebagai orang yang alim dalam ilmunya, zuhud, sangat tawaddhu’ dan teguh dalam memegang ajaran agama.Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/769 M, pada usia 70 tahun. Beliau dimakamkan di Khirza. Pada tahun 450 H/1066 M didirikanlah sebuah sekolah yang diberinama Jami’ Abu Hanifah.

Secara garis besar, para imam-imam mazhab sepakat mengenai pengambilan suatu hukum haruslah berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Akan tetapi yang membedakannya terletak pada pencarian suatu hukum yang berdasarkan kaedah-kaedah dasar berupa tujuan moral, illat dan lain sebagainya, maka pengambilan hukum disebut qiyas. Dan perlu diketahui bahwa Abu Hanifah terkenal dengan mazhab rasionalisme, akan tetapi bukan berarti ia mengabaikan nash-nash al-Qur’an dan Sunnah atau meninggalkan ketentuan hadits dan atsar.

I. Ciri khas Imam Hanifah

“saya kembalikan segala persoalan pada Kitabullah, saya merujuk pada sunnah Nabi, namun apabila saya tidak menemukan jawaban hukum dalam Kitabullah ataupun Sunnah Nabi saw, maka saya akan mengambil pendapat para sahabat Nabi dan tidak beralih fatwa selain pada mereka. Apabila masalahnya sampai pada Ibrahim, Sya’bi, Hasan bin Sirin, Atha’ dan Said bin Musayyib, maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”.

a. Imam Hanifah lebih menekankan kepada fiqh muamalah.
b. Beliau memberikan penghargaan khusus kepada pria atau wanita, menurut beliau yang menjadi hakim tidak harus pria tetapi juga hak wanita yang memiliki potensi.

Tidak ada riwayat sahih yang menemukan bahwa AbuHanifah mendahulukan rasio ketimbang al-Qur’an dan as Sunnah. Bahkan jika ia menemukan pendapat sahabat yang benar, ia menolak untuk berijtihad.

Adapun metode yang digunakan beliau dalam menetapkan hukum berdasarkan 8 hal pokok;

1. Al-Qur’an sebagai sumber dari segala hukum.
2. Sunnah Rasul sebagai penjelas terhadap hal-hal global yang ada dalam al-Qur’an.
3. Fatwa Sahabat (Aqwal Assahabat) yaitu karena para sahabat mengetahui turunnya al-Qur’an dan Asbab nuzulnya serta asbabul khuruj hadits dan para perawinya.
4. Qiyas (analogi) penetapan hukum yang memiliki persamaan pada permasalahan atau illat nya yang ada pada qur’an dan sunnah.
5. Istihsan, suatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu dari al-Qur’an dan Sunnah.
6. Ijma’ yaitu kesepakatan para mujtahid dalam suatu kasus hukum pada masa tertentu.
7. Urf ‘yaitu kebiasaan yang dilakukan orang muslim yang tidak ada nashnya baik al-Qur’an maupun Sunnah dan prakteknya pada masa sahabat
8. Hilah Syar’iyyah ialah suatu jalan yang dilalui sebagai upaya untuk keluar dari kesempitan masalah dengan cara yang menurutnya diakui oleh syara’.


II. Contoh Ayat dan Tafsir serta Penjelasan para Imam

Dalam permasalahan aurat bagi wanita para imam berpendapat;

Artinya:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(al-Ahzab; 59)

Berkata Imam At-Thabari dalam tafsirnya bahwa maknanya, Allah swt berfirman pada Nabi saw: Hai Nabi, katakan pada istrimu, anak-anak-mu dan wanita muslimah: Janganlah kalian menyerupai wanita-wanita lain dalam cara berpakaiannya (yatasyabbahna bil ima’i fi libasihinna) yaitu dengan membiarkan rambut dan wajah terbuka, melainkan tutup semua itu dengan jilbab.

Sedangkan Imam Ibnu Katsir mengatakan maknanya: Allah swt menyampaikan kepada Nabi agar memerintahkan kepada semua wanita muslimah agar menjaga kehormatan mereka dan agar mereka berbeda dengan cara berpakaiannya wanita jahiliyyah yaitu hendaklah gunakan jilbab.

Imam Al Qurtubi dalam Tafsirnya mengatakan: “Hukum yang nampak dari lafazh ayat ini menurut pendapat saya adalah hendaknya seorang wanita bersungguh-sungguh untuk tidak menampakkan perhiasannya, adapun pengecualian itu berlaku pada saat darurat yang memang memerlukan gerakan yang di butuhkan.

IV. Pendapat Para Imam Mengenai Aurat Bagi Wanita

a. Madzhab Hanafi
Dalam kitab al-Mansukh karangan Asy-Syarkasyi dikatakan “kepala wanita itu aurat” dan disebutkan pula disana “wanita yang berikhram tidak boleh menutup wajahnya” oleh karenanya wanita hanya memakai pakaian berjahit yang menutup kepala namun tidak menutup wajahnya. Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa madzhab Hanafi berpendapat bahwasannya aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Beberapa ulama menyatakan, perempuan diharuskan menutup telapak kakinya ketika shalat, seperti yang sering dipraktekkan umat Islam Indonesia. Tetapi, bagi ulama mazhab Hanafi, seperti dituturkan az-Zaila'i, hadis ini dianggap lemah, termasuk oleh Ibn al-Jawzi dan Ibn Hatim (Nashb ar-Rayah, juz II, h. 300). Karenanya, ulama Hanafi memperkenankan telapak kaki perempuan untuk terbuka, di dalam dan di luar sembahyang.

b. Imam Malik
Termuat dalam al-Muwattha, suatu ketika imam Malik ditanya, “bolehkah wanita makan bersama pria yang bukan mahromnya atau pembantu laki-laki?” lalu imam Malik menjawab, “tidak apa-apa kalau hal itu dilakukan dengan cara yang dikenal wanita untuk makan bersama laki-laki. Beliau berkata dan kadang wanita makan bersama suaminya dan orang lain teman suaminya.

Menurut Abul Qasim perkataan ini membolehkan wanita menampakkan wajah dan kedua telapak tangannya kepada lelaki asing, sebab tidak tergambarkan keadaan makan kecuali dengan menampakkan wajah dan tangan. Imam Malik juga menyatakan bahwa jika seorang wanita merasa wajahnya atau dua telapak tangannya terasa indah sehingga dikhawatirkan timbul fitnah bagi orang yang melihatnya, maka sebaiknya ia menutup bagian tersebut.

Disebutkan dalam kitab al-Mudhawanatul Kubro imam Malik berkata “Jika wanita melakukan shalat sedangkan rambutnya tampak atau dadanya tampak, atau punggung kakinya tampak maka hendaklah ia mengulang selama masih dalam waktunya”.

c. Madzhab Syafii
Disebutkan dalam kitab al-Umm, “Dan tidak boleh pria dan wanita melakukan shalat kecuali dengan menutup aurat. Aurat laki-laki ialah apa yang ada dalam pusar hingga lutut dan wanita harus menutup seluruh tubuhnya ketika shalat selain kedua telapak tangan dan wajahnya.

Disebutkan pula dalam kitab al-Muhadzadzab karangan Asy_Syairozi “Adapun wanita merdeka maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangan”, mengingat firman Allah yang menyatakan untuk menampakkan wajah dalam jual beli, dan telapak tangan untuk mengambil dan memberi, maka yang demikian itu tidak dijadikan aurat. Dan pada tempat lain disebutkan, “Jika seorang hendak menikahi seorang wanita maka boleh lah ia melihat wajah dan telapak tangannya, dan tidak boleh melihat selain keduanya, karena kedua hal itu aurat.

d. Madzhab Hanbali
Disebutkan dalam al-Mukhtasor karangan al-Khiraqi mengatakan “Maka jika ada sesuatu selain wajah yang terbuka dari wanita maka ia harus mengulang shalatnya”. Disebutkan pula dalam kitab al-Hidayah karangan al-Khaludzani “aurat wanita merdeka adalah seluruh badannya kecuali wajahnya, sedangkan mengenai kedua telapak tangan ada dua riwayat. Dalam kitab al-Ifshah ‟Anish-Shashihah karangan Ibnu Hubirah“ dan Ahmad berkata di salah satu dari dua riwayatnya, “Semuanya adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangannya”. Dalam riwayat lain disebutkan “Semuanya adalah aurat kecuali wajahnya saja”. Dan itulah yang masyhur dan pendapat inilah yang dipilih oleh al-Khiraqi. Sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa seluruh anggota tubuh wanita (dari ujung rambut sampai ujung kaki bahkan sampai dengan kuku-kukunya) adalah aurat.

Selasa, 06 Juli 2010

Hadits: Ancaman bagi orang yang tidak mau belajar dan mengajarkan ilmunya

CELAKALAH BAGI ORANG YANG TIDAK MAU BELAJAR DAN MENGAJARKAN ILMUNYA


I. PENDAHULUAN


Dalam kehidupan sehari-hari mengaplikasikan terhadap sesuatu yang baru dipahami sangat sulit untuk diterapkan, apalagi harus diajarkan. Berbeda dengan dunia pendidikan yang harus dan mewajibkan orang-orang yang terjun kedalamnya untuk memberikan pengetahuannya kepada orang lain agar ilmunya dapat berkembang dan tidak sia-sia begitu saja dan untuk tidak menyesatkan seseorang atas suatu pemahaman yang salah diartikan.
Orang yang mempunyai suatu ilmu yang tidak dimiliki oleh orang lain lalu dia tidak mengajarkannya maka ia dikatakan bakhil. Nah, dalam pembahasan kali ini ada satu hadits yang mengatakan “celakalah orang yang tidak mau belajar dan mengajarkan ilmunya”, apakah hadits ini statusnya diakui (shohih) atau tidak (dho’if). Disini kami akan mencoba untuk meneliti tingkatan hadits ini dengan metode takhrij hadits. Semoga dengan menggunakan metode yang telah diciptakan oleh para muhadditsin ini kami dapat mengetahui status dari hadits ini dengan sejelas-jelasnya.
Metode yang digunakan dalam mentakhrij hadits ini adalah metode ke-3 dan Multimedia yaitu mencari kata-kata yang asing.
Demikianlah pemaparan singkat mengenai isi dari tugas Takhrij Hadits ini.


II. TEKS HADITS YANG DI TAKHRIJ;

حدثنا أحمد بن جعفر النسائي، وأبو سعيد عبد الرحمن بن محمد بن حسكا القاضي النيسابوري، قال: حدثنا محمد بن عبدة القاضي البغدادي، حدثنا إبراهيم بن سعيد الجوهري، حدثنا قيس، عن الأعمش، عن أبي وائل، عن حذيفة رضي الله تعالى عنه، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " ويل لمن لا يعلم، وويل لمن علم ثم لا يعمل "


III. MATA RANTAI SANAD
Adalah sebagai berikut;

رسول لله صلى الله عليه وسلم

حذيفة بن اليمان

شقيق بن سلمة الأسدى

سليمان بن مهران الأسدى

قيس بن الربيع الأسدى

إبراهيم بن سعيد الجوهرى

أبو نعين الأصبهان


IV. KRITIK MATAN

2922 - ويل لمن لا يعلم وويل لمن يعلم ثم لا يعمل - ثلاثا . رواه أبو نعيم عن حذيفة ، ورواه النجم عن جبلة بن سحيم مرسلا بلفظ ويل لمن لا يعلم ولو شاء الله لعلمه واحد من الويل وويل لمن يعلم ولا يعمل سبع من الويل
63 - أخبرنا الحسن بن أبي بكر ، قال : أنا حامد بن محمد بن عبد الله الهروي ، ثنا عبد الله بن محمد بن وهب ، ثنا إبراهيم بن سعيد الجوهري ، ثنا أبو أحمد الزبيري ، ثنا قيس بن الربيع ، عن الأعمش ، عن أبي وائل ، عن حذيفة بن اليمان ، فيما أعلم قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : « ويل لمن لا يعلم ، وويل لمن علم ثم لا يعمل ثلاثا »
حدثنا أحمد بن جعفر النسائي، وأبو سعيد عبد الرحمن بن محمد بن حسكا القاضي النيسابوري، قال: حدثنا محمد بن عبدة القاضي البغدادي، حدثنا إبراهيم بن سعيد الجوهري، حدثنا قيس، عن الأعمش، عن أبي وائل، عن حذيفة رضي الله تعالى عنه، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " ويل لمن لا يعلم، وويل لمن علم ثم لا يعمل


Dalam hadits ini tidak ada pertentangan atau perbedaan yang ada hanya penambahan kata saja dan sebagai penguat hadits utama dalam tulisan takhrij hadits ini. Menurut penulis yang berkaitan dengan isi matan hadits ini adalah seperti yang digambarkan dalam alqur’an, yaitu:


Artinya:
"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.



Tidaklah sama orang yang mengetahui (orang yang berilmu) dengan orang yang bodoh (jahil), dan hanya orang yang berakallah yang mau menggunakan akalnya, maksudnya tidak mungkin orang yang gila akan belajar dan hanya orang yang waras dan memiliki akal yang sehat yang mau belajar dan mempelajari sesuatu yang belum diketahuinya kemudian mengajarkannya agar semua orang dapat memahaminya dengan ilmunya itu.
Orang yang berilmu sudah tentu dia akan selamat dari kebodohan dan orang bodoh pasti akan tersesat, oleh karena itu dalam hubungannya dengan hadits diatas adalah ancaman besar yang akan diterima orang yang tidak mau mengajarkan ilmunya dan kerugian yang akan diterima oleh orang yang tidak ingin belajar, yaitu keraguan ataupun salah dalam pemahaman.
Dewasa ini bukanlah orang kaya yang akan menggenggam dunia akan tetapi orang berilmulah yang akan memegangnya karena pengetahuannya yang luas. Dengan ilmu pula orang-orang dapat menciptakan sesuatu yang belum pernah terpikirkan atau dibuat oleh manusia. Dan karena ilmu juga seseorang terangkat setatus atau derajatnya, seperti yang digambarkan Allah dalam al-qur’an:


Artinya:
Allah akan meninggikan (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.


Maksud dari ayat ini adalah, orang yang memiliki ilmu tentu dia akan dipercaya dalam dalam keilmuan dan kejujurannya, Karena dengan ilmunya itu adalah jembatan bagi orang untuk orang-orang yang tidak mengetahui atau memahami suatu permasalan apalagi dalam hal keagamaan dan dengan keilmuannya pulalah Allah mengangkat derajatnya diantara manusia.
Menurut Quraish Shihab ilmu itu adalah 2 bagian yaitu ilmu materi dan non materi. Pembagian ini disebabkan karena dalam al-qur’an terdapat hal-hal yang “ada” tetapi tidak dapat diketahui melalui upaya manusia.


Artinya:
Maka aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. dan dengan apa yang tidak kamu lihat.

Dengan demikian objek ilmu meliputi materi dan non materi, fenomena dan nonfenomena, bahkan ada wujud yang jangankan dilihat, diketahui oleh manusia pun tidak.

V. MENGENAL PARA PERAWI DAN KRITIK TERHADAP MEREKA

 Nama: Huzaifah bin Al-Yaman, Husail, dan ada yang menyebutnya dengan nama Hasal bin jabir bin Usaid, Abu Abdillah Al-Al-Abasi
 Tahbaqoh: ke 1, sahabat
 Wafat:36 H
 Guru-gurunya: Nabi SAW, Umar bin Al-Khattab
 Murid-muridnya: Asud bin Yazid An-Nakhai’, Bilal bin Yahya al-Abasi, Tsa’labah bin Zahdam At-Tamimi, Jabir bin Abdillah, Jundub bin Abdillah Al-Bajali, Hashin bin Jundub, Khalid bin Khalid, Sabi’ bin Khalid Al-Yasykuri, Khalid bin Ar-Rabi Al-Abasi,Zajan Abu Umar Al-Kanadi, Zur bin Habisy Al-Asadi, Abu Sya’tsan Salam bin Asud Abu Wail Syaqiq bin Salamah Al-Asadi, Salah bin Zafar Al-Abasi, Dhabi’ah bin Hashin As-Tsa’labi, Thariq bin Syihab, Abu Hamzah Thalhah bin Yazid, Abu Thufail A’mir bin Wasilah Al-Laitsi, Abu Idris A’izallah, Abu Qalabah Abdullah bin Zaid Al-Jarimi, Abdullah bin Shamit, Abdullah bin Abdurrahman Al-Asyhali, Abdullah bin A’kim al-Juhni, Abdullah bin Fairuz Al-Dailami, Abdullah bin Yazid Al-Khatami, Abdullah bin Yasar Al-Juhni, Abdurrahman bin Qarth, Abdurrahman bin Abi Laili, Abdurrahman bin Yazid An-Nakhai’, Abdul Aziz Akhu Huzaifah, Ubaid bin Qais, Al-Qamah bin Qais,Ammar bin Yasir, Amr bin Shulai’, Amr bin Abi Qurrah,Qubaishah Zuaib Al-Khazai’, Qis bin Abi Hazim, Muhammad bin Sirin, Marrah At-Thib,Muslim bin Nazir, An-Nazal bin Sabrah, Hamam bin Al-Haris An-Nakhai’, Abu Mazlam Lahiq bin Humaid, Yazid bin Syarik An-Taimi, Abul Azhar,Abu Burdah bin Abi Musa al-Asy’ari, Abu Huzaifah Al-Arhabi, Abu Salam Al-Aswadi, Abu A’isyah, Abu Ubaidah bin Huzaifah, Abu Usman, Abu Ammar Al-Hamdani.
 Komentar Para Ulama Hadis: Sahabat Nabi.




 Syaqiq bin Salamah al-Asadi, Abu Wail al-kuffi
 Thobaqah II, salah satu dari pembesar Tabi’in
 Wafat pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz
 Guru-guru; Usamah bin Zaid, Al-ash-ats bin Qois, al-Barra’ bin A’zib, Jarir bin Abdullah, al-Harits bin Hasan al-Bakkari, Huzdaifah bin al-Yaman, Hamran bin Aban, Khalid bin Rabi’ al-‘Abasy, Khobab bin al-Arad, Sa’ad bin Abi Waqosh, Salman bin Rabi’ah, Salamah bin Sabrah, Samurah bin Saham, Sahal bin Hanif, Syaqiq bin Tsaur as-Sudusi, Syaibah bin Utsman al-Hajabi, ash-Shobi’ bin Ma’bat al-Taghlabi, Abdullah bin zubair, Abdullah bin Abas, Abdullah bin Umar ibn Khattab, Abdullah bin Amar bin al-Harits, Abdullah ibn Mas’ud, Utsman bin ‘Affan, Azrah bin Qois, al-Qomah bin Qois, Ali bin Abi Tholib, Amar bin Yasir, Umar bin Khattab, Amar bin al-Harits, Abi Maysaroh, Amar bin Surahbil, Qois bin Abi Gharzah al-Ghifari, Ka’ab bin Ajroh, Masruq bin al-Ajda’, Muadz bin Jabal, Ma’dhot al-Syaibani, al-Mughirah bin Syu’bah, Yasar bin Namir, Abi Bakkra ash-shiddiq, Abu Darda, Abi Said al-Khudhuri, Abi Mas’ud al-Anshori, Abi Musa al-Asy’ari, Abi Nahilah al-Bajali, Abi Hurairah, Abi al-Hiyaj al-Asadi, Aisyah ummul Mu’minin, Ummu Salamah,
 Murid-murid; Jami’ bin Abi Rasyid, Habib bin Abi Tsabit, Hashin abi Abdurrahman, al-Hakam bin A’thiyah, Habib bin Abi Sulaiman, Zabarqon as-Syiroj, Zubaid al-Yami, Zubair bin Addi, Said bin Masruq ats-Tsauri, Salamah bin Kahil, Sulaiman al-‘Amasy, Siar Abu al-Hakam, Sholeh bin Hayyan al-Qarasyi, Ashim bin Badalah, Amar bin Tsaqiq, ‘Amir asy-Sya’bi, Abdul Malik bin U’ain, ‘Ubdah bin Abi Lababah, Utsman bin Syaburi, Abu Hushain Utsman bin Ashim al-Asadi, Abu Yaqdzhon Utsman bin ‘Amir, ‘Atho’ bin Sa’id, Abi Ishaq Amar bin Abdillah, Amar bin Marrah, Abul an-Bas, Amar bin Marwan an-Nakha’I, al’Ala bin Khalid al-Kahhili, Fudhail bin Ghazwan ad-Dhobi, Muhal bin Ma’raz ad-Dhabi, Muhammad bin Tsauqah, Muslim al-Baqi, Mughirah bin Muqshin ad-Dhabi, Manshur bin al-Mu’tamar, Muhajir Abul Hasan, Na’im bin Abi Hindy, Washil al-Ahdab, Yazid bin Abi Ziad, Abu Basyar, Abu Hasyim ar-Ramani.
 Komentar para Ulama: Waqi’ tsiqoh, Yahya bin Mai’n tsiqoh, Muhammad bin Sa’ad tsiqoh dan banyak meriwayatkan hadits, Ibnu Hibban mencantumkannya dalam kitab “At-tsiqot”, Al-‘ijly, laki-laki yang sholeh, Ibnu Abdil Bar disepakati ulama bahwa ia tsiqoh, Ibnu Abi Hatim mencantumkannya dalam kitab “al-Marashid.


 Sulaiman bin Mahran al-Asadi, dilahirkan pada tahun 61 H
 Tobaqoh ke 5, termasuk tsighorut tabi’in
 Wafat 147/148 H
 Guru-gurunya; Aban bin Abi ‘Ay-yasy, Ibrahim at-Taimi, Ibrahim an-Nakha’I, Ismail bin Abi Kholid, Ismail bin Raja’ bin Zubaidi, Ismail bin Muslim al-Makki, Anas bin Malik, Tamim bin Salamah, Tsabit bin Ubaid, Tsamanah bin Uqbah, Abi Sakhroh Jami’ bin Syaddad, Abi Basyar Ja’far bin Abi Wahsyiah, Habib bin Abi Tsabit, Habib bin Shah’ban, Hasan bin Abi al-Asrash, al-Husain bin al-Munzir, Abi Dzhabayan, Hashin bin Jundub al-Janabi, al-Hakam bin Athibah, dll.
 Murid-murid: Aban bin Taghlib, Ibrahim bin Thahman, Abi Ishaq Ibrahim bin Muhammad al-Fazari, Asbab bin Muhammad al-Qarasyi, Ishaq bin Yusuf al-Azraq, Israil bin Yunus, Ismail bin Zakaria, Jabir bin Nuh al-Hamani, Jarir bin Hazim, Jarir bin Abdul Hamid, Ja’far bin ‘Aun, al-Hasan bin ‘Iyasy, Hafash bin Ghiats, al-Hakam bin ‘Atibah, Abu Usamah Hammad bin us-Samah, Hamzah bin Habib al-Ziad, Humaid bin Abdurrahman Ar-raasi, Sa’id bin Muslimah al-‘Amawi, Sufyan ats-tsauri, dll.
 Komentar: Ibnu al-Madani hafal kurang lebih 1300 hadits, Yahya bin Muin setiap yang diriwayatkan A’masy dari Anas maka ia mursal, dan disebut hadits mursal. Ibnu ‘Uyainah al-A’masy lebih unggul daripada sahabatnya dalam 4 hal. Pertama, paling alim dalam hal al-qur’an. Kedua, paling hapal dengan hadits. Ketiga, paling tahu dengan fara’id. Muhammad bin Abdillah al-Mushuli; tidak ada daripada muhadditsin yang paling unggul dari pada al-A’masy, Ahmad bin Abdillah al-Ijly tsiqoh tsabit, Yahya bin Ma’in tsiqoh, An-Nasa’i tsiqoh tsabit, Ishaq bin Manshur; tsiqoh.


 Nama: Qais bin Ar-Rabi’ Al-Asadi
 Thabaqoh: ke 7, salah satu pembesar Atba At-Tabiin
 Wafat: 160 H
 Tempat tinggal: Kufah
 Guru-Gurunya: Ismail bin Abdurrahman As-Sadi, Asud bin Qais, Al-Agar bin Shabah, Jabir bin Yazid Al-Ji’fi, Habib bin Abi Tsabit, Hakim bin Jubair, Hammad bin Abi Sulaiman, Zubaid Al-Yami, Ziyad bin Alaqah, Salim Al-Afthas, Sulaiman al-A’masy, Simak bin Harb, Syubaib bin Garqadah, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Thariq bin Abdurrahman, A’iz bin Nashib, Abdul Malik bin Umair, Abi Hashin Utsman Al-Asadi, Usman bin Abdullah, Alqamah bin Mirtsad, dan lain-lain.
 Murid-muridnya: Ahmad bin Abdullah bin Yunus, Ishaq bin Manshur, Ismail bin Aban,al-Asud bin Amir Syazan, Bakr bin Abdurrahman, Jabarah bin Maglas, Jarir bin Abdul Humaid, Al-Hasan bin Basyr al-Bajali, Khalid bin Yazid, Khalid bin Yazid Al-Lu’lui, Sufyan Atsauri, Abu Daud Athayalisi,Syu’bah bin Al-Hajjaj, Thalq bin Ganam An-Nakhai’, ashim bin Ali Al-Wasithi, Abdullah bin Al-Mubarak, Abdullah bin Numair, Abdul Humaid bin Shaleh, Abdurrazaq Bin Hamam, Abdul Aziz bin Khatib, Abul Krim al-Jarjani,
 Komentar Ulama Hadis: Affan: Tsiqah, Atsauri: Tsiqah, Abi Walid Athayalisi: Tsiqah, Hasan Hadisnya, Sofyan Uyainah: Tidak ada yang lebih pintar darinya dalam masalah hadis, Ahmad bin Hambal: Layin, Yahya bin Main: Laisa hadisuhu bi syai ( hadisnya tidak ada masalah), waki: Dhaif, An-Nasai’: tidak tsiqah, hadisnya matruk, Al-Ijli: orang-orang melemahkannya. Darulqutni: Dhaif, Abu Ya’la al-Maushili; Laisa bi syai (tidak bermasalah), Syu’bah; Laba’sa bih.

 Nama: Ibrahim bin Said Al-Jauhari
 Thabaqoh: 10, perawi besar yang mengambil hadis dari tabiul atba’
 Wafat: kira-kira 250 H,
 Tempat tinggal: Bagdad
 Guru-gurunya: Ahmad bin Ishak al-Hadrami, Abi Al-Jawab Al-Ahwash, Azhar bin saad As-Saman, Ismail bin Uwais, Al-Asud bin Amir Syaizan, ashram bin Hausyab, abi Dhamrah Anas bin Iyadh, Hajjaj bin Muhammad al-A’war, Husain bin Muhammad, Abi Al-Yaman al-Hakam bin Nafi’, Abi asamah Hammad bin Asamah, Khalaf bin Tamim, Abi Taubah Ar-Rabi’, rauh bin Ibadah, Raihan bin said, Yaid bin Al-Habab, Saad bin Abdul Humaid, Sufyan bin Uyainah, Syababah bin sawar, Al-Abas bin Haisam, Abdullah bin Namir, Abi Shaleh Al-Harani, Abdul Wahab At-Tsaqafi, Abdul Wahah al-Khafaf, Ubaid bin abi Qurrah, Umar bin Saad Al-Hafari, Umar bin Syabib, Muhammad bin Basyr, Muhammad bin Khazim Adhari, Muhammad bin Umar Al-Waqidi, Abi Ahmad bin Muhammad Az-ubair, Muhammad bin Fudhail, Muhammad bin Al-Qasim, Waki bin Jarah, Yahya bin Yazid An-Naufali.
 Murid-muridnya: Muslim, Abu Daud, At-Turmidzi, An-Nasa’ie, Ibnu Majah, Abu Abdul Malik Ahmad bin Ibrahim al-Bisry, Abu Jahm Ahmad bin A-Husain bin Tholab al-Masygharani, Ahmad bin Ali bin Muslim al-Abaar, Abu Hasan Ahmad bin Umair bin Yusuf ad-Damsyiq, Ahmad bin Muhammad bin Shobah al-Bishry, Abu Bakr Ahmad bin Muhammad bin Umar al-Bashry al-Haraby, Ahmad bin Abi Roja’ Nashir bin Syakir al-Maqrie, Idris bin Abdul Karim al-Hadadi al-Muqrie, Abu Thohir al-Hasan bin Ahmad bin Ibrahim al-Asady, Al-Husain bin Muhammad bin Hatim, Abu U’rubahl Husain bin Muhammad bin Maududi al-Harany, Zakaria bin Yahya as-Sajazy, Abu Bakr Abdullah bin Muhammad bin Abi Ad-Dunya, Abdurrahman bin U’baidillahbin Ahmad al-Asady al-Jalaby, Abdurrahman bin U’abaidillah bin Abdul ‘Aziz al-Hasyim al-Jalaby, Umar bin Muhammad bin Bujair al-Bujairy, Abu Hatim Muhammad bin Idris ar-Razi, Muhammad bin Ali al-Hakim at-Turmidzi, Musa bin Harun al-Hafidzh, Yahya bin Muhammad bin Sho’id,
 Komentar Ulama Hadis: Abu Hatim,; orang yang paling jujur, An-Nasie; tsiqoh, Abu Bakr al-Khutaib; Tsiqot tsabit.


VI. KESIMPULAN

Hadits dan ayat al-qur’an serta hubungannya dengan keadaan sekarang ini sangat relevan dan pastilah statusnya juga berbeda. Dengan ilmu seseorang bisa memperoleh suatu kebahagiaan yang dengan ilmunya itu dia dapat mengajarkan orang lain untuk bisa mengetahui apa yang tidak ia ketahui.
Mengenai status hadits yang ditakhrij dalam tulisan ini adalah Dho’if karena terjadinya keterputusan sanad antara Qois bin Rabi’ dengan Ibrahim bin Sa’id al-Jauhary.


Wallahu ‘Alam




VII. DAFTAR PUSTAKA

 Ibnu Hajar Al-‘Asqolany, Tahdzibu at-Tahdzhib, Daarul Ihya atThuros al-‘Arabi, juz II
 Muhammad Syarbiny al-Khothiby, Tafsir Sirah al-Munir. Tanpa tahun
 Al-Hafidzh Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mazzi, Tahdzib al-Kamal Fii Asma Urrijaal. Daarul Fikr, Beirut. Juz 15
 Syekh Isma’il Muhammad al-‘Ajluny as-Sajarahy, Kasyful Khofa. Maktabah al-Maratsul al-Islamy, Juz I
 Al-Mahally-as-Suyuty, Tafsir Jalalain, Daarul Hadits al-Qohirah. Tanpa tahun.
 Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Az-Zahaby, al-Jarhu wa at-Ta’dil, Juz II
 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an bab Ilmu dan Teknologi, PT Mizan Pustaka.

Kamis, 25 Februari 2010

Studi Identitas dan Gender

STUDI IDENTITAS DAN JENDER
Sebelum kita membahas lebih jauh mengenai identitas dalam gender ada baiknya lebih dahulu kita membahas mengenai apa itu “identitas” dan “gender”. Identitas adalah sesuatu yang menunjukkan jati diri seseorang yang mana dengan identitas itu orang dapat mengenalnya dan dapat mengetahui apakah dia berjenis kelamin laki-laki atau perempuan.

I. Identitas
A. Pengertian-pengertian yang berhubungan dengan identitas
Term antropologi: identitas adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai dengan kesadaran diri pribadi, golongan sendiri, kelompok sendiri, atau negara sendiri. Jadi adapun pengertian identitas sendiri adalah ciri-ciri, tanda-tanda, jati diri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang bisa membedakannya.
Identitas adalah sesuatu yang menunjukkan jati diri seseorang yang mana dengan identitas itu orang dapat mengenalnya dan dapat mengetahui apakah dia berjenis kelamin laki-laki atau perempuan.

Identitas adalah simbolisasi ciri khas yang mengandung diferensiasi dan mewakili citra organisasi. Identitas dapat berasal dari sejarah, visi atau cita-cita, misi atau fungsi, tujuan, strategi atau program. Berbicara mengenai identitas sebenarnya itu adalah sebuah definisi diri dan itu bisa diberikan oleh orang lain atau kita yang memberikanya. Pelacakan identitas akan menerangkan tentang siapa kita, karena pelacakan identitas adalah upaya pendefinisian diri, baik definisi dari orang lain maupun dari kita sendiri.

Manusia adalah makluk yang bertanya akan jati dirinya, dan makhluk yang harus mencari identitasnya, dan makhluk dengan kesadaran dimanakah dia akan berada. Keadaan tersebut tidak ada makhluk selain manusia, yaitu hewan, tumbuh-tumbuhan dan lingkungan sekitarnya. Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah hewan yang berpikir, ketika dia berpikir dia akan menyadari dimana dia akan berada. I think, there for I am. demikian Desrates mengatakan. Manusia adalah hewan yang berpikir dia akan menyadari sesuatu yang lain, maka ketika menyadari sesuatu yang lain itu adalah manusia bukan yang lain.

Berpikir adalah proses akan lahirnya kesadaran, kesadaran berarti sadar akan sesuatu (Edmund Husserl). Identitas umumnya dimengerti sebagai kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, suatu kesinambungan unik yang menghubungkan antara masa lampau diri sendiri dan dengan diri orang lain, yang mencerminkan gambaran mengenai diri sendiri baik yang diterima oleh orang lain maupun yang diimajinasikan sendiri tentang apa dan siapa dirinya dan apa yang dapat dia lakukan untuk dirinya dan untuk orang lain. Identitas juga dapat dipahami sebagai ciri-ciri fisik, disposisi yang dianutnya dan daya-daya kemampuan yang dimilikinya. Hal-hal itu adalah sesuatu yang dapat membedakannya dengan orang lain setelah melalui tahap-tahap perkembangan yang dilaluinya.

Erikson (1989), membedakan dua macam identitas yaitu identitas pribadi dan identitas ego. Identitas pribadi berpangkal berdasarkan pada pengalaman langsung bahwa selama perjalanan waktu yang telah lewat, walaupun mengalami berbagai perubahan, ia tetap sebagai dirinya sendiri. Identitas pribadi dapat berubah menjadi identitas ego jikalau memiliki kualitas eksistensial sebagai subyek yang otonom yang mampu mengalahkan atau menyelesaikan berbagai konflik yang ada pada dirinya maupun pada masyarakat.

Identitas kultural adalah sesuatu yang mencerminkan jati diri akan budaya yang dianut atau yang dimiliki. Dalam kasus ini sangat banyak kita temui bahwa masyarakat− sebagai contoh−masyarakat jawa yang sangat memegang nilai-nilai kultural serta kepercayaan mereka terhadap arti sebuah nama. Sehingga masyarakat dari etnis ini cendrung memberikan nama kepada keturunannya identik dengan doa, sesuai dengan harapan dan keinginan yang akan dicapainya atas nama yang diberikan itu. Dan dalam kasus masyarakat minang, yang mana pernah ditemukan dalam sebuah pengumuman SPMB diberbagai perguruan tinggi sekitar 85% ditemukan nama-nama asing yang tidak mencerminkan identitas kultural masyarakat minang yang sangat dikenal sebagai masyarakat yang agamis dan budayanya. Ini dikarenakan kurangnya percaya diri terhadap identitas kultural yang dimiliki.

B. Individu dan Identitas Sosial
Manusia sebagai makhluk pribadi tidak dirumuskan sebagai suatu kesatuan individu saja tanpa menghubungkannya dengan lingkungan sekitarnya. Ketika kita membicarakan identitas disitu juga kita akan membicarakan kelompok. Karena dengan identitas kita dapat memudahkan gambaran terhadap sesuatu sehingga dapat memberikan kemudahan untuk bertindak. Suatu kepribadian akan menjadi kepribadian apabila memiliki sistem psikofisiknya termasuk bakat kecakapan dan ciri-ciri kekhasan sebagai tanda ciri individunya, ciri-ciri akan dirinya akan ketahuan bilamana kepribadiannya sudah berbaur dengan lingkungannya.

Manusia tidak hidup sendiri akan tetapi manusia hidup bersama-sama dalam masyarakat, dan dari situlah identitas akan terbentuk. Adanya identitas agar memudahkan manusia saling mengenal satu sama lain. Tajfel mendefenisikan identitas sosial sebagai pengetahuan individu yang mana dia merasa memiliki kesamaan dalam suatu kelompok serta nilai (Tajfel, 1979). Identitas dapat berarti ras, kebangsaan, etnik, agama, umur, gender, suku dan keturunan. Identitas sosial sebagai teori tidak berangkat dari kekosongan yang kemudian muncul begitu saja. Teori identitas sosial adalah evolusi teori yang keluar dari teori kategosisasi sosial.

Dalam teori identitas sosial seorang individu tidaklah dianggap sebagai individu secara mutlak dalam kehidupannya. Individu adalah bagian dari suatu kelompok tertentu baik yang ia sadari ataupun tidak. Dalam hal identitas ada yang di dapat berdasarkan terberi dan ada juga yang berdasarkan proses pencarian. Identitas yang terberi contohnya adalah identitas seorang laki-laki dan perempuan. Dan identitas yang terberi ini dapat berubah menjadi identitas yang diingankan, misalnya seorang laki-laki yang ingin mengganti kelaminnya menjadi perempuan setelah kelaminnya itu berubah identitasnya juga berubah menjadi perempuan, yang tadinya identitasnya adalah laki-laki. Penjelasan ini hanya sekedar memberikan contoh bahwa kita sendiri tidak dapat menentukan identitas kita, karena manusia tidak terlepas dalam lingkungan masyarakat-identitas itupun dapat muncul dengan sendirinya dari lingkungan dimana kita berada.

Manusia bukanlah makhluk yang pasif yang menerima begitu saja keberadaannya tidak butuh pengenalan diri. Manusia adalah makhluk yang dapat mengenal dan memikirkan situasi yang ada, melakukan sesuatu, berefleksi, berekreasi dan berkreasi. Identitas sosial yang melekat pada seseorang adalah identitas yang positif yang ingin dipertahankan, oleh karena itu individu yang memiliki identitas positif adalah individu yang wacana dan tindakannya sesuai dengan norma kelompoknya.
Konsep identitas sosial sebenarnya berasal dari asumsi umum, yaitu :

1. Setiap individu berusaha untuk mengangkat atau meninggikan self-esteemnya: berusaha untuk membentuk konsep diri yang positif.
2. Kelompok atau kategori sosial dan anggota dari mereka berasosiasi terhadap konotasi nilai positif atau negatif. Identitas menjadi negatif atau positif tergantung pada kelompok yang memberikan kontribusi pada identitas sosial individu.
3. Evaluasi dari salah satu kelompok adalah mendeterminasikan dan juga sebagai bahan acuan pada kelompok lain secara spesifik melalui perbandingan sosial dalam bentuk nilai atribut atau karakteristik.

Identitas sosial sebagai teori tidak lepas dari keinginan individu untuk membandingkan dirinya serta kelompoknya dengan yang lain. Perbandingan sosial digambarkan oleh Festinger (1954) sebagai teori yang mana kita bisa membandingkan diri kita dengan orang lain, siapa yang berada diatas dan siapa yang berada dibawah.
Menurut Sarben dan Allen (1968), identitas sosial dapat berfungsi sebagai pengacu keberadaan posisi seseorang dimana dia berada. Teori identitas sosial melihat bahwa suatu identitas sosial selalu mengklarifikasikan dirinya melalui perbandingan, tapi secara umumnya, perbandingannya antara in-groups dan out-groups. Identitas sosial juga menghasilkan representasi sosial yang keluar dari individu-individu yang berkumpul serta memiliki pandangan dan emosi yang sama (Doise, 1998).

Dengan adanya identitas kita dapat menjadi tahu siapa diri kita dan siapa orang yang berada diantara kita, dari mana kita berasal dan apa yang seharusnya kita lakukan. Terjadinya krisis identitas dikarenakan, identitas itu lebih menonjol sisi negatifnya ketimbang posotifnya, seperti contoh orang kulit hitam yang ada di Amerika berkeinginan mengganti kulitnya menjadi warna putih dikarenakan penghinaan terhadap ras mereka yang dianggap hina oleh ras orang yang berkulit putih. Ini terjadi dikarenakan lebih cenderung nilai positif identitas sosial yang tinggi pada individu yang rendah kompleksilitas sosialnya.

C. Identifikasi Identitas Terhadap Rasa
Dalam mengidentifikasikan identitas terhadap rasa, dapat kita lihat dan kita jadikan sebagai contoh orang China yang tinggal dan hidup di Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai negaranya menunjukkan kecintaannya terhadap negara yang ditempatinya padahal kalau kita lihat lebih spesifik bahwasanya etnis ini berasal dari daratan cina dibagian timur, dan mereka bukanlah penduduk pribumi, dan mereka juga memiliki pandangan yang positif terhadap Indonesia walaupun dalam hal lain mereka tetap mengakui bahwa mereka itu adalah orang yang berbangsa China. Sama dengan halnya warga negara asing yang tinggal dan hidup di negara ini, mereka sangat mencintai negara yang mereka tinggali walaupun sebenarnya mereka bukanlah penduduk asli.

Ada suatu permasalahan yaitu yang mana ketika terjadinya perjumpaan antar budaya sangatlah sulit untuk menghindari diri untuk ber-asimilasi antar karakter kedua budaya. Untuk ukuran rasa memiliki identitas dan persepsi pada masyarakat saat ini tingkatan identifikasi etnik sangat sulit sekali untuk dicari signifikasinya. Misalnya pada masyarakat perkotaan yang mana disana berkumpulnya berbagai masyarakat, etnis, agama, kepentingan dan kebiasaan. Tidaklah mereka begitu datang langsung membaur dalam ruang lingkup lingkungan tersebut, akan tetapi mereka juga membutuhkan waktu untuk bisa merealisasikan diri mereka dengan lingkungan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa identitas itu tidak didapat melalui sendirinya akan tetapi identitas didapat melalui pencarian dan identitas dapat berubah sesuai dengan keadaan sebagaimana yang telah di paparkan diatas menurut ruang lingkupnya.

II. Gender
Pengertian Gender
Menurut Comonwealth Of Learning, mengatakan bahwa gender dirujuk sebagai perbedaan biological di antara lelaki dan perempuan. Gender adalah istilah perbedaan yang digunakan untuk merujuk kepada ciri-ciri sosial yang mentakrifkan dan mengaitkan kepada cara hidup dan tingkah laku lelaki dan perempuan dalam konteks yang lebih khusus. Gender juga dirujuk kepada simbol budaya, konsep nomatif, struktur institusi.

Gender adalah sebuah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku, jadi secara umum istilah gender digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya.

Dalam masalah ini (gender) sangat berkaitan dengan Adam dan Hawa, urgensinya sebagai berikut :
a. Sama-sama memanfaatkan fasilitas surga [ al-baqarah 35 ]
b. Sama-sama digoda syaitan [ al-A'raf 20 ]
c. Sama-sama makan buah khuldi dan secara bersama-sama dibuang ke bumi [al-a'raf 22]

Dari keterangan diatas dapat dikatakan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama dapat melakukan kesalahan dan tidak ada perbedaan diantara keduanya. Jender diartikan sebagai “interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan”.

Prof. Nasaruddin Umar mengatakan bahwa Gender adalah pandangan atau keyakinan yang dibentuk masyarakat tentang bagaimana seharusnya seorang perempuan atau laki-laki bertingkah laku maupun berpikir. Misalnya Pandangan bahwa seorang perempuan ideal harus pandai memasak, pandai merawat diri, lemah-lembut, atau berkeyakinan bahwa perempuan adalah mahluk yang sensitif, emosional, selalu memakai perasaan. Sebaliknya seorang laki-laki sering dilukiskan berjiwa pemimpin, pelindung, kepala rumah-tangga, rasional, tegas dan sebagainya. Singkatnya, gender adalah jenis kelamin sosial yang dibuat masyarakat, yang belum tentu benar. Berbeda dengan Seks yang merupakan jenis kelamin biologis ciptaan Tuhan, seperti perempuan memiliki vagina, payudara, rahim, bisa melahirkan dan menyusui sementara laki-laki memiliki jakun, penis, dan sperma, yang sudah ada sejak dahulu kala. Dan secara mendasar Gender adalah seperangkat peran seperti halnya kostum dan topeng di teater. Gender dapat menentukan akses kita terhadap pendidikan, pekerjaan, dan sumber daya yang diperlukan untuk industri dan keterampilan.

Dapat disimpulkan bahwa gender adalah sesuatu yang dikaitkan dengan laki-laki dan perempuan baik secara biologis maupun psikologis dan dalam hal sosial dan budaya. Dan gender juga dapat dikatakan sebagai sesuatu yang membedakan antara sifat yang menonjol diantara laki-laki dan perempuan.


III. Identitas Gender dan Identitas Gender Menurut Al-Qur’an
A. Identitas gender
Yang dimaksud dengan identitas gender adalah sesuatu ciri atau tanda, sikap dan tingkah laku yang dihubungkan dengan maskulinisme dan feminisme yang berkaitan dengan sifat kelaki-lakian dan keperempuanan. Dan yang dimaksud dengan identitas jender adalah suatu identitas yang menunjukkan apakah seseorang itu berjender laki-laki atau perempuan. Seorang laki-laki yang berada dalam tubuh perempuan (sifat-sifatnya) dan perempuan yang berada dalam tubuh laki-laki.

Identitas gender juga dapat diartikan sebagai suatu yang membedakan antara laki-laki dan perempuan dalam hal biologis dan psikologisnya, dan sesuatu yang yang menjadikan tanda atau ciri dari seseorang dan dalam hal menentukan kadar kemampuan yang dimiliki dalam melakukan sesuatu. Identitas jender juga dapat diartikan sebagai suatu ciri yang menandakan sikap dan prilaku dari seorang laki-laki yang memiliki sifat keperempuanan atau feminisme (bisa masak, lemah lembut, tidak mudah marah dan mudah tersinggung), dan begitu juga dengan perempuan yang memiliki sifat atau sikap kelaki-lakian atau maskulinisme (pekerja keras, pemarah, bisa menjadi pemimpin dan memakai celana jeans).

Identitas jender juga dapat mempengaruhi kedudukan dalam hal sosial dan bermasyarakat seperti yang tercantum dalam pembahasan “Gender” diatas. Jadi, identitas gender adalah suatu tanda atau ciri yang menunjukkan apakah seseorang itu berjender laki-laki (maskulinisme) atau perempuan (feminisme), dan yang terpenting dalam identitas gender ini adalah perbedaan yang berdasarkan psikologis bukan dari aspek biologisnya dan dengan perbedaan ini dapat mempengaruhi statusnya dikalangan masyarakat.

B. Identitas Jender Menurut Al-qur’an
Dalam al-Qur’an ada beberapa term yang sering dipakai dalam menunjukan indentitas jender yang dipahami oleh banyak orang sebagai indentitas jenis kelamin baik perempuan maupun laki-laki, namun kalau kita mau melakukan sedikit penelitian dan berpikir kritis terhadap pendapat-pendapat pemikir islam klasik, kita akan mendapati bahwa al-Qur’an sering menggunakan kata-kata “nisa”, “rajul” dan lain-lain sebagai sebuah indentitas jender bukan sebuah kata yang menjukan aspek biologis sperti pemahaman mereka.

Untuk contoh, al-Qur’an mengunakan istilah rijal kepada siapa saja yang mempunyai sifat-sifat kejantanan seperti kuat dalam segi emosi, kelakuan dan kepribadian, marilah kita telisik firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 34:
Artinya:
kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.

Dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa laki-laki itu bertanggung jawab untuk melindungi istri dan keluarganya karena Allah meberikan mereka kelebihan atas istri-istri mereka dalam tanggung jawab untuk menafkhi keluarganya, jadi ketika seorang suami (laki-laki) tidak dapat menafkahi keluarganya maka ia kehilangan kelebihannya dan hak memimpinnya, artinya ayat ini tidak menunjukan sebuah indentitas biologis melainkan sebuah indentitas jeneder karena siapa saja yang mempunyai sifat-sifat kelaki-lakian maka ia berhak untuk memimpin meskipun ia berjenis kelamin perempuan, hal ini selaras dengan firman Allah dalam surah At-Tawbah ayat 71:
Artinya:
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi awliya bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dalam ayat ini menegaskan bahwa seorang mukmin laki-laki maupun perempuan sama-sama mempunyai hak untuk menjadi awliya jadi siapapun berhak untuk memimpin masyarakat meskipun ia seorang perempuan, tidak ada hubungan antara indentitas jenis kelamin dengan kepemimpinan.

Sedangkan untuk menunjukan indentitas kelamin laki-laki maupun perempuan al-Qur’an lebih sering menggunakan kata “Az-dzakar” dan “al- Untsa”, hal ini bisa kita lihat dalam firman Allah dalam surah Al-Hujarat ayat 13:
Artinya:
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Dengan ayat-ayat Qur’an di atas penulis berpendapat bahwa yang dimaksud dengan indentitas jender dalam Al-Qur’an adalah indentitas mengenai sifat kemaskulinan maupun sifat kefeminiman dari diri seorang manusia, bukan indentitas yang menunjukan sifat-sifat biologis atau jenis kelamin seseorang.

IV. Perbedaan Antara Gender dan Sex
Gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, maka sex secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi.
Istilah sex (dalam kamus bahasa Indonesia juga berarti “jenis kelamin”) lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sedangkan gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya. Studi gender lebih menekankan pada aspek maskulinitas (masculinity) atau feminitas (femininity) seseorang.
Berbeda dengan studi sex yang lebih menekankan kepada aspek anatomi biologi dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness) dan perempuan (femaleness). Yang dimaksud dengan identitas jender dalam tulisan adalah nama-nama atau simbol-simbol yang digunakan dalam al-qur’an dalam mengungkapkan jenis kelamin seseorang. Dalam tulisan ini akan dibahas secara detail mengenai shigah mudzakkar dan mu’annats yang lebih berorientasikan kepada yang lebih sering digunakan al-qur’an dalam menggunakan jender seseorang.

V. Istilah Yang Merujuk Kepada Laki-laki dan Perempuan
A. Al-rijal dan Al-Nisa
Kata al-rijal adalah bentuk jama’ dari kata al-rajul, yang berasal dari akar kataرج ل yang derivasinya membentuk beberapa kata, seperti rajala (mengikat), rajila (berjalan kaki), al-rijl (telapak kaki), al-rijlah (tumbuh-tumbuhan), dan al-rajul (laki-laki). Al-Ishfahani menegaskan adanya perbedaan kata al-rajul dan al-dzakar, yang pertama lebih berkonotasi jender (gender term) dengan menekankan aspek maskulinitas dan kejantanan seseorang.

Misalnya Q,.s al-An’am/6:9
Artinya :
Dan kalau Kami jadikan rasul itu malaikat, tentulah Kami jadikan dia laki-laki dan (kalau Kami jadikan ia seorang laki-laki), tentulah Kami meragu-ragukan atas mereka apa yang mereka ragu-ragukan atas diri mereka sendiri.

Kata رجلا dalam ayat ini tidak merujuk kepada jenis kelamin tetapi lebih menekankan aspek maskulinitas, karena keberadaan malaikat tidak pernah diisyaratkan jenis kelaminnya dalam al-qur’an. Adapun yang kedua (al-dzakar) lebih berkonotasi biologis (sex term),

misalnya Q,.s al-Imran/3:36
Artinya :
Maka tatkala Imran melahirkan anaknya, dia pun berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.

Al-rijal (jama’ dari al-rajul) dan al-nisa (jama’ dari mar’ah) digunakan untuk menggambarkan kualitas moral dan budaya seseorang. Berbeda dengan al-dzakar dan al-nisa yang penekanannya kepada jenis kelamin. Kata al-dzakar juga untuk menerangkan jenis kelamin binatang, seperti disebutkan dalam
Q,.s al-An’am/6:144
Artinya :
Dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanalah: “Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang ada didalam kandungan dua betinanya.”

Padanannya di dalam bahasa inggris untuk kata al-rajul ialah man , dan male untuk al-dzakar. Seperti halnya kata man, kata al-rajul kadang-kadang juga diartikan dengan “manusia” (al-insan) dan “suami” (al-zawj). Kata al-rajul tidak digunakan untuk species lain selain manusia, misalnya untuk binatang dan tumbuh-tumbuhan, tetapi hanya digunakan manusia (the male of the human species).

B. Pengertian al-rajul
Kata al-rajul dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 55 kali dalam al-qur’an, dengan kecenderungan pengertian dan maksud sebagai berikut :

1. Al-rajul dalam arti jender laki-laki, seperti dalam Q,.s al-baqarah/2:282
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang tidak ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu meng’imlakan (apa yang akan ia tulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun dari pada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu untuk mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari laki-laki diantara kamu. Jika tak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.

Kata من رجا لكم diatas lebih ditekankan kepada aspek jender laki-laki, bukan kepada aspek biologisnya sebagai manusia yang berjenis kelamin laki-laki. Buktinya tidak semua yang berjenis kelamin laki-laki mempunyai kualitas persaksian yang sama. Anak laki-laki dibawah umur, laki-laki kualifikasi saksi yang dimaksud dalam ayat tersebut diatas, karena laki-laki tersebut tidak memenuhi syarat sebagai saksi dalam hukum islam.

Q,.s al-baqarah/2:228
Artinya :
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Kata الرجال dalam ayat diatas ialah laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu, tidak semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi dari pada perempuan. Tuhan tidak mengatakan وللذكر با المعروف عليهن درجة karena jika demikian maka secara alami semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi dari pada perempuan.


2. Al-rajul dalam arti orang, baik laki-laki maupun perempuan, seperti Q,.s al-A’raf/7:46
Artinya :
Dan diantara keduanya (penghuni surga dan neraka) ada batas; dan di atas A’raaf itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu dengan tanda-tanda mereka. Dan mereka menyeru penduduk surga “Salaamun ‘alaikum”. Mereka belum lagi memasukinya sedang mereka ingin segera (memasukinya).
Yang dimaksud kata ر جا ل dalam ayat diatas menurut Ibnu Katsir ialah para penghuni suatu tempat diantara surga dan neraka yang disebut A’raf. Mirip dengan pendapat Muhammad Rasyid Ridha yang mengatakan رجا ل dalam ayat ini ialah para pendosa yang berada diantara surga dan neraka.

Q,.al-ahzab/33:23 :
Artinya :
Diantara ornag-orang mukmin itu adalah orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka diantara mereka ada yang gugur. Dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).

3. Kata al-rajul dalam arti Nabi atau Rasul seperti dalam Q,.s al-Anbiya’/21:7 :
Artinya :
Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.
Yang dimaksud dengan ر جا لا dalam ayat tersebut ialah Nabi atau Rasul yang ditugaskan untuk menyampaikan petunjuk-petunjuk-Nya. Menurut Ibnu Katsir ر جا لا dalam ayat itu adalah penegasan kepada jenis manusia sebagai Nabi atau Rasul, untuk membedakan jenis makhluk lainnya, seperti jin.

Q,.s Saba’/34:7 :
Artinya :
Dan orang-orang kafir berkata (kepada teman-temannya): “Maukah kamu kami tunjukkan kepadamu sorang laki-laki yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila badanmu telah hancur sehancur-hancurnya, sesungguhnya kamu benar-benar (akan dibangkitkan kembali) dalam ciptaan yang baru.

Para ulama tafsir menjelaskan maksud kata ر جل dalam ayat tersebut adalah Nabi Muhammad s.a.w. kata رجل dalam arti Nabi dan Rasul ditemukan di sejumlaj ayat, antara lain dalam Q,. al-A’raf/7:63 dan 69, Q,.s Yunus/al-Mu’minun/23:25; dan 38, Q,.s Saba’/34:43; Q,.s al-Zukhruf/43:31; Q,.s al-An’am/6:9; Q,.s al-Isra’/17:47; Q,.s al-Furqan/25:8; Yusuf/12:109, dan Q,.s al-Nahl/16:43.

4. Al-rajul dalam arti tokoh masyarakat, seperti dalam Q,.s Yasin/36:20 :
Artinya :
Dan datanglah dari ujung kota seorang laki-laki (Habib An Najjar) dengan bergegas-gegas ia berkata: “Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu.
Yang dimaksud dengan رجل dalam ayat tersebut menurut tafsir al-Jalalayn, ialah seorang tokoh yang amat disegani diantara kaumnya, yaitu Habib An Najjar.

Q,.s al-A’raf/7:48
Artinya :
Dan orang-orang yang diatas A’raaf memanggil beberapa orang (pemuka-pemuka orang kafir) yang mereka mengenalnya dengan tanda-tandanya dengan mengatakan: “Harta yang kamu kumpulkan dan apa yang selalu kamu sombongkan itu, tidaklah memberi manfaat kepadamu”

Yang dimaksud dengan kata ر جا لا pada contoh kedua dalam tafsir al-Munir dimaksudkan dengan para pembesar (al-udzama’) sewaktu hidup di dunia. Kata al-rajul dalam arti tokoh masyarakat digunakan dalam beberapa ayat, antara lain : Q,.s al-Qashash/28:20; Q,.s al-Mu’min/al-Ghafir/40:28; Q,.s al-A’raf/7:48 dan 155; Q,.s al-Kahfi/18:32 dan 37.

5. Al-rajul dalam arti budak, satu-satunya ayat yang menjelaskan tentang hal ini dalam Q,.s al-Zumar/39:29;
Artinya :
Allah membuat perumpamaan yaitu seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang bersirikat yang dalam perselisihan dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja): adakah kedua budak itu sama halnya ? segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan dari mereka tidak mengetahui.

Yang dimaksud kata رجلا dalam ayat ini menurut al-Maraghi ialah hamba yang dimiliki (‘abdun mamlukun). Pendapat yang sama juga telah disampaikan oleh Ibnu Katsir dan al-Qasimi. Dengan demikian, kata الر جل dalam al-qur’an tidak semata-mata berarti laki-laki dalam arti jenis kelamin laki-laki tetapi seseorang yang dihubungkan dengan atribut sosial budaya tertentu.
Ada beberapa kata al-rajul digunakan dalam al-qur’an yang seolah-olah menunjukkan arti “jenis kelamin laki-laki” (al-dzakar) karena berbicara dalam konteks reproduksi dan hubungan seksual, tetapi setelah dikaji konteks (munasabah) dan sabab nuzul ayatnya ternyata ayat-ayat tersebut tetap lebih berat ditekankan kepada jender laki-laki.

Q,.s al-Nisa/4:1
Artinya :
Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu , dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu satu sama lain, (dan peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.

Q,.s al-Naml/27:55;
Artinya :
Mengapa kamu datangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu) bukan mendatangi wanita ? Sebenarnya kamu adalah kaun yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu).

Kata al-rajul dalam contoh pertama berada dalam konteks pembicaraan hukum keluarga, seperti kewajiban para pewasiat kepada anak-anak yang berada dibawah perwaliannya. Adapun contoh ayat kedua membicarakan tentang penyimpangan seks, dimana laki-laki mencari kepuasan seks kepada sesamanya lelaki. Penyimpangan seks seperti itu lebih menonjol sebagai masalah budayad dari pada masalah biologis. Resiko biologis akbat seks sejenis dapat diperkecil melalui berbagai upaya medis, tetapi resiko budayanya yang sulit diatasi karena secara turun-temurun norma-norma seksual hanya dapat dilakukan dengan lawan jenis.

C. Pengertian al-Nisa

Adapun kata al-Nisa النساء adalah bentuk jama’ dari kata al-mar’ah / المرءة berarti perempuan yang sudah matang dan dewasa, berbeda dengan kata الأ نثى berarti jenis kelamin perempuan secara umum, dari yang masih bayi sampai yang sudah dewasa atau berusia lanjut. kata النساء jender perempuan, sepadan dengan kata الرجا ل yang berarti jender laki-laki.
Kata al-Nisa النساء dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 59 kali dalam al-qur’an dengan kecenderungan pengertian dan maksud sebagai berikut :

1. Al-Nisa dalam jender perempuan seperti dalam Q,.s al-Nisa/4:7

Artinya :
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.

Q,.s al-Nisa/4:32 :
Artinya :
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Kata النساء menunjukkan jender perempuan. Porsi pembagian hak dalam ayat ini tidak semata-mata ditentukan oleh realitas biologis sebagai perempuan atau laki-laki. Sementara itu besar kecilnya porsi pembagian peran ditentukan oleh factor eksternal, atau menurut istilah ayat ini ditentukan oleh yang bersankutan ( اكتسبوا dan مما اكتسب ). Contoh lain mengenai النساء dalam arti jender perempuan dapat dilihat pada keterangan jender laki-laki (al-rajul).


2. Al-Nisa dalam arti istri-istri, seperti dalam Q,.s al-baqarah/2:222:
Artinya :
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu ditempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

Q,.s al-baqarah/2:223 :
Artinya:
Istri-istrimu adalah (seperti) tempat untuk bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan memenuhi-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.

Kata النساء dalam kedua contoh diatas diartikan dengan istri-istri, sebagaimana halnya kata المرءة sebagai bentuk mufrad dari kata النساء hampir seluruhnya berarti istri, misalnya imra’ah Luth/ امرءة لوط (Q,.s al-Tahrim/66:10), imra’ah Fir’aun/ امرءة فرعون (Q,.s al-Tahrim/66:11), dan imra’ah Nuh/ امرءة نوح (Q,.s al-Tahrim/66:10).
Penggunaan kata النساء lebih teratas dari pada penggunaan kata الرجا ل . kata الرجا ل sebagaimana telah dijelaskan bisa berarti jender laki-laki, orang menunjuk kepada pengertian Nabi atau Rasul, tokoh masyarakat, dan budak; sedangkan kata النساء hanya digunakan dalam arti jender perempuan dan istri-istri.
Dalam hal ini penulis mengambil kesimpulan yang mendasari pemikiran utama Prof. Nasaruddin Umar dalam bukunya Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an adalah dalil al-qur’an, yaitu :

a. Q,.s al-Baqarah/2:228;
b. Q,.s al-A’raf/7:46;
c. Q,.s al-Anbiya’/21:7;
d. Q,.s al-Nisa/4:32;

Demikianlah uraian singkat mengenai jender perspektif al-qur’an, yang mana dikatakan bahwa jender adalah semua yang berhubungan dengan kebiasaan atau tingkah laku dari laki-laki dan perempuan yang sama-sama bisa menjadi kepala keluarga, pekerja keras, lemah-lembut dan dapat menjadi orang yang berhasil dalam karir, dan dapat dikatakan juga bahwa jender adalah bersifat cair (jender terjadi pada laki-laki dan perempuan) bukanlah yang bersifat padat (hanya pada laki-laki saja atau perempuan saja).

VI.Bias (condong) Dalam Gender
Pengertian Bias dalam kamus besar Indonesia adalah simpangan atau belokan arah dari garis tempuhan yang menembus yang lain (seperti cahaya yang menembus kaca, bayangan yang berada di air). Selanjutnya kata bias adalah semacam prasangka yakni terbentuk sebelum adanya alasan untuk itu.

Bias gender dilihat dari satu aspek yang sangat ditekankan pada segi sifat yaitu bahwa laki-laki yang mempunyai sifat yang sangat identik dengan perempuan (lemah lembut, penyayang dan tidak gampang marah) begitu juga dengan perempuan yang sama-sama memiliki sifat dengan peranan laki-laki (pekerja keras, berwatak tidak mau mengalah dan mudah tersinggung, dan yang terpenting bahwa mempunyai sikap/rasa memimpin didalam keluarga atau bisa disebut juga dengan kepala keluarga).
Dalam masalah ini wanita dan pria mempunyai kedudukan yang sama sebagai manusia. Wanita adalah manusia dan pria juga manusia, masing-masing tidak ada perbedaan antara satu dan lainnya, yaitu sama-sama untuk beribadah.
Bias juga dapat terjadi dalam hal menafsirkan ayat al-qur’an yaitu pada makna ayat yang akan ditafsirkan, contohnya adalah surah al-Nisa ayat 34 pada kata Qawwamuuna yang berarti pemimpin, padahal dalam kata Indonesia kata Qawwamuuna tidak identik dengan pemimpin.

Bias gender juga terjadi pada teks, karena Allah dinisbatkan dengan huwa (he) atau mudzakkar dalam bahasa arab. Contohnya pada surat al-ikhlas Allah dinisbatkan dengan laki-laki, dan hal ini bertentangan dengan tauhid.
Untuk membahas hal yang demikian bias gender dapat diketahui atau ditelusuri dari beberapa faktor :

a. Pembakuan Tanda Huruf, Tanda Baca dan Qiraat
Sejumlah ayat al-qur’an dimungkinkan ditulis dan dibaca lebih dari satu macam, yang dikenal dengan istilah tujuh huruf (sab’ah ahruf) dan bacaan tujuh (qira’ah sab’ah). Standart penulisan (rasm) dalam arti pembakuan tanda-tanda huruf (nuqth) dan tanda baca (syakl), dengan sendirinya mengeliminir beberapa versi bacaan (qira’ah) dalam al-qur’an. Dalam proses standardisasi rasm al-qur’an ditempuh beberapa tahapan. Yang pertama ketika al-qur’an masih berangsur-angsur diturunkan. Yang kedua pemberian tanda baca (syakl) pertama kali diadakan pada masa pemerintahan Mua’wiyah ibn Abi Sufyan (680).

b. Pengertian Kosa Kata (Mufaradat)
Perbedaan makna dalam suatu kosa kata memberikan implikasi dalam menetapkan (istinbath) hukum.

c. Penetapan Batas Pengecualian (Istitsna’)
Menetapakan batas yang ditunjuk untuk suatu bentuk pengecualian seringkali juga menimbulkan perbedaan pendapat. Hukuman tuduhan palsu sebagaimana diungkapkan dalam ayat, yaitu: 1. Pelakunya dicambuk 80 kali, 2. Tidak diterima persaksiannya selama-lamanya, 3. Dikategorikan orang fasiq, tidak taat pada Allah.

d. Penetapan Arti Huruf ‘Athf
Bias gender kadang-kadang terjadi di dalam pemberian makna huruf-huruf ‘athf, karena memang huruf waw mempunyai beberapa arti dan fungsi; kadang berfungsi sebagai penyambung (athf) dan qasam (sumpah).
Bias juga terjadi pada padanan atau struktur dalam bahasa arab, kamus bahasa arab yang sering dijadikan rujukan dalam mengartikan ayat-ayat al-qur’an, dalam menetapkan tafsiran dalam suatu ayat dan dalam pembukuan dan pembakuan pada kitab-kitab fiqih.
 
Blogger Templates