Subscribe:

Mari Membaca

Ads 468x60px

Social Icons

Rabu, 19 Desember 2012

AYAT – AYAT TENTANG ZAKAT DAN INFAQ



Pendahuluan :
Zakat merupakan salah satu sendi pokok ajaran Islam. Bahkan Al-Qur'an menjadikan zakat dan shalat sebagai lambing dari keseluruhan ajaran Islam : Apabila mereka, kaum musyrik, bertobat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, maka mereka adalah saudara-saudara seagama (QS 9:11)
Zakat merupakan salah satu ketetapan Tuhan yang menyangkut harta, bahkan shadaqah dan infaq pun demikian. Karena Allah menjadikan harta benda sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya, maka ia harus diarahkan guna kepentingan bersama. Manausia yang notabene berasal dari satu keturunan yaitu bapa Adam dan Ibu Hawa, memiliki pertalian darah antara satu dengan yang lainnya, dekat maupun jauh.[1]
Perlu kita sadari bahwa hubungan persaudaraan tak hanya menuntut sekedar take and give (mengambil dan menerima) atau useful change (pertukaran manfaat), akan tetapi lebih dari itu yaitu memberi tanpa menanti sebuah imbalan, atau membantu tanpa dimintai bantuan. Apalagi jika mereka bersama hidup dalam satu lokasi.
Islam menyeru manusia untuk menginfaqkan sebagian harta dan bermurah hati serta dermawan. Sejatinya harta yang ada di tangan mukmin merupakan sarana untuk mendapatkan ridla Allah, bukan merupakan life's goal (tujuan hidup), sehingga dia bersemangat mencari dan menumpuknya, lalu dia gunakan untuk mengumbar kesenangan dan kepuasan syahwat.
Dalam makalah ini, saya ingin mengupas ayat-ayat tentang zakat dan infaq yakni: al-Taubah: 60 dan 103; al-An'am: 141 dan al-Baqarah: 267 dan 271.

Pengertian Zakat dan Infaq
Zakat adalah salah satu ibadah pokok dan termasuk salah satu rukun Islam. Secara arti kata zakat yang berasal dari bahasa Arab dari akar kata zaka mengandung beberapa arti seperti membersihkan, bertumbuh dan berkah. Yang sering terjadi dan banyak ditemukan dalam al-Qur'an dengan arti membersihkan. Seperti dalam surat al-Nur: 21 : "dan tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendakinya, dan Allah Maha Mendengar dan Mengetahui."
Digunakan kata zaka dengan arti "membersihkan" itu untuk ibadah pokok yang rukun Islam itu, karena memang zakat itu di antara hikmahnya adalah untuk membersihkan jiwa dan harta orang yang berzakat. Dalam terminology hokum syara', zakat diartikan : "pemberian tertentu dari harta tertentu kepada orang tertentu menurut syarat-syarat yang ditentukan."
Zakat itu ada dua macam. Pertama zakat mal (zakat harta) dan kedua zakat diri yang dikeluarkan setiap akhir Ramadlan yang disebut juga zakat fitrah.[2]
Infaq : kata infaq berasala dari akar kata nafaqa-yanfuqu-nafaqan-nifaqan, yang artinya "berlalu", "habis", "laris", "ramai". Kalimat nafaqa asy-syai'u artinya sesuatu itu habis, baik habis karena dijual, mati, atau karena dibelanjakan. Kalimat nafaqa al-bai'u nafaqan artinya dagangan itu habis karena laris terjual. Infaq yang berarti "menghabiskan" atau "membelanjakan" dapat berkenaan dengan harta atau lainnya, dan status hukumnya bisa wajib dan bisa sunat.[3]
Hukum dan Dasar Hukum Zakat
Hokum zakat adalah wajib 'aini dalam arti kewajiban yang ditetapkan untuk diri pribadi dan tidak mungkin dibebankan kepada orang lain. Juga disebutkan dalam kitab fiqih madzahibul arba'ah yaitu zakat merupakan salah satu rukun Islam dan hukumnya fardlu 'ain bagi orang yang sudah sempurna syarat-syaratnya. Hokum wajib ini ditetapkan sejak tahun kedua dari hijrahnya Nabi Muhammad saw.[4] Kewajiban zakat itu dapat dilihat dari beberapa segi :
Pertama : banayak sekali perintah Alah untuk membayarkan zakat dan hamper keseluruhan perintah berzakat itu dirangkaikan dengan perintah mendirikan shalat seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah: 43
"Dan dirikanlah shalat dan bayarkanlah zakat dan ruku'lah kamu beserta orang-orang yang ruku'."(QS. Al-Baqarah: 43).
Perintah Allah untuk berzakat itu disamping menggunakan lafadz zaka juga menggunakan kata lain, yaitu :
a.       lafadz anfaqa seperti dalam sural al-Baqarah: 267
b.      lafadz shadaqa seperti dalam surat al-Taubah: 60
c.       lafadz atu haqqahu seperti dalam surat al-An'am: 141
ketiga lafadz tersebut di atas mengandung arti zakat.
Kedua : dari segi banyak pujian dan janji baik yang diberikan Allah kepada orang yang berzakat, di antaranya seeperti dalam surat al-Mukminun ayat 1 -4 :
"sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman; (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya; dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna; dan orang-orang yang menunaikan zakat."
Ketiga : dari segi banyaknya ancaman dan celaan Allah kepada orang yang tidak mau membayar zakat di antaranya seperti dalam surat Fussilat ayat 6-7:[5]
"celakalah orang-orang yangmusyrik; yaitu orang-orang yang tidak mau membayar zakat." (QS. Fussilat: 6-7).
QS. At-Taubah: 60
Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orag fakir, orang-orang miskin, para pengurus zakat, paramu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allahmaha mengetahui lagi maha bijaksana.[6](QS. Al-Taubah: 60)

Penafsiran Kata :
As-Sadaqah : ialah zakat yang diwajibkan atas uang, binatang ternak, tanaman, dan perniagaan.
Al-Faqir : orang yang mempunyai harta sedikit, tidak mencapai nishab (kurang dari 12 pound).
Al-Miskin : orang tidak punya, sehingga dia perlu meminta-minta sandang dan pangannya.
Al-Amil 'alaiha : orang yang diserahi tugas oleh sultan atau wakilnya untuk mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya.
Al-Mu'allafatu qulubuhum : orang-orang yang dikehendaki agar hatinya cenderung atau tetap kepada Islam.
Fir-Riqab : untuk berinfaq dalam menolong budak-bidak, guna membebaskan mereka dari perbudakan.
Al-Gharimin : orang-orang yang mempunyai hutang dan tidak sanggup membayarnya.
Fi Sabilillah : di jalan untuk mencapai keridaan dan pahala Allah. Yang dimaksud ialah: setiap orang yang berjalan di dalam ketaatan kepada Allah dan di jalan kebaikan, seperti orang-orang yang berperang, jama'ah haji yang terputus perjalanannya, dan mereka tidak mempunyai sumber harta lagi, dan para penuntut ilmu yang faqir.
Ibnus-Sabil : musafir yang jauh dari negerinya dan sulit baginya untuk mendatangkan sebagian dari hartanya, sedangkan dia kaya di negerinya tetapi faqir di dalam perjalanan.
Faridlatun minallah : Allah mewajibkan hal itu secara mutlaq, tanpa seorang pun yang ikut serta dalam mewajibkannya.

Penjelasan :
Penggunaan Zakat
Ada delapan macam orang yang berhak diberi zakat, yaitu :
1.      Faqir
2.      Miskin : keadaan mereka lebih buruk daripada orang-orang faqir, sebagaimana firman Allah : "Atau orang miskin yang sangat fakir." (Al-Balad, 90: 60). Yakni, orang meletakan kulitnya ke tanah dalam sebuah lubang untuk menutupi tubuhnya sebagai penganti kain, dan perutnya diganjalkan ke tanah pula karena sangat laparnya. Keadaan ini merupakan puncak bahaya dan kesusahan.
3.      Amil : mereka adalah orang-orang yang diutus oleh sultan untuk memungut dan memelihara zakat.
4.      Mu'allaf : mereka adalah kaum yang dikehendaki, agar hatinya cenderung atau tetap kepada Islam, menghentikan kejahatannya terhadap kaum muslimin, atau diharapkan memberi manfaat dalam melindungi kaum muslimin atau menolong mereka terhadap musuh. Mereka terbagi ke dalam tiga golongan (lihat tafsir Al-Maraghi karya Ahmad Mustofa Al-Maraghi, h. 243).
5.      Hamba sahaya : Ahmad dan Bukhari meriwayatkan dari Barra' bin 'Azib : telah seorang lelaki kepada Rasulullah saw. Dia berkata, "Tunjukkan kepada saya, perbuatan apakah yang dapat mendekatkan saya ke surga dan menjauhkan saya dari neraka." Beliau bersabda, "Merdekakan ('itqun) budak dan bebaskan (fakkun) budak." Dia bertanya, "Bukankah keduanya sama?" Beliau menjawab, "Tidak : memerdekakan budak berarti kamu sendiri memerdekakannya, sedangkan membebaskan budak berarti kamu membantu harganya untuk dia memerdekakan dirinya."
6.      Gharim : orang-orang yang mempunyai hutang yang menjerat lehernya, dan tidak mampu membayarnya. 
7.      Sabilillah : Jalan Allah adalah jalan yang menuju keridlaan dan pahala-Nya. Yang dimaksud ialah orang-orang yang berperang dan mempersapkan dirinya untuk berjihad. Diriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa dia menjadikan perjalanan ibadah haji termasuk jalan allah. Termasuk dalam hal ini ialah seluruh kebaikan, seperti mengkafani orang mati, membangun jembatan dan benteng, memakmurkan masjid dan lain sebagainya.
8.      Ibnus Sabil : orang yang jauh dari negerinya dalam suatu perjalanan, dan sulit baginya untuk memperoleh sebagian hartanya jika dia mempunyai harta. Dia kaya di negerinya, tetapi faqir di perjalanannya. Maka, karena kekafirannya yang baru muncul itu, dia diberi sedekah sekedar dapat menolong dia untuk kembali kenegerinya.[7]


Sabab Nuzul :
QS. At-Taubah: 103

"Ambillah zakat dari sebagiam harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoakan untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."(QS. Al-Taubah: 103)

Penafsiran kata :
As-Sadaqah : apa yang dinafkahkan oleh orang mukmin dengan maksudmendekatkan diri kepada Allah.
At-Tazkiyah : adalah dari kata rajulun zakiy, artinya orang yang kebaikan dan keutamaannya lebih. Kata-kata ini terdapat dalam Al-Asas.
As-Sakan : sesuatu yang jiwa merasa tenteram dan sengan kepadanya. Yaitu, keluarga, harta, kesenangan, doa dan pujian.
As-Shalah : Do'a.[8]
Penjelasan :
Ambillah Sedekah Untuk Mensucikan dan Membersihkan Mereka.

Ambillah hai Rasul dari harta yang diserahkan oleh orang-orang yang tidak ikut perang itu. Juga dari harta orang mukmin lainnya, dari berbagai jenis harta, berupa emas, perak, binatang ternak atau harta dagangan, sebagai sedekah dengan ukuran tertentu dalam zakat fardlu, atau ukuran tidak tertentu dalam zakat sunnah, yang dengan sedekah itu kamu membersihkan mereka dari kotoran kebakhilan, tamak, dan sifat yang kasar terhadap orang-orang kafir yang sengsara. Dengan sedekah itu pula, kamu mensucikan jiwa mereka dan mengangkat jiwa mereka ke derajat orang-orang yang baik dengan melakukan kebajikan, sehinga mereka patut mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Di dalam firman Allah, "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka." (al-Taubah: 103). Setiap orang merdeka yang memiliki harta dengan sepenuhnya, ada zakat di dalamnya.[9]

Sabab nuzul :
Ibnu Jarir meriwayatkan, bahwa Abu Lubabah dan kawan-kawannya yang tidak ikut berperang, lalu bertaubat, mereka dating kepada Rasulullah saw. Ketika dibebaskan, lalu berkata : "Ya Rasulullah, inilah harta kami, sedekahkanlah dari kami dan mohonkanlah ampun untuk kami". Maka Rasul menjawab : "Saya tidak diperintah untuk mengambil sedikit pun dari harta kalian." Oleh karena itu Allah menurunkan ayat di atas. Maka, setelah turun ayat ini, Rasulullah mengambil sepertiga dari harta mereka, lalu beliau sedekahkan dari mereaka.
Sekalipun sebab turunnya ayat ini bersifat khusus, namun nash tentang pengambilan harta pada ayat ini bersifat umum, mencakup para khalifah rasul setelah wafat Beliau, dan para pemimpin kaum muslimin setelah wafatnya para khalifah. Juga mencakup secara umum tentang orang-orang yang diambil hartanya, yaitu kaum muslimin yang kaya.[10]


Faidah Sedekah Dalam Membangun Masyarakat Islam
Sedekah dapat mengikis sifat-sifat kikir, kotoran-kotoran kebatilan, egois, tamak, dan rakus dalam jiwa seseorang, bahkan dapat menghindarkan mereka dari memakan harta orang  lain secara batil baik lewat pengkhianatan, pencurian, perampasan, korupsi, riba atau cara lainnya yang tidak dibenarkan oleh syara'. Dan apabila masyarakat telah bersih dan suci berkat ilmu dan taqwa yang merupakan buah keimanan, maka akan bersih pula jama'ah kaum muslimin dari kotoran-kotoran kerendahan social yaitu kotoran yang bisa mengundang kedengkian, pelanggaran hak-hak orang lain, penganiayaan, permusuhan, fitnah, serta peperangan. Oleh karena harta telah menjadi life's balance (keseimbangan kehidupan), baik indifidu maupun masyarakat, maka harta pun bisa memicu perebutan dan pertengkaran. Dan itulah sebabnya agama mewajibkan kepada para pemilik harta supaya menafkahkan dan mengeluarkan sedekah sehingga kekayaan mampu menjadi medium of peace (sarana perdamaian), bukan lagi menjadi ajang pertengkaran.

QS. Al-An'am: 141
Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan tidak berjunjung, pohon korma, tanaman-tanaman yang bermacam-macam, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada faqir miskin), dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai yang berlebih-lebihan. (QS. Al-An'am: 141).[11] 

Penafsiran kata :
Al-Insya' : mengadakan makhluk hidup dan mengasuhnya. Juga mengadakan segala sesuatu yang menjadi sempurna secara berangsur-angsur. Seperti mengadakan awan, perkampungan, dan rambut.
Al-Jannat : taman-taman dan kebun anggur yang lebat pohonnya, karena kebun seperti itu menutupi tanah di bawahnya dan membuatnya tidak kelihatan.
Al-Ma'rusyat : tanaman-tanaman yang dicagak pada tiang-tiang penyangga. Yaitu junjungan-unjungan yang dibuat dari kayu dan bambu, yang di atasnya diletakkan batang tanaman-tanaman itu hingga seperti atap rumah.
Gairul Ma'rusyat : tanaman yang batangnya tidak diletakkkan di atas junjungan. Maksudnya, bahwa kebun itu ada dua macam. Yaitu kebun-kebun yang memakai junjungan-junjungan, seperti pohon anggur dan kebun yang tidak memakai junjungan, kebun-kebun yang berisi bermacam-macam pohon yang batangnya tumbuh lurus, tidak merambat ke pohion lainnya.
Al-Ukul : (huruf hamzah dan memakai dhammah): sesuatu yang dimakan.
Mutasyabihan : serupa warna, bentuk, dan rasanya jika dilihatdengan mata.
Gaira Mutasyabih : tidak sama rasanya.[12]

Penjelasan :
Pohon kurma sekalipun sebagian dari kebun yang tidakl berjunjung, namun di sini disebutkan secara tersendiri, karena mempunyai multi fungsi, terutama bagi bangsa Arab. Kurma mempunyai keistimewaan yang melebihi anggur dan merupakan pohon yang paling mirip dengannya.
Sedang Az-Zara ialah tanaman yang tumbuh ditanam manusia, mencakup segala tumbuhan yang ditanam, khususnya yang menajdi makanan pokok. Serperti gandum dan kedelai. Jenis-jenis tumbuhan ini telah disebutkan secara berturut-turut, dari yang paling rendah kedudukannya sebagai makanan biasa dan makanan pokokmanusia, sampai kepada yang paling tinggi dan umum, karena biji-bijian merupakan tumbuhan yang menjadi bahan pokok, sebagai makanan yang menyenangkan.
Sabab nuzul :
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa orang-orang yang menghambur-hamburkan hasil panen serta hidup berfoya-foya, tetapi tidak mengeluarkan zakatnya. Maka turunlah ayat ini (QS. 6 al-An'am: 141) sebagai perintah untuk mengeluarkan zakat pada hari panennya (diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Abul 'Aliyah).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ayat ini (QS. 6 al-An'am: 141) turun berkenaan dengan Tsabit bin Qais bin Syammas yang menuai buah kurma, kemudian berpesta pora, sehingga pada petang harinya tak sebiji pun buah kurma tersisa di rumahnya (diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu Juraij).[13] 


QS. Al-Baqarah: 267
"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kalian yang baik-baik dan sebagian dari apa yang keluarkan dari bumi untuk kalian, dan janganlah kalian memilih yang buruk-buruk lalu kalian nafkahkan daripadanya, padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata terhadapnya. Ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya, Maha terpuji." {QS. Al-Baqarah: 267).

Penafsiran kata :
Anfiqu : kata infaq berasala dari akar kata nafaqa-yanfuqu-nafaqan-nifaqan, yang artinya "berlalu", "habis", "laris", "ramai". Kalimat nafaqa asy-syai'u artinya sesuatu itu habis, baik habis karena dijual, mati, atau karena dibelanjakan. Kalimat nafaqa al-bai'u nafaqan artinya dagangan itu habis karena laris terjual. Infaq yang berarti "menghabiskan" atau "membelanjakan" dapat berkenaan dengan harta atau lainnya, dan status hukumnya bisa wajib dan bisa sunat.
Thayyibat : terambil dari kata thayyib yang artinya baik dan disenangi (disukai); lawannya adalah khabis yang berarti buruk dan dibenci.
Wa la tayammamu : artinya, janganlah kamu bermaksud, menuju, menghendaki.
Taghmidlu : artinya meremehkan, memicingkan mata. Perkataan Aghmidl (remehkan, picingkan matamu) kepada si penjual, artinya "janganlah kamu selidiki/teliti seakan-akan kamu tidak melihat."[14]
Makna Global
Pada ayat (QS. Al-Baqarah: 267) ini Allah menjelaskan pedoman yang harus diperhatikan  berkaitan dengan kualitas harta yang akan diinfakkan, yaitu bahwa harta tersebut hendaknya merupakan harta terbaik dan paling dicintai, sehingga dengan demikian pedoman tentang infak dan penggunaan kekayaan pada jalan Allah menjadi lengkap dan sempurna.[15]
Penjelasan
Allah mengaitkan hasil usaha kepada mereka, meskipun dia yang menciptakan perbuatan mereka, karena hasil itu merupakan perbuatan mereka. Sedangkann yang mengeluarkan hasil bumi disandarkan kepada Allah, karena hal itu bukan perbuatanmereka dan juga di luar kesanggupan mereka.
Kemudian Allah berfirman, "Janganlah kalian memilih yang buruk-buruk lalu kalian nafkahkan daripadanya". Allah melarang menafkahkan hasil usaha yang buruk-buruk secara sengaja. Kemudian firmannya, "Padahal kalian sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya". Artinya , sekiranya mempunyai hak untuk menerima hasil yang buruk itu, lalu ia diberikan kepada kalian, tentulah kalian tidak mau menerimanya meskipun ada hak terhadapnya, kecuali kalian harus mempertimbangkan tenggang rasa untuk mengambilnya dan meminta keringanan dalam masalah ini.[16]
Sabab nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat tersebut di atas (QS. Al-Baqarah: 267) berkenaan dengan kaum Anshar yang mempunyai kebun kurma. Ada yang mengeluarkan zakatnya sesuai dengan penghasilannya, tetapi ada juga yang tidak suka berbuat baik. Mereka (yang tidak suka berbuat baik) ini menyerahkan kurma yang berkualitas rendah dan busuk. Ayat tersebut di atas sebagai teguran atas perbuatan mereka. (diriwayatkan oleh al-Hakim, at-Tirmidzy, Ibnu Majah, dan lain-lain yang bersumber dari al-Barra'.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ada orang-orang yang memilih kurma yang jelek untuk dizakatkan. Maka turunlah ayat tersebut di atas (QS. Al-Baqarah: 267) sebagai teguran atas perbuatan mereka. (diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa'I, dan al-Hakim, yang bersumber dari Sahl bin Hanif).[17]

QS. Al-Baqarah: 271
"Jika kamu menampakkan sedekah (mu), maka itu adal;ah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikankepada orang-orang fakir, maka menyembuhnyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan."(QS. Al-Baqarah: 271).

Makna Global
Di dalam ayat yang lalu, Allah mengemukakan bahwa Dia Maha Mengetahui terhadap apa yang kalian infaqkan. Allah kelak akan membalasnya. Apabila baik, maka balasannya adalah baik; dan jika jelek, maka balasannya pun jelek.
Kemudian, di dalam ayat ini Allah menjelaskan tentang cara memberikan sedekah tersebut, yang tentu saja ada yang diberikan secara sembunyi, dan ada yang diberikan secara terang-terangan, dan mana yang paling utama dari keduanya.
Penjelasan :
Allah menggambarkan bahwa memberikan infaq kepada fakir miskin secara sembunyi-sembunyi, lebih baik bagi pelakunya daripada menampakkannya. Pembatasan yang ditetapkan Allah untuk merahasiakan pemberian kepada fakir miskin secara khusus, dan Allah tidak mengatakan, "jika kalian menyembunyikannya, maka hal itu lebih baik bagi kalian". Sebab di antara shadaqah ada yang tak mungikin disembunyikan, seperti menyediakan perlengkapan pasukan perang, membangun jembatan, dan lain sebagainya. Tapi ketika memberikannya kepada fakir miskin, maka ada beberapa manfaatnya untuk menyembnyikannya, seperti menutupi aibnya, tidak membuatnya malu di hadapan manusia, dan sebagainya.[18]
Dan apabila kalian menampakkan sedekah secara terang-terangan, maka sebaik-baiknya amal itu adalah yang terang-terangan. Sebab, hal ini merupakan panutan yang baik bagi lainnya.
Di samping itu, sedekah merupakan salah satu syi'ar agama Islam. Seandainya disembunyikan, maka ada sebagian orang yang menduga, bahwa mengeluarkan sedekah secara terang-terangan adalah dilarang di dalam Islam.
Sedekah secara sembunyi lebih utama
Apabila kita memberikan sedekah tersebut kepada kaum fakir miskin secara sembunyi, maka hal itu akan lebih utama, karena terjauh dari perasan riya'. Dalam hal ini, banyak sekali hadis dan asar yang mendukung amal seperti ini.
Imam Ahmad meriwayatkan hadis dari Abu Umamah, bahwa Abu Zar pernah menanyakan kepada Nabi saw. "Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang lebih utama?" jawab Nabi, "sedekah siri (sembunyi) kepada kaum fakir, atau sedekah yang dihasilkan dengan susah payah, oleh orang yang hidupnya kekurangan". Selanjutnya, Nabi membacakan ayat ini.
Jumhur ulama' mengatakan, "bahwa letak keutamaan menginfakkan harta secara sirri disbanding terang-terangan, hanyalah pada sedekah sunnah, bukan pada sedekah wajib (zakat). Menampakkkan sedekah wajib itu lebih utama, karena dengan demikian, tampaklah syi'ar-syi'ar agama. Mereka juga menambahkan, "sesungguhnya menampakkan amal itu lebih baik bagi orang yang berniat agar ditiru oleh orang banyak, meski yang dilakukan adalah sedekah sunnah."[19]

Sabab Nuzul
Ayat ini diturunkan sehubungan dengan Abi baker dan Umar bin Khathab. Pada suatu ketika Umar bin Khathab menyedekahkan separuh dari harta kekayaannya kepada Rasulullah saw untuk kepentingan agama. Rasulullah saw bersabda: "Tidaklah engkau memikirkan anak turun dan keluarga yang ada di belakangmu, wahai Umar". Jawab Umar, "aku sediakan buat mereka separuh dari harta kekayaanku". Sedangkan Abu Bakar Shiddiq secara diam-diam telah menyerahkan seluruh harta kekayaannya kepada Rasulullah saw untuk kepentingan agama. Rasulullah saw bersabda kepadanya: "Wahai Abu Bakar, tidakkah kamu memikirkan keluarga dan anak turun yang di belakangmu". Jawab Abu Bakar: "Yang akan mencukupi keluargaku adalah Allah dan Rasulullah". Mendengar jawaban yang seperti itu Umar bin Khathab menagis seraya berkata: "Demi Allah – tebusanmu adalah ayah adan ibuku – setiap aku berniat membuat kebajikan selalu saja kamu tandingi, wahai Abu Bakar". Ayat ini pada dasarnya memuji sikap Umar bin Khathab yang menyedekahkan harta kekayaannya dengan terang-terangan dengan maksud agar dicontoh orang lain, dan kepada Abu Bakar yang menyedekahkan hartanya secara rahasia. Kedua perbuatan ini adalah sangat baik, yang patut diikuti oleh setiap muslim. (HR. Ibnu Hatim dari ayahnya dari Husain bin Ziyad al-Muharibi dari Musa bin Umair dari Amir asy-Sya'bi).[20]
Munasabah ayat
Di dalam surat al-Taubah: 60, Allah menjelaskan tentang orang-orang yang berhak menerima zakat yakni ada delapan asnaf. Agar kenikmatan dan kekayaan duniawi ini juga bisa dirasakan oleh faqir miskin, maka Allah memrintahkan untuk mengambil zakat dari sebagian harta untuk diberikan kepada yang berhak, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Taubah: 103. Karena dengan zakat itu bisa mengikis sifat-sifat kotor seperti; bakhil, tamak, berlaku tak senonoh terhadap orang-orang faqir, dan juga perintah mendoakan kepada orang yang mengeluarkan zakat.
Allah menjadikan kebun-kebun, di situ tumbuh tanaman-tanaman yang bermacam-macam. Dari tanaman-tanaman itu agar kita bisa menikmati buahnya, dan menunaikan haknya ketika sudah panen kepada orang-orang yang berhak menerima zakat. Kita tidak boleh berlebih-lebihan meskipun  kaya, mempunyai kebun yang luas, sawah, ladang yang ditanamai berbagai macam tanaman, karena di situ terdapat hak bagi faqir miskin. Dan sesunguhnya Allah tidak menyukai yang berlebih-lebihan, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-An'am: 141.
Ketika kita bersedekah dari hasil-hasil usaha, agar tidak memilih yang buruk-buruk untuk dinfkakkan, padahal kita sendiri tidak mau mengambilnya. Maka Allah menegaskan kembali seperti dalam sural al-Baqarah ayat 267, agar kita menginfakkan yang baik-bak sehingga yang menerima bisa senang hati. Masalah menampakkan atau menyembunyikan sedekah, itu bukan menjadi permasalahan karena keduanya itu sama-sama baik, ini disinggung dalam surat al-Baqarah ayat: 271, meskipun itu sedekah sunnat dengan niatan agar bisa dibudayakan. Tidak hanya itu, dengan sedekah Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahan kita.

Kesimpulan :
Zakat adalah salah satu ibadah pokok dan termasuk salah satu rukun Islam dan hukumnya fardlu 'ain dalam arti kewajiban yang ditetapkan untuk diri pribadi dan tidak mungkin dibebankan kepada orang lain.
Zakat itu ada dua macam. Pertama zakat mal (zakat harta) dan kedua zakat diri yang dikeluarkan setiap akhir Ramadlan yang disebut juga zakat fitrah.
Perintah Allah untuk berzakat itu disamping menggunakan lafadz zaka juga menggunakan kata lain, yaitu : anfaqa (al-Baqarah: 267), shadaqa (al-Taubah: 60), dan  atu haqqahu (al-An'am: 141), ketiga lafadz tersebut  mengandung arti zakat.
Ada delapan macam orang yang berhak menerima zakat, yaitu : fakir, miskin, amil, mu'allaf, hamba sahaya, gharim, sabilillah, dan ibu sabil (musafir).
Faidah Sedekah Dalam Membangun Masyarakat Islam
Sedekah dapat mengikis sifat-sifat kikir, kotoran-kotoran kebatilan, egois, tamak, dan rakus dalam jiwa seseorang, bahkan dapat menghindarkan mereka dari memakan harta orang lain secara batil baik lewat pengkhianatan, pencurian, perampasan, korupsi, riba atau cara lainnya yang tidak dibenarkan oleh syara'. Oleh karena harta telah menjadi life's balance (keseimbangan kehidupan), baik indifidu maupun masyarakat, maka harta pun bisa memicu perebutan dan pertengkaran. Dan itulah sebabnya agama mewajibkan kepada para pemilik harta supaya menafkahkan dan mengeluarkan sedekah sehingga kekayaan mampu menjadi medium of peace (sarana perdamaian), bukan lagi menjadi ajang pertengkaran.

Daftar Pustaka :
·         Al-Jaziri, Abdurrahman. Fiqih Madzahibul Arba'ah. Kairo: Darul Hadis, 1994
·         Al-Maraghi, Mustofa Ahmad. Tafsir Al-Maraghi. Semarang: CV. Toha Putra, 1992.
·         Amin Suma, Muhammad. Tafsir Ahkam: Tafsir Ayat-Ayat Pilihan. Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997.
·         Dahlan, H.A.A dkk. Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur'an. Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2006..
·         Depag. Al-Qur'an dan Tafsir. YPPA, 1979.
·         Mujib Mahali, A.Mujib. Asbabun Nuzul: Studi Pendalaman al-Qur'an. Jakarta: CV. Rajawali, 1989.
·         Shihab, Quraisy. "Membumikan "Al-Qur'an: Fungsi dan peran wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1993.
·         Suhardi, Kathur. Tafrir Ibnu Qayyim. Darul Falah: Jatim: Darul Falah, 2000.
·         Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta: Prenada Media, 2003.
·         Syafi'I, Imam. Hukum al-Qur'an: Asy-Syafi'I dan Ijtihadnya.  Surabaya: PT. Bengkulu Indah, 1994. 121.

Do’a, Bacaan Al-Qur’an, Shadaqoh & Tahlil untuk Orang Mati


 Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:

وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى
Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)
Juga hadits Nabi MUhammad SAW:
اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.
Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :
وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن
Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)
Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.
وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ
Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ
Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).
Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain.
.Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.
Selain do’a terhadap keluarga yang sudah meningal dunia, persoalan yang sering menuai perbedaan pendapat di kalangan umat Islam adalah masalah bersedekah untuk (atas nama) mereka. Apakah sedekah semacam ini diperbolehkan, apakah pahalanya akan sampai, dan seterusnya.
Sedekah ini seringkali ditunaikan karena beberapa sebab. Salah satunya, misalnya ketika masih hidup seseorang mempunyai keinginan (‘azam) atau bahkan janji (nadzar) untuk menyedekahkan sesuatu tetapi ia belum melaksanakannya karena segera meninggal dunia, dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Sebab lainnya, seorang anak atau kerabatnya merasa mampu secara ekonomi dan ingin bersedekah atas nama orang yang sudah mati tersebut. Hal semacam itu pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW.
عَنِ اْبنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِىِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أُمِى تُوَفِيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا أَنْ اَتَصَدَّقَ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ لِى مِحْزفًا اُشْهِدُكَ إَِنِى تَصَدَّقْتُ بِهِاعَنْهَا (رواه البخارى والترمذي وأبو داود والنسائى)
Sahabat Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa seseorang laki-laki datang kepada Nabi Muhammad SAW. Dia berkata; “Ibu saya meninggal, Apakah ada manfa’atnya apabila saya bersedekah untuk ibu saya?” Rasulullah menjawab, “Ya berguna bagi ibumu.” Orang itu berkata lagi, “Saya mempunyai sebuah kebun dan engkau Rasulullah aku jadikan saksi, bahwa aku telah menyedekahkan kebun itu untuk ibu saya.” (HR Bukhari, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i)
Sedekah untuk keluarga yang meninggal itu juga dikuatkan dengan Hadits Rasulullah SAW dari Siti ‘Aisyah ra.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِىِ صلى الله عليه وسلم اِنَّ اُمِّى اُفْتُلِيَتْ (مَاتَتْ فُجْأَةً) وَأَرَا هَالَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا ؟ قَالَ : نَعَمْ. متفق عليه
Dari Siti ‘Aisyah ra bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi Muhammad SAW: “Ibu saya mati mendadak, dan saya yakin seandainya dia bisa bicara, dia bersedekah, apakah ibu saya mendapat pahala, seandainya saya bersedekah untuk ibu saya? Rasulullah menjawab, “ya ada pahala bagi ibumu.”(HR Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, tidaklah usah khawatir bahwa niat bersedekah khusus untuk atau atas nama keluarga yang sudah meningal dunia itu tidak akan sampai kepada yang bersangkutan, sebab Rasulullah SAW sendiri telah menjawab demikian.


Apa Itu Hadîts Qudsiy




Mukaddimah
Pada kajian ilmu hadits kali ini, sengaja kami ketengahkan masalah Hadîts Qudsiy yang tentunya sudah sering didengar atau dibaca tentangnya namun barangkali ada sebagian kita yang belum mengetahuinya secara jelas.
Untuk itu, kami akan membahas tentangnya secara ringkas namun terperinci insya Allah, semoga bermanfa'at.

Definisi

Secara bahasa (Etimologis), kata
القدسي dinisbahkan kepada kata القدس (suci). Artinya, hadits yang dinisbahkan kepada Dzat yang Maha suci, yaitu Allah Ta'ala.
Dan secara istilah (terminologis) definisinya adalah 

ما نقل إلينا عن النبي صلى الله عليه وسلم مع إسناده إياه إلى ربه عز وجل
Sesuatu (hadits) yang dinukil kepada kita dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam yang disandarkan beliau kepada Rabb-nya.

Perbedaan Antara Hadîts Qudsiy Dan al-Qur`an

Terdapat perbedaan yang banyak sekali antara keduanya, diantaranya adalah:
1. Bahwa lafazh dan makna al-Qur`an berasal dari Allah Ta'ala sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian, alias maknanya berasal dari Allah Ta'ala namun lafazhnya berasal dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam.
2. Bahwa membaca al-Qur`an merupakan ibadah sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian.
3. Syarat validitas al-Qur'an adalah at-Tawâtur (bersifat mutawatir) sedangkan Hadîts Qudsiy tidak demikian.

Jumlah Hadîts-Hadîts Qudsiy

Dibandingkan dengan jumlah hadits-hadits Nabi, maka Hadîts Qudsiy bisa dibilang tidak banyak. Jumlahnya lebih sedikit dari 200 hadits.

Contoh

Hadits yang diriwayatkan Imam Muslim di dalam kitab Shahîh-nya dari Abu Dzarr radliyallâhu 'anhu dari Nabi Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada apa yang diriwayatkan beliau dari Allah Ta'ala bahwasanya Dia berfirman,

يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوْا
"Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan zhalim atas diri-Ku dan menjadikannya diantara kamu diharamkan, maka janganlah kamu saling menzhalimi (satu sama lain)." (HR.Muslim)

Lafazh-Lafazh Periwayatannya

Bagi orang yang meriwayatkan Hadîts Qudsiy, maka dia dapat menggunakan salah satu dari dua lafazh-lafazh periwayatannya:
1.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عز وجل
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam pada apa yang diriwayatkannya dari Rabb-nya 'Azza Wa Jalla
2.
قال الله تعالى، فيما رواه عنه رسول الله صلى الله عليه وسلم
Allah Ta'ala berfirman, pada apa yang diriwayatkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi Wa Sallam dari-Nya

Buku Mengenai Hadîts Qudsiy

Diantara buku yang paling masyhur mengenai Hadîts Qudsiy adalah kitab

 الاتحافات السنية بالأحاديث القدسية (al-Ithâfât as-Saniyyah Bi al-Ahâdîts al-Qudsiyyah) karya 'Abdur Ra`uf al-Munawiy.
    Di dalam buku ini terkoleksi 272 buah hadits.

(SUMBER: Buku Taysîr Musthalah al-Hadîts, karya
DR.Mahmûd ath-Thahhân, h.127-128)




 
Blogger Templates