Pendahuluan
:
Zakat merupakan salah satu sendi pokok ajaran Islam. Bahkan Al-Qur'an
menjadikan zakat dan shalat sebagai lambing dari keseluruhan ajaran Islam : Apabila
mereka, kaum musyrik, bertobat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, maka
mereka adalah saudara-saudara seagama (QS 9:11)
Zakat merupakan salah satu ketetapan Tuhan yang menyangkut harta, bahkan
shadaqah dan infaq pun demikian. Karena Allah menjadikan harta benda sebagai
sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya, maka ia harus diarahkan guna
kepentingan bersama. Manausia yang notabene berasal dari satu keturunan yaitu
bapa Adam dan Ibu Hawa, memiliki pertalian darah antara satu dengan yang
lainnya, dekat maupun jauh.[1]
Perlu kita sadari bahwa hubungan persaudaraan tak hanya menuntut sekedar
take and give (mengambil dan menerima) atau useful change
(pertukaran manfaat), akan tetapi lebih dari itu yaitu memberi tanpa menanti
sebuah imbalan, atau membantu tanpa dimintai bantuan. Apalagi jika mereka
bersama hidup dalam satu lokasi.
Islam menyeru manusia untuk menginfaqkan sebagian harta dan bermurah
hati serta dermawan. Sejatinya harta yang ada di tangan mukmin merupakan sarana
untuk mendapatkan ridla Allah, bukan merupakan life's goal (tujuan
hidup), sehingga dia bersemangat mencari dan menumpuknya, lalu dia gunakan
untuk mengumbar kesenangan dan kepuasan syahwat.
Dalam makalah ini, saya ingin mengupas ayat-ayat tentang zakat dan infaq
yakni: al-Taubah: 60 dan 103; al-An'am: 141 dan al-Baqarah: 267 dan 271.
Pengertian
Zakat dan Infaq
Zakat adalah salah satu ibadah pokok dan termasuk salah satu
rukun Islam. Secara arti kata zakat yang berasal dari bahasa Arab dari akar
kata zaka mengandung beberapa arti seperti membersihkan, bertumbuh dan
berkah. Yang sering terjadi dan banyak ditemukan dalam al-Qur'an dengan arti
membersihkan. Seperti dalam surat
al-Nur: 21 : "dan tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendakinya,
dan Allah Maha Mendengar dan Mengetahui."
Digunakan
kata zaka dengan arti "membersihkan" itu untuk ibadah pokok yang
rukun Islam itu, karena memang zakat itu di antara hikmahnya adalah untuk
membersihkan jiwa dan harta orang yang berzakat. Dalam terminology hokum
syara', zakat diartikan : "pemberian tertentu dari harta tertentu kepada
orang tertentu menurut syarat-syarat yang ditentukan."
Zakat itu ada dua macam. Pertama zakat mal (zakat harta) dan kedua zakat
diri yang dikeluarkan setiap akhir Ramadlan yang disebut juga zakat fitrah.[2]
Infaq : kata infaq berasala dari akar kata nafaqa-yanfuqu-nafaqan-nifaqan,
yang artinya "berlalu", "habis", "laris",
"ramai". Kalimat nafaqa asy-syai'u artinya sesuatu itu habis,
baik habis karena dijual, mati, atau karena dibelanjakan. Kalimat nafaqa
al-bai'u nafaqan artinya dagangan itu habis karena laris terjual. Infaq
yang berarti "menghabiskan" atau "membelanjakan" dapat
berkenaan dengan harta atau lainnya, dan status hukumnya bisa wajib dan bisa
sunat.[3]
Hukum dan
Dasar Hukum Zakat
Hokum zakat adalah wajib 'aini dalam arti kewajiban yang ditetapkan
untuk diri pribadi dan tidak mungkin dibebankan kepada orang lain. Juga
disebutkan dalam kitab fiqih madzahibul arba'ah yaitu zakat merupakan salah
satu rukun Islam dan hukumnya fardlu 'ain bagi orang yang sudah sempurna
syarat-syaratnya. Hokum wajib ini ditetapkan sejak tahun kedua dari hijrahnya
Nabi Muhammad saw.[4] Kewajiban
zakat itu dapat dilihat dari beberapa segi :
Pertama :
banayak sekali perintah Alah untuk membayarkan zakat dan hamper keseluruhan
perintah berzakat itu dirangkaikan dengan perintah mendirikan shalat seperti
firman Allah dalam surat
al-Baqarah: 43
"Dan
dirikanlah shalat dan bayarkanlah zakat dan ruku'lah kamu beserta orang-orang
yang ruku'."(QS. Al-Baqarah: 43).
Perintah
Allah untuk berzakat itu disamping menggunakan lafadz zaka juga
menggunakan kata lain, yaitu :
a.
lafadz anfaqa seperti dalam
sural al-Baqarah: 267
b.
lafadz shadaqa seperti
dalam surat
al-Taubah: 60
c.
lafadz atu haqqahu seperti
dalam surat
al-An'am: 141
ketiga
lafadz tersebut di atas mengandung arti zakat.
Kedua :
dari segi banyak pujian dan janji baik yang diberikan Allah kepada orang yang
berzakat, di antaranya seeperti dalam surat
al-Mukminun ayat 1 -4 :
"sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman; (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam
shalatnya; dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan)
yang tidak berguna; dan orang-orang yang menunaikan zakat."
Ketiga : dari
segi banyaknya ancaman dan celaan Allah kepada orang yang tidak mau membayar
zakat di antaranya seperti dalam surat
Fussilat ayat 6-7:[5]
"celakalah
orang-orang yangmusyrik; yaitu orang-orang yang tidak mau membayar zakat."
(QS. Fussilat: 6-7).
QS. At-Taubah:
60
Sesungguhnya zakat-zakat
itu hanyalah untuk orang-orag fakir, orang-orang miskin, para pengurus zakat,
paramu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berhutang, untuk jalan Allah orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai
suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allahmaha mengetahui lagi maha
bijaksana.[6](QS.
Al-Taubah: 60)
Penafsiran
Kata :
As-Sadaqah
: ialah zakat yang diwajibkan atas uang, binatang ternak, tanaman, dan
perniagaan.
Al-Faqir
: orang yang mempunyai harta sedikit, tidak mencapai nishab (kurang dari 12
pound).
Al-Miskin
: orang tidak punya, sehingga dia perlu meminta-minta sandang dan pangannya.
Al-Amil
'alaiha : orang yang diserahi tugas oleh sultan atau wakilnya untuk
mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya.
Al-Mu'allafatu
qulubuhum : orang-orang yang dikehendaki agar hatinya cenderung atau tetap
kepada Islam.
Fir-Riqab
: untuk berinfaq dalam menolong budak-bidak, guna membebaskan mereka dari
perbudakan.
Al-Gharimin
: orang-orang yang mempunyai hutang dan tidak sanggup membayarnya.
Fi
Sabilillah : di jalan untuk mencapai keridaan dan pahala Allah. Yang
dimaksud ialah: setiap orang yang berjalan di dalam ketaatan kepada Allah dan
di jalan kebaikan, seperti orang-orang yang berperang, jama'ah haji yang
terputus perjalanannya, dan mereka tidak mempunyai sumber harta lagi, dan para
penuntut ilmu yang faqir.
Ibnus-Sabil
: musafir yang jauh dari negerinya dan sulit baginya untuk mendatangkan
sebagian dari hartanya, sedangkan dia kaya di negerinya tetapi faqir di dalam
perjalanan.
Faridlatun
minallah : Allah mewajibkan hal itu secara mutlaq, tanpa seorang pun yang
ikut serta dalam mewajibkannya.
Penjelasan
:
Penggunaan
Zakat
1.
Faqir
2.
Miskin : keadaan mereka
lebih buruk daripada orang-orang faqir, sebagaimana firman Allah : "Atau
orang miskin yang sangat fakir." (Al-Balad, 90: 60). Yakni, orang meletakan
kulitnya ke tanah dalam sebuah lubang untuk menutupi tubuhnya sebagai penganti
kain, dan perutnya diganjalkan ke tanah pula karena sangat laparnya. Keadaan
ini merupakan puncak bahaya dan kesusahan.
3.
Amil : mereka adalah
orang-orang yang diutus oleh sultan untuk memungut dan memelihara zakat.
4.
Mu'allaf : mereka adalah
kaum yang dikehendaki, agar hatinya cenderung atau tetap kepada Islam,
menghentikan kejahatannya terhadap kaum muslimin, atau diharapkan memberi
manfaat dalam melindungi kaum muslimin atau menolong mereka terhadap musuh.
Mereka terbagi ke dalam tiga golongan (lihat tafsir Al-Maraghi karya Ahmad
Mustofa Al-Maraghi, h. 243).
5.
Hamba sahaya : Ahmad dan
Bukhari meriwayatkan dari Barra' bin 'Azib : telah seorang lelaki kepada
Rasulullah saw. Dia berkata, "Tunjukkan kepada saya, perbuatan apakah yang
dapat mendekatkan saya ke surga dan menjauhkan saya dari neraka." Beliau
bersabda, "Merdekakan ('itqun) budak dan bebaskan (fakkun) budak."
Dia bertanya, "Bukankah keduanya sama?" Beliau menjawab, "Tidak
: memerdekakan budak berarti kamu sendiri memerdekakannya, sedangkan
membebaskan budak berarti kamu membantu harganya untuk dia memerdekakan
dirinya."
6.
Gharim : orang-orang yang
mempunyai hutang yang menjerat lehernya, dan tidak mampu membayarnya.
7.
Sabilillah : Jalan Allah
adalah jalan yang menuju keridlaan dan pahala-Nya. Yang dimaksud ialah
orang-orang yang berperang dan mempersapkan dirinya untuk berjihad.
Diriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa dia menjadikan perjalanan ibadah haji
termasuk jalan allah. Termasuk dalam hal ini ialah seluruh kebaikan, seperti
mengkafani orang mati, membangun jembatan dan benteng, memakmurkan masjid dan
lain sebagainya.
8.
Ibnus Sabil : orang yang
jauh dari negerinya dalam suatu perjalanan, dan sulit baginya untuk memperoleh
sebagian hartanya jika dia mempunyai harta. Dia kaya di negerinya, tetapi faqir
di perjalanannya. Maka, karena kekafirannya yang baru muncul itu, dia diberi
sedekah sekedar dapat menolong dia untuk kembali kenegerinya.[7]
Sabab
Nuzul :
QS. At-Taubah:
103
"Ambillah zakat dari
sebagiam harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka, dan mendoakan untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi
ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui."(QS. Al-Taubah: 103)
Penafsiran
kata :
As-Sadaqah
: apa yang dinafkahkan oleh orang mukmin dengan maksudmendekatkan diri
kepada Allah.
At-Tazkiyah
: adalah dari kata rajulun zakiy, artinya orang yang kebaikan dan keutamaannya
lebih. Kata-kata ini terdapat dalam Al-Asas.
As-Sakan
: sesuatu yang jiwa merasa tenteram dan sengan kepadanya. Yaitu, keluarga,
harta, kesenangan, doa dan pujian.
As-Shalah
: Do'a.[8]
Penjelasan
:
Ambillah
Sedekah Untuk Mensucikan dan Membersihkan Mereka.
Ambillah hai
Rasul dari harta yang diserahkan oleh orang-orang yang tidak ikut perang itu.
Juga dari harta orang mukmin lainnya, dari berbagai jenis harta, berupa emas,
perak, binatang ternak atau harta dagangan, sebagai sedekah dengan ukuran
tertentu dalam zakat fardlu, atau ukuran tidak tertentu dalam zakat sunnah,
yang dengan sedekah itu kamu membersihkan mereka dari kotoran kebakhilan,
tamak, dan sifat yang kasar terhadap orang-orang kafir yang sengsara. Dengan
sedekah itu pula, kamu mensucikan jiwa mereka dan mengangkat jiwa mereka ke
derajat orang-orang yang baik dengan melakukan kebajikan, sehinga mereka patut
mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Di dalam firman Allah, "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka." (al-Taubah: 103).
Setiap orang merdeka yang memiliki harta dengan sepenuhnya, ada zakat di
dalamnya.[9]
Sabab
nuzul :
Ibnu Jarir meriwayatkan, bahwa Abu Lubabah dan kawan-kawannya yang tidak
ikut berperang, lalu bertaubat, mereka dating kepada Rasulullah saw. Ketika
dibebaskan, lalu berkata : "Ya Rasulullah, inilah harta kami,
sedekahkanlah dari kami dan mohonkanlah ampun untuk kami". Maka Rasul
menjawab : "Saya tidak diperintah untuk mengambil sedikit pun dari harta
kalian." Oleh karena itu Allah menurunkan ayat di atas. Maka, setelah
turun ayat ini, Rasulullah mengambil sepertiga dari harta mereka, lalu beliau
sedekahkan dari mereaka.
Sekalipun sebab turunnya ayat ini bersifat khusus, namun nash tentang
pengambilan harta pada ayat ini bersifat umum, mencakup para khalifah rasul
setelah wafat Beliau, dan para pemimpin kaum muslimin setelah wafatnya para
khalifah. Juga mencakup secara umum tentang orang-orang yang diambil hartanya,
yaitu kaum muslimin yang kaya.[10]
Faidah
Sedekah Dalam Membangun Masyarakat Islam
Sedekah dapat mengikis sifat-sifat kikir, kotoran-kotoran kebatilan,
egois, tamak, dan rakus dalam jiwa seseorang, bahkan dapat menghindarkan mereka
dari memakan harta orang lain secara
batil baik lewat pengkhianatan, pencurian, perampasan, korupsi, riba atau cara
lainnya yang tidak dibenarkan oleh syara'. Dan apabila masyarakat telah bersih
dan suci berkat ilmu dan taqwa yang merupakan buah keimanan, maka akan bersih
pula jama'ah kaum muslimin dari kotoran-kotoran kerendahan social yaitu kotoran
yang bisa mengundang kedengkian, pelanggaran hak-hak orang lain, penganiayaan,
permusuhan, fitnah, serta peperangan. Oleh karena harta telah menjadi life's
balance (keseimbangan kehidupan), baik indifidu maupun masyarakat, maka
harta pun bisa memicu perebutan dan pertengkaran. Dan itulah sebabnya agama
mewajibkan kepada para pemilik harta supaya menafkahkan dan mengeluarkan
sedekah sehingga kekayaan mampu menjadi medium of peace (sarana
perdamaian), bukan lagi menjadi ajang pertengkaran.
QS. Al-An'am:
141
Dan dialah yang menjadikan
kebun-kebun yang berjunjung dan tidak berjunjung, pohon korma, tanaman-tanaman
yang bermacam-macam, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan
tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia
berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan
kepada faqir miskin), dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai yang berlebih-lebihan. (QS. Al-An'am: 141).[11]
Penafsiran
kata :
Al-Insya'
: mengadakan makhluk hidup dan mengasuhnya. Juga mengadakan segala sesuatu
yang menjadi sempurna secara berangsur-angsur. Seperti mengadakan awan,
perkampungan, dan rambut.
Al-Jannat
: taman-taman dan kebun anggur yang lebat pohonnya, karena kebun seperti
itu menutupi tanah di bawahnya dan membuatnya tidak kelihatan.
Al-Ma'rusyat
: tanaman-tanaman yang dicagak pada tiang-tiang penyangga. Yaitu
junjungan-unjungan yang dibuat dari kayu dan bambu, yang di atasnya diletakkan
batang tanaman-tanaman itu hingga seperti atap rumah.
Gairul
Ma'rusyat : tanaman yang batangnya tidak diletakkkan di atas junjungan.
Maksudnya, bahwa kebun itu ada dua macam. Yaitu kebun-kebun yang memakai
junjungan-junjungan, seperti pohon anggur dan kebun yang tidak memakai
junjungan, kebun-kebun yang berisi bermacam-macam pohon yang batangnya tumbuh
lurus, tidak merambat ke pohion lainnya.
Al-Ukul :
(huruf hamzah dan memakai dhammah): sesuatu yang dimakan.
Mutasyabihan
: serupa warna, bentuk, dan rasanya jika dilihatdengan mata.
Gaira
Mutasyabih : tidak sama rasanya.[12]
Penjelasan
:
Pohon kurma sekalipun sebagian dari kebun yang tidakl berjunjung, namun
di sini disebutkan secara tersendiri, karena mempunyai multi fungsi, terutama
bagi bangsa Arab. Kurma mempunyai keistimewaan yang melebihi anggur dan
merupakan pohon yang paling mirip dengannya.
Sedang Az-Zara ialah tanaman yang tumbuh ditanam manusia,
mencakup segala tumbuhan yang ditanam, khususnya yang menajdi makanan pokok.
Serperti gandum dan kedelai. Jenis-jenis tumbuhan ini telah disebutkan secara
berturut-turut, dari yang paling rendah kedudukannya sebagai makanan biasa dan
makanan pokokmanusia, sampai kepada yang paling tinggi dan umum, karena
biji-bijian merupakan tumbuhan yang menjadi bahan pokok, sebagai makanan yang
menyenangkan.
Sabab
nuzul :
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa orang-orang yang
menghambur-hamburkan hasil panen serta hidup berfoya-foya, tetapi tidak
mengeluarkan zakatnya. Maka turunlah ayat ini (QS. 6 al-An'am: 141) sebagai
perintah untuk mengeluarkan zakat pada hari panennya (diriwayatkan oleh Ibnu
Jarir yang bersumber dari Abul 'Aliyah).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ayat ini (QS. 6 al-An'am: 141)
turun berkenaan dengan Tsabit bin Qais bin Syammas yang menuai buah kurma,
kemudian berpesta pora, sehingga pada petang harinya tak sebiji pun buah kurma
tersisa di rumahnya (diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu
Juraij).[13]
QS.
Al-Baqarah: 267
"Hai orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kalian yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang keluarkan dari bumi untuk kalian, dan
janganlah kalian memilih yang buruk-buruk lalu kalian nafkahkan daripadanya, padahal
kalian sendiri tidak mau mengambilnya kecuali dengan memicingkan mata
terhadapnya. Ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya, Maha terpuji." {QS. Al-Baqarah:
267).
Penafsiran
kata :
Anfiqu :
kata infaq berasala dari akar kata nafaqa-yanfuqu-nafaqan-nifaqan,
yang artinya "berlalu", "habis", "laris",
"ramai". Kalimat nafaqa asy-syai'u artinya sesuatu itu habis,
baik habis karena dijual, mati, atau karena dibelanjakan. Kalimat nafaqa
al-bai'u nafaqan artinya dagangan itu habis karena laris terjual. Infaq
yang berarti "menghabiskan" atau "membelanjakan" dapat
berkenaan dengan harta atau lainnya, dan status hukumnya bisa wajib dan bisa
sunat.
Thayyibat
: terambil dari kata thayyib yang artinya baik dan disenangi
(disukai); lawannya adalah khabis yang berarti buruk dan dibenci.
Wa la
tayammamu : artinya, janganlah kamu bermaksud, menuju, menghendaki.
Taghmidlu
: artinya meremehkan, memicingkan mata. Perkataan Aghmidl (remehkan,
picingkan matamu) kepada si penjual, artinya "janganlah kamu
selidiki/teliti seakan-akan kamu tidak melihat."[14]
Makna
Global
Pada ayat (QS. Al-Baqarah: 267) ini Allah menjelaskan pedoman yang harus
diperhatikan berkaitan dengan kualitas
harta yang akan diinfakkan, yaitu bahwa harta tersebut hendaknya merupakan
harta terbaik dan paling dicintai, sehingga dengan demikian pedoman tentang
infak dan penggunaan kekayaan pada jalan Allah menjadi lengkap dan sempurna.[15]
Penjelasan
Allah
mengaitkan hasil usaha kepada mereka, meskipun dia yang menciptakan perbuatan
mereka, karena hasil itu merupakan perbuatan mereka. Sedangkann yang
mengeluarkan hasil bumi disandarkan kepada Allah, karena hal itu bukan
perbuatanmereka dan juga di luar kesanggupan mereka.
Kemudian
Allah berfirman, "Janganlah kalian memilih yang buruk-buruk lalu kalian
nafkahkan daripadanya". Allah melarang menafkahkan hasil usaha yang
buruk-buruk secara sengaja. Kemudian firmannya, "Padahal kalian sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata
terhadapnya". Artinya , sekiranya mempunyai hak untuk menerima hasil
yang buruk itu, lalu ia diberikan kepada kalian, tentulah kalian tidak mau
menerimanya meskipun ada hak terhadapnya, kecuali kalian harus mempertimbangkan
tenggang rasa untuk mengambilnya dan meminta keringanan dalam masalah ini.[16]
Sabab
nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa turunnya ayat tersebut di atas
(QS. Al-Baqarah: 267) berkenaan dengan kaum Anshar yang mempunyai kebun kurma. Ada yang mengeluarkan
zakatnya sesuai dengan penghasilannya, tetapi ada juga yang tidak suka berbuat
baik. Mereka (yang tidak suka berbuat baik) ini menyerahkan kurma yang
berkualitas rendah dan busuk. Ayat tersebut di atas sebagai teguran atas
perbuatan mereka. (diriwayatkan oleh al-Hakim, at-Tirmidzy, Ibnu Majah, dan
lain-lain yang bersumber dari al-Barra'.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ada orang-orang yang memilih kurma
yang jelek untuk dizakatkan. Maka turunlah ayat tersebut di atas (QS.
Al-Baqarah: 267) sebagai teguran atas perbuatan mereka. (diriwayatkan oleh Abu
Dawud, an-Nasa'I, dan al-Hakim, yang bersumber dari Sahl bin Hanif).[17]
QS.
Al-Baqarah: 271
"Jika kamu
menampakkan sedekah (mu), maka itu adal;ah baik sekali. Dan jika kamu
menyembunyikannya dan kamu berikankepada orang-orang fakir, maka
menyembuhnyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu
sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan."(QS. Al-Baqarah: 271).
Makna
Global
Di dalam ayat yang lalu, Allah mengemukakan bahwa Dia Maha Mengetahui
terhadap apa yang kalian infaqkan. Allah kelak akan membalasnya. Apabila baik,
maka balasannya adalah baik; dan jika jelek, maka balasannya pun jelek.
Kemudian, di
dalam ayat ini Allah menjelaskan tentang cara memberikan sedekah tersebut, yang
tentu saja ada yang diberikan secara sembunyi, dan ada yang diberikan secara
terang-terangan, dan mana yang paling utama dari keduanya.
Penjelasan
:
Allah menggambarkan bahwa memberikan infaq kepada fakir miskin secara
sembunyi-sembunyi, lebih baik bagi pelakunya daripada menampakkannya.
Pembatasan yang ditetapkan Allah untuk merahasiakan pemberian kepada fakir
miskin secara khusus, dan Allah tidak mengatakan, "jika kalian
menyembunyikannya, maka hal itu lebih baik bagi kalian". Sebab di antara
shadaqah ada yang tak mungikin disembunyikan, seperti menyediakan perlengkapan
pasukan perang, membangun jembatan, dan lain sebagainya. Tapi ketika
memberikannya kepada fakir miskin, maka ada beberapa manfaatnya untuk menyembnyikannya,
seperti menutupi aibnya, tidak membuatnya malu di hadapan manusia, dan
sebagainya.[18]
Dan apabila kalian menampakkan sedekah secara terang-terangan, maka
sebaik-baiknya amal itu adalah yang terang-terangan. Sebab, hal ini merupakan
panutan yang baik bagi lainnya.
Di samping
itu, sedekah merupakan salah satu syi'ar agama Islam. Seandainya disembunyikan,
maka ada sebagian orang yang menduga, bahwa mengeluarkan sedekah secara
terang-terangan adalah dilarang di dalam Islam.
Sedekah
secara sembunyi lebih utama
Apabila kita memberikan sedekah tersebut kepada kaum fakir miskin secara
sembunyi, maka hal itu akan lebih utama, karena terjauh dari perasan riya'.
Dalam hal ini, banyak sekali hadis dan asar yang mendukung amal seperti ini.
Imam Ahmad
meriwayatkan hadis dari Abu Umamah, bahwa Abu Zar pernah menanyakan kepada Nabi
saw. "Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang lebih utama?" jawab Nabi,
"sedekah siri (sembunyi) kepada kaum fakir, atau sedekah yang dihasilkan
dengan susah payah, oleh orang yang hidupnya kekurangan". Selanjutnya,
Nabi membacakan ayat ini.
Jumhur ulama' mengatakan, "bahwa letak keutamaan menginfakkan harta
secara sirri disbanding terang-terangan, hanyalah pada sedekah sunnah, bukan
pada sedekah wajib (zakat). Menampakkkan sedekah wajib itu lebih utama, karena
dengan demikian, tampaklah syi'ar-syi'ar agama. Mereka juga menambahkan,
"sesungguhnya menampakkan amal itu lebih baik bagi orang yang berniat agar
ditiru oleh orang banyak, meski yang dilakukan adalah sedekah sunnah."[19]
Sabab
Nuzul
Ayat ini diturunkan sehubungan dengan Abi baker dan Umar bin Khathab.
Pada suatu ketika Umar bin Khathab menyedekahkan separuh dari harta kekayaannya
kepada Rasulullah saw untuk kepentingan agama. Rasulullah saw bersabda:
"Tidaklah engkau memikirkan anak turun dan keluarga yang ada di
belakangmu, wahai Umar". Jawab Umar, "aku sediakan buat mereka
separuh dari harta kekayaanku". Sedangkan Abu Bakar Shiddiq secara
diam-diam telah menyerahkan seluruh harta kekayaannya kepada Rasulullah saw
untuk kepentingan agama. Rasulullah saw bersabda kepadanya: "Wahai Abu
Bakar, tidakkah kamu memikirkan keluarga dan anak turun yang di
belakangmu". Jawab Abu Bakar: "Yang akan mencukupi keluargaku adalah
Allah dan Rasulullah". Mendengar jawaban yang seperti itu Umar bin Khathab
menagis seraya berkata: "Demi Allah – tebusanmu adalah ayah adan ibuku –
setiap aku berniat membuat kebajikan selalu saja kamu tandingi, wahai Abu
Bakar". Ayat ini pada dasarnya memuji sikap Umar bin Khathab yang
menyedekahkan harta kekayaannya dengan terang-terangan dengan maksud agar
dicontoh orang lain, dan kepada Abu Bakar yang menyedekahkan hartanya secara
rahasia. Kedua perbuatan ini adalah sangat baik, yang patut diikuti oleh setiap
muslim. (HR. Ibnu Hatim dari ayahnya dari Husain bin Ziyad al-Muharibi dari
Musa bin Umair dari Amir asy-Sya'bi).[20]
Munasabah
ayat
Di dalam surat
al-Taubah: 60, Allah menjelaskan tentang orang-orang yang berhak menerima zakat
yakni ada delapan asnaf. Agar kenikmatan dan kekayaan duniawi ini juga
bisa dirasakan oleh faqir miskin, maka Allah memrintahkan untuk mengambil zakat
dari sebagian harta untuk diberikan kepada yang berhak, sebagaimana dijelaskan
dalam surat
al-Taubah: 103. Karena dengan zakat itu bisa mengikis sifat-sifat kotor
seperti; bakhil, tamak, berlaku tak senonoh terhadap orang-orang faqir, dan
juga perintah mendoakan kepada orang yang mengeluarkan zakat.
Allah menjadikan kebun-kebun, di situ tumbuh tanaman-tanaman yang
bermacam-macam. Dari tanaman-tanaman itu agar kita bisa menikmati buahnya, dan
menunaikan haknya ketika sudah panen kepada orang-orang yang berhak menerima
zakat. Kita tidak boleh berlebih-lebihan meskipun kaya, mempunyai kebun yang luas, sawah, ladang
yang ditanamai berbagai macam tanaman, karena di situ terdapat hak bagi faqir
miskin. Dan sesunguhnya Allah tidak menyukai yang berlebih-lebihan, sebagaimana
dijelaskan dalam surat
al-An'am: 141.
Ketika kita bersedekah dari hasil-hasil usaha, agar tidak memilih yang
buruk-buruk untuk dinfkakkan, padahal kita sendiri tidak mau mengambilnya. Maka
Allah menegaskan kembali seperti dalam sural al-Baqarah ayat 267, agar kita
menginfakkan yang baik-bak sehingga yang menerima bisa senang hati. Masalah
menampakkan atau menyembunyikan sedekah, itu bukan menjadi permasalahan karena
keduanya itu sama-sama baik, ini disinggung dalam surat al-Baqarah ayat: 271, meskipun itu
sedekah sunnat dengan niatan agar bisa dibudayakan. Tidak hanya itu, dengan
sedekah Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahan kita.
Kesimpulan
:
Zakat
adalah salah satu ibadah pokok dan termasuk salah satu rukun Islam dan hukumnya
fardlu 'ain dalam arti kewajiban yang ditetapkan untuk diri pribadi dan tidak
mungkin dibebankan kepada orang lain.
Zakat itu
ada dua macam. Pertama zakat mal (zakat harta) dan kedua
zakat diri yang dikeluarkan setiap akhir Ramadlan yang disebut juga zakat
fitrah.
Perintah
Allah untuk berzakat itu disamping menggunakan lafadz zaka juga
menggunakan kata lain, yaitu : anfaqa (al-Baqarah: 267), shadaqa
(al-Taubah: 60), dan atu haqqahu
(al-An'am: 141), ketiga lafadz tersebut mengandung
arti zakat.
Faidah
Sedekah Dalam Membangun Masyarakat Islam
Sedekah dapat mengikis sifat-sifat kikir, kotoran-kotoran kebatilan,
egois, tamak, dan rakus dalam jiwa seseorang, bahkan dapat menghindarkan mereka
dari memakan harta orang lain secara batil baik lewat pengkhianatan, pencurian,
perampasan, korupsi, riba atau cara lainnya yang tidak dibenarkan oleh syara'.
Oleh karena harta telah menjadi life's balance (keseimbangan kehidupan),
baik indifidu maupun masyarakat, maka harta pun bisa memicu perebutan dan
pertengkaran. Dan itulah sebabnya agama mewajibkan kepada para pemilik harta
supaya menafkahkan dan mengeluarkan sedekah sehingga kekayaan mampu menjadi medium
of peace (sarana perdamaian), bukan lagi menjadi ajang pertengkaran.
Daftar
Pustaka :
·
Al-Jaziri, Abdurrahman. Fiqih Madzahibul Arba'ah.
Kairo: Darul Hadis, 1994
·
Al-Maraghi, Mustofa Ahmad. Tafsir Al-Maraghi. Semarang : CV. Toha Putra,
1992.
·
Amin Suma, Muhammad. Tafsir Ahkam: Tafsir Ayat-Ayat
Pilihan. Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997.
·
Dahlan, H.A.A dkk. Asbabun Nuzul: Latar Belakang
Historis Turunnya Ayat-Ayat Al-Qur'an. Bandung : CV. Penerbit Diponegoro, 2006..
·
Depag. Al-Qur'an dan Tafsir. YPPA, 1979.
·
Mujib Mahali, A.Mujib. Asbabun Nuzul: Studi
Pendalaman al-Qur'an. Jakarta :
CV. Rajawali, 1989.
·
Shihab, Quraisy. "Membumikan "Al-Qur'an:
Fungsi dan peran wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung : Mizan, 1993.
·
Suhardi, Kathur. Tafrir
Ibnu Qayyim. Darul Falah: Jatim: Darul Falah, 2000.
·
Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta : Prenada Media,
2003.
·
Syafi'I, Imam. Hukum al-Qur'an: Asy-Syafi'I dan
Ijtihadnya. Surabaya : PT. Bengkulu Indah, 1994. 121.