Subscribe:

Mari Membaca

Ads 468x60px

Social Icons

Minggu, 01 Maret 2009

AHMADIYAH QODYAN

AHMADIYAH
Ahmadiyah, adalah Jamaah Muslim yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889 di satu desa kecil yang bernama Qadian, Punjab, India. Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Mujaddid, al Masih dan al Mahdi. [1]
Jemaat Ahmadiyah Indonesia adalah bagian dari Jamaah Muslim Ahmadiyah Internasional. Di Indonesia, organisasi ini telah berbadan hukum dari Menteri Kehakiman Republik Indonesia sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953) [2].
Atas nama Pemerintah Indonesia, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung pada tanggal 9 Juni 2008 telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama, yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam.[3]
Tujuan pendirian
Menurut pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad, misi Ahmadiyah adalah untuk menghidupkan Islam dan menegakkan Syariah Islam. Tujuan didirikan Jemaat Ahmadiyah menurut pendirinya tersebut adalah untuk meremajakan moral Islam dan nilai-nilai spiritual. Ahmadiyah bukanlah sebuah agama baru namun merupakan bagian dari Islam. Para pengikut Ahmadiyah mengamalkan Rukun Iman yang enam dan Rukun Islam yang lima. Gerakan Ahmadiyah mendorong dialog antar agama dan senantiasa membela Islam serta berusaha untuk memperbaiki kesalah-pahaman mengenai Islam di dunia Barat. Gerakan ini menganjurkan perdamaian, toleransi, kasih dan saling pengertian diantara para pengikut agama yang berbeda; dan sebenar-benarnya percaya dan bertindak berdasarkan ajaran al Quran : "Tidak ada paksaan dalam agama" (2:257) serta menolak kekerasan dan teror dalam bentuk apapun untuk alasan apapun. [4]
Jemaat Muslim Ahmadiyah adalah satu organisasi keagamaan Internasional yang telah tersebar ke lebih dari 185 negara di dunia[5]. Pergerakan Jemaat Ahmadiyah dalam Islam adalah suatu organisasi keagamaan dengan ruang lingkup internasional yang memiliki cabang di 174 negara tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia dan Eropa. Saat ini jumlah keanggotaannya di seluruh dunia lebih dari 150 juta orang. [6] Jemaat Ahmadiyah Internasional juga telah menerjemahkan al Quran ke dalam bahasa-bahasa besar di dunia dan sedang merampungkan penerjemahan al Quran ke dalam 100 bahasa di dunia. Sedangkan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia telah menerjemahkan al Quran dalam bahasa Indonesia, Sunda, dan Jawa.
Ahmadiyah Qadian dan Lahore
Terdapat dua kelompok Ahmadiyah. Keduanya sama-sama mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa al Masih yang telah dijanjikan Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dua kelompok tersebut memiliki perbedaan prinsip:
1. Ahmadiyah Qadian, di Indonesia dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Bogor[7]), yakni kelompok yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid (pembaharu) dan seorang nabi.
2. Ahmadiyah Lahore, di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Yogyakarta). Secara umum kelompok ini tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan hanya sekedar mujaddid dari ajaran Islam [8].
Sejarah penyebaran di Indonesia
Ahmadiyah Qadian
Tiga pemuda dari Sumatera Tawalib yakni sauatu pesantren di Sumatera Barat meninggalkan negerinya untuk menuntut Ilmu. Mereka adalah (alm) Abubakar Ayyub, (alm) Ahmad Nuruddin, dan (alm) Zaini Dahlan. Awalnya meraka akan berangkat ke Mesir, karena saat itu Kairo terkenal sebagai Pusat Studi Islam. Namun Guru mereka menyarankan agar pergi ke India karena negara tersebut mulai menjadi pusat pemikiran Modernisasi Islam. Sampailah ketiga pemuda Indonesia itu di Kota Lahore dan bertemu dengan Anjuman Isyaati Islam atau dikenal dengan nama Ahmadiyah Lahore. Setelah beberapa waktu disana, merekapun ingin melihat sumber dan pusat Ahmadiyah yang ada di desa Qadian. Dan setelah mendapatkan penjelasan dan keterangan, akhirnya mereka Bai'at di tangan Hadhrat Khalifatul Masih II r.a., Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad r.a. Kemudian tiga pemuda itu memutuskan untuk belajar di Madrasah Ahmadiyah yang kini disebut Jamiah Ahmadiyah. Merasa puas dengan pengajaran disana, Mereka mengundang rekan-rekan pelajar di Sumatera Tawalib untuk belajar di Qadian. Tidak lama kemudian duapuluh tiga orang pemuda Indonesia dari Sumatera Tawalib bergabung dengan ketiga pemuda Indonesia yang terdahulu, untuk melanjutkan studi juga baiat masuk ke dalam Jemaat Ahmadiyah. Dua tahun setelah peristiwa itu, para pelajar Indonesia menginginkan agar Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. berkunjung ke Indonesia. Hal ini disampaikan (alm) Haji Mahmud - juru bicara para pelajar Indonesia dalam Bahasa Arab. Respon positif terlontar dari Hadhrat Khalifatul Masih II r.a.. Beliau meyakinkan bahwa meskipun beliau sendiri tidak dapat mengunjungi Indonesia, beliau akan mengirim wakil beliau ke Indonesia. Kemudian, (alm) Maulana Rahmat Ali HAOT dikirim sebagai muballigh ke Indonesia sebagai pemenuhannya. Tanggal 17 Agustus 1925, Maulana Rahmat Ali HAOT dilepas Hadhrat Khalifatul Masih II r.a berangkat dari Qadian. Tepatnya tanggal 2 Oktober 1925 sampailah Maulana Rahmat Ali HAOT di Tapaktuan, Aceh. Kemudian berangkat menuju Padang, Sumatera Barat. Banyak kaum intelek dan orang orang biasa menggabungkan diri dengan Ahmadiyah. Pada tahun 1926, Disana, Jemaat Ahmadiyah mulai resmi berdiri sebagai organisasi.[10] Tak beberapa lama, Maulana Rahmat Ali HAOT berangkat ke Jakarta, ibukota Indonesia. Perkembangan Ahmadiyah tumbuh semakin cepat, hingga dibentuklah Pengurus Besar (PB) Jemaat Ahmadiyah dengan (alm) R. Muhyiddin sebagai Ketua pertamanya. Terjadilah Proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Di dalam meraih kemerdekaan itu tidak sedikit para Ahmadi Indonesia yang ikut berjuang dan meraih kemerdekaan. Misalnya (alm) R. Muhyiddin. Beliau dibunuh oleh tentara Belanda pada tahun 1946 karena beliau merupakan salah satu tokoh penting kemerdekaan Indonesia. Juga ada beberapa Ahmadi yang bertugas sebagai prajurit di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan mengorbankan diri mereka untuk negara. Sementara para Ahmadi yang lain berperan di bidang masing-masing untuk kemerdekaan Indonesia, seperti (alm) Mln. Abdul Wahid dan (alm) Mln. Ahmad Nuruddin berjuang sebagai penyiar radio, menyampaikan pesan kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia. Sementara itu, muballigh yang lain (alm) Mln. Sayyid Syah Muhammad merupakan salah satu tokoh penting sehingga Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia, di kemudian hari menganugerahkan gelar veteran kepada beliau untuk dedikasi beliau kepada negara. Di tahun lima puluhan, Jemaat Ahmadiyah Indonesia mendapatkan legalitas menjadi satu Organisasi keormasan di Indonesia. Yakni dengan dikeluarkannya Badan Hukum oleh Menteri Kehakiman RI No. JA. 5/23/13 tertanggal 13-3-1953. Ahmadiyah tidak pernah berpolitik, meskipun ketegangan politik di Indonesia pada tahun 1960-an sangat tinggi. Pergulatan politik ujung-ujungnya membawa kejatuhan Presiden pertama Indonesia, Soekarno, juga memakan banyak korban. Satu lambang era baru di Indonesia pada masa itu adalah gugurnya mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim, yang tidak lain melainkan seorang khadim Ahmadiyah. Dia terbunuh di tengah ketegangan politik masa itu dan menjadi simbol bagi era baru pada masa itu. Oleh karena itu iapun diberikan penghargaan sebagai salah satu Pahlawan Ampera. Di Era 70-an, melalui Rabithah Alam al Islami semakin menjadi-jadi di awal 1970-an, para ulama Indonesia mengikuti langkah mereka. Maka ketika Rabithah Alam al Islami menyatakan Ahmadiyah sebagai non muslim pada tahun 1974, hingga MUI memberikan fatwa sesat terhadap Ahmadiyah. Sebagai akibatnya, Banyak mesjid Ahmadiyah yang dirubuhkan oleh massa yang dipimpin oleh ulama. Selain itu, banyak Ahmadi yang menderita serangan secara fisik. Periode 90-an menjadi periode pesat perkembangan Ahmadiyah di Indonesia bersamaan dengan diluncurkannya Moslem Television Ahmadiyya (MTA). Ketika Pengungsi Timor Timur yang membanjiri wilayah Indonesia setelah jajak pendapat dan menyatakan bahwa Timor Timur ingin lepas dari Indonesia, hal ini memberikan kesempatan kepada Majelis Khuddamul Ahmadiyah Indonesia untuk mengirimkan tim Khidmat Khalq untuk berkhidmat secara terbuka. Ketika Tahun 2000, tibalah Hadhrat Mirza Tahir Ahmad ke Indonesia datang dari London menuju Indonesia. Ketika itu beliau sempat bertemu dan mendapat sambuatan baik dari Presiden Republik Indonesia, Abdurahman Wahid dan Ketua MPR, Amin Rais. [11]
Ahmadiyah Lahore
Tahun 1924 dua pendakwah Ahmadiyah Lahore Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad, datang ke Yogyakarta. Minhadjurrahman Djojosoegito, seorang sekretaris di organisasi Muhammadiyah, mengundang Mirza dan Maulana untuk berpidato dalam Muktamar ke-13 Muhammadiyah, dan menyebut Ahmadiyah sebagai "Organisasi Saudara Muhammadiyah". [12]
Pada tahun 1926, Haji Rasul mendebat Mirza Wali Ahmad Baig, dan selanjutnya pengajaran paham Ahmadiyah dalam lingkup Muhammadiyah dilarang. Pada Muktamar Muhammadiyah 18 di Solo tahun 1929, dikeluarkanlah pernyataan bahwa "orang yang percaya akan Nabi sesudah Muhammad adalah kafir". Djojosoegito yang diberhentikan dari Muhammadiyah, lalu membentuk dan menjadi ketua pertama dari Gerakan Ahmadiyah Indonesia, yang resmi berdiri 4 April 1930.[12]
Status di Berbagai Negara
Pakistan
Di Pakistan, parlemen telah mendeklarasikan pengikut Ahmadiyah sebagai non-muslim. Pada tahun 1974, pemerintah Pakistan merevisi konstitusinya tentang definisi Muslim, yaitu "orang yang meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir.[13] Penganut Ahmadiyah, baik Qadian maupun Lahore, dibolehkah menjalankan kepercayaannya di Pakistan, namun harus mengaku sebagai agama tersendiri di luar Islam.[14]
Indonesia
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat semenjak tahun 1980 [15], lalu ditegaskan kembali pada fatwa MUI yang dikeluarkan tahun 2005. [16]
Malaysia
Di Malaysia Ahmadiyah telah lama dilarang.[17]
Brunei Darussalam
Sebagaimana di Malaysia, di Brunei Darussalam pun status terlarang ditetapkan untuk Ahmadiyah.[18]
Kontroversi ajaran Ahmadiyah
Menurut sudut pandang umum umat Islam, ajaran Ahmadiyah (Qadian) dianggap melenceng dari ajaran Islam sebenarnya karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi yaitu Isa al Masih dan Imam Mahdi, hal yang bertentangan dengan pandangan umumnya kaum muslim yang mempercayai Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir walaupun masih menunggu kedatangan Isa al Masih dan Imam Mahdi [19].
Perbedaan Ahmadiyah dengan kaum Muslim pada umumnya adalah karena Ahmadiyah menganggap bahwa Isa al Masih dan Imam Mahdi telah datang ke dunia ini seperti yang telah dinubuwwatkan Nabi Muhammad SAW. Namun umat Islam pada umumnya mempercayai bahwa Isa al Masih dan Imam Mahdi belum turun ke dunia. Sedangkan permasalahan-permasalahan selain itu adalah perbedaan penafsiran ayat-ayat al Quran saja.[rujukan?]
Ahmadiyah sering dikait-kaitkan dengan adanya kitab Tazkirah. Sebenarnya kitab tersebut bukanlah satu kitab suci bagi warga Ahmadiyah, namun hanya merupakan satu buku yang berisi kumpulan pengalaman ruhani pendiri Jemaat Ahmadiyah, layaknya diary. Tidak semua anggota Ahmadiyah memilikinya, karena yang digunakan sebagai pegangan dan pedoman hidup adalah Al Quran-ul-Karim saja. [20]
Ada pula yang menyebutkan bahwa Kota suci Jemaat Ahmadiyah adalah Qadian dan Rabwah. Namun tidak demikian adanya, kota suci Jemaat Ahmadiyah adalah sama dengan kota suci umat Islam lainnya, yakni Mekkah dan Madinah.[21]
Sedangkan Ahmadiyah Lahore mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah mujaddid dan tidak disetarakan dengan posisi nabi, sesuai keterangan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Lahore) untuk Indonesia yang berpusat di Yogyakarta.
Ahmadiyah menurut pengikutnya
Pada tahun 1835, di sebuah desa bernama Qadian, di daerah Punjab, India, lahir seorang anak laki-laki bernama Ghulam Ahmad yang kemudian diagungkan sebagai seorang mujaddid dari zaman ini oleh para pendukungnya. Orang tuanya Muslim dan ia tumbuh dewasa menjadi seorang Muslim yang luar biasa. Sejak awal kehidupannya, Mirza Ghulam Ahmad sudah amat tertarik pada telaah dan khidmat agama Islam. Ia sering bertemu dengan individual Kristiani, Hindu ataupun Sikh dalam perdebatan publik, serta menulis dan bicara tentang mereka. Hal ini menjadikan lingkungan keagamaan menjadi tertarik kepadanya dan ia dikenal baik oleh para pimpinan komunitas. Mirza Ghulam Ahmad mulai menerima wahyu Ilahi sejak usia muda dan dengan berjalannya waktu maka pengalaman perwahyuannya berlipat kali secara progresif. Setiap wahyu yang diterimanya kemudian terpenuhi pada saatnya, sebagian di antaranya yang berkaitan dengan masa depan masih menunggu pemenuhannya. Dakwahnya menyatakan diri sebagai Imam Mahdi dan Masih Mau'ud (al Masih) dilakukan di akhir tahun 1890, dan dipublikasikan ke seluruh dunia. Pernyataannya, seperti juga halnya para pembaharu Ilahiah lainnya seperti Nabi Isa dan Nabi Muhammad SAW, langsung mendapat tentangan luas. Sebelum menyatakan dirinya sebagai Masih Mau'ud, Allah SWT telah menjanjikan kepada Mirza Ghulam Ahmad melalui wahyu bahwa:
“ Aku akan membawa pesanmu sampai ke ujung-ujung dunia.
— Mirza Ghulam Ahmad

Wahyu ini memberikan janji akan adanya dukungan Ilahi dalam penyebaran ajaran Jemaat yang telah dimulainya di dalam Islam. Mentaati perintah Tuhan, Mirza Ghulam Ahmad menyatakan diri sebagai Al-Masih bagi umat Kristiani, sebagai Imam Mahdi bagi umat Muslim, sebagai Krishna bagi umat Hindu, dan lain sebagainya. Jelasnya, ia adalah "Nabi Yang Dijanjikan" bagi masing-masing bangsa, dan ditugaskan untuk menyatukan umat manusia di bawah bendera satu agama. Nabi Muhammad SAW sebagai nabi umat Islam adalah seorang nabi yang membawa ajaran yang bersifat universal; dan sosok Mirza Ghulam Ahmad yang menyatakan diri sebagai al Masih yang dijanjikan juga menyatakan dirinya tunduk dan menjadi refleksi dari Muhammad, Khataman Nabiyin. Menjelaskan tentang tujuan diutusnya wujud Masih Mau'ud, ia menjelaskan:
“ Tugas yang diberikan Tuhan kepadaku ialah agar aku dengan cara menghilangkan hambatan di antara hamba dan Khalik-nya, menegakkan kembali di hati manusia, kasih dan pengabdian kepada Allah. Dan dengan memanifestasikan kebenaran lalu mengakhiri semua perselisihan dan perang agama, sebagai fondasi dari kedamaian abadi serta memperkenalkan manusia kepada kebenaran ruhaniah yang telah dilupakannya selama ini. Begitu juga aku akan menunjukkan kepada dunia makna kehidupan keruhanian yang hakiki yang selama ini telah tergeser oleh nafsu duniawi. Dan melalui kehidupanku sendiri, memanifestasikan kekuatan Ilahiah yang sebenarnya dimiliki manusia namun hanya bisa nyata melalui doa dan ibadah. Di atas segalanya adalah aku harus menegakkan kembali Ketauhidan Ilahi yang suci, yang telah sirna dari hati manusia, yang bersih dari segala kekotoran pemikiran polytheistik[22].
— Mirza Ghulam Ahmad

Menyusul MATInya Mirza Ghulam Ahmad pada tahun 1908, para Muslim Ahmadi memilih seorang pengganti sebagai Khalifah. Sosok Khalifah merupakan pimpinan keruhanian dan administratif dari Jemaat Islam Ahmadiyah. Pimpinan tertinggi dari Jemaat Ahmadiyah di seluruh dunia pada saat ini (2007) adalah Hadhrat Mirza Masroor Ahmad yang berkedudukan di London, dan terpilih sebagai Khalifah kelima. Ia banyak berkunjung ke berbagai negara dan cermat mengamati budaya dan masyarakat lainnya.
Dengan bimbingan seorang Khalifah, Jemaat Ahmadiyah berada di barisan terdepan dalam khidmat dan kesejahteraan kemanusiaan. Banyak sekolah-sekolah, klinik dan rumah sakit yang didirikan di berbagai negeri, dimana mereka yang papa dan miskin dirawat secara gratis. Saat terjadi bencana alam, Jemaat Ahmadiyah membantu secara sukarela secara finansial ataupun fisik tanpa membedakan agama, warna kulit atau pun bangsa. Jemaat Ahmadiyah telah memiliki jaringan televisi global yang bernama "MTA (Muslim Television Ahmadiyya) International", yang mengudara dua puluh empat jam sehari dalam beberapa bahasa dunia. Layanan ini diberikan tanpa memungut biaya. Jemaat Ahmadiyah telah menyebar ke lebih dari 170 negara di dunia dan populasinya diperkirakan sudah mencapai 80 juta manusia yang telah berbai'at ke dalam Jemaat pada tahun 2001.

METODOLOGI STUDI ISLAM

METODOLOGI PENELITIAN STUDI AGAMA ISLAM
TINJAUAN SEJARAH ISLAM

A. Penegrtian Sejarah Islam
Kata sejarah dalam bahasa Arab disebut tarikh dan sirah, atau dalam bahasa Inggris disebut history. Dari segi bahasa, al-tarikh berarti ketentuan masa atau waktu, sedang ‘Ilmu Tarikh’ ilmu yang membahas peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian, masa atau tempat terjadinya peristiwa, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut.
Sedangkan menurut pengertian istilah, al-tarikh berarti; ’’sejumlah keadaan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau, dan benar-benar terjadi pada diri individu atau masyarakat, sebagaimana benar-benar terjadi pada kenyataan-kenyataan alam dan manusia’’.
Dalam bahasa Indonesia sejarah berarti: silsilah; asal-usul (keturunan); kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Sedangkan Ilmu Sejarah adalah ’’pengetahuan atau uraian peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau’’.
Dalam bahasa Inggris sejarah disebut history, yang berarti orderly description of past events (uraian secara berurutan tentang kejadian-kejadian masa lampau).
Menurut Ibnu Khaldun, sejarah tidak hanya dipahami sebagai suatu rekaman peristiwa masa lampau, tetapi juga penalaran kritias untuk menemukan kebenaran suatu peristiwa masa lampau. Dengan demikian unsur penting dalam sejarah adalah adanya objek peristiwa (who), adanya batas waktu (when), yaitu masa lampau, adanya pelaku (who), yaitu manusia, tempatnya (where), latar belakangnya (whay), dan daya kritis dari peneliti sejarah.
Dari pengertian demikian kita dapat mengatakan bahwa yang dimaksud sejarah Islam adalah peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang sungguh-sungguh terjadi yang seluruhnya berkaitan dengan agama Islam. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sejarah Islam adalah berbagai peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi, yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam dalam berbagai aspek. Dalam kaitan ini maka muncullah istilah yang sering digunakan untuk sejarah Islam ini, diantaranya Sejarah Islam, Sejarah Peradaban Islam, Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Dalam mempelajari dan mengkaji sejarah Islam (muslim) yang terkandung dalam buku-buku sejarah, maka kita harus mengetahui terlebih dahulu:
a. Apa yang menjadi tujuan penulisan, apakah bentuk sejarah pragmatik ataukah berbentuk filsafat sejarah.
b. Siapa penulis sejarah itu, termasuk bagaimana kecenderungan sikap hidup atau ide poliik yang dianutnya, dan
c. Kapan dia menulis, karena dari situ dapat pula memberi pengaruh apa dan siapa yang telah membuat dia berinterprestasi begitu.

B. Periodisasi Sejarah Islam
Dikalangan ahli sejarah terdapat perbedaan tentang kapan dimulainya sejarah Islam yang telah berusia lebih dari empat belas abad ini. Di satu pihak menyatakan bahwa sejarah Islam (muslim) dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. diangkat sebagai Rasul, dan berada di Makkah atau tiga belas tahun sebelim hijrah ke Madinah. Di lain pihak menyatakan, bahwa sejarah Islam itu dimulai sejak lahirnya negara Madinah yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW. Atau tepatnya setelah Nabi Muhammad SAW. Berhijrah ke Madinah yang sebelumnya bernama Yatsrib.
Timbulnya perbedaan dari kedua belah pihak tersebut disebabkan karena perbedaan tinjauan tentang unit sejarah. Pihak pertama melihat bahwa unit sejarah adalah masyarakat. Masyarakat Muslim telah ada sejak Nabi Muhammad SAW. Menyampaikan seruannya. Malah jumlah mereka sedikit atau banyak tidak menjadi soal. Disamping itu, meskipun mereka belum berdaulat, tetapi sudah terikat dalam satu organisasi yang memiliki corak tersendiri. Sedangkan pihak kedua melihat bahwa niat sejarah itu adalah Negara, sehingga sejarah Islam muai dihitung sejak lahirnya Negara Madinah.
Perbedaan pendapat tersebut akan tercermin pada pembagian periodisasi sejarah (kebudayaan) Islam yang dikemukakan oleh para ahli, terutama dalam hal tahun permulaan sejarah Islam pada periode pertama atau biasa disebut periode klasik, dan bahkan ada yang menyebutkan sebagai periode praklasik guna mengisi babakan sejarah Islam yang belum disebutkan secara tegas dalam periode klasik tersebut.
Hasjimy menyatakan bahwa para ahli sejarah kebudayaan telah membagi sejarah kebudayaan Islam kepada sembilan (9) periode, sesuai dengan perubahan-perubahan politik, ekonomi, dan social dalam masyarakat Islam selama masa-masa itu. Kesembilan periode itu adalah, sebagai berikut:
1. Masa permulaan Islam, yang dimulai sejak lahirannya Islam pada tanggal 17 Ramadhan 12 tahun sebelum hijrah sampai tahun 41 Hijriyah, atau 6 Agustus 610 sampai 661 M;
2. Masa Daulah Amawiyah: dari tahun 41-132 H. ( 661-750 M );
3. Masa Daulah Abbsiyah Islam: dari tahun 132-232 H. ( 750-847 M );
4. Masa Daulah Abbasiyah II: dari tahun 232-334 H. ( 847-946 M );
5. Masa Daulah Abbasiyah III: dari tahun 334-467 H. ( 946-1075 M );
6. Masa Daulah Abbasiyah IV: dari tahun 467-656 H. ( 1075-1261 M );
7. Masa Daulah Mungoliyah: dari tahun 656-925 H. ( 1261-1520 M );
8. Masa Daulah Usmaniyah: dari tahun 925-1213 H. ( 1520-1801 M );
9. Masa Kebangkitan Baru: dari tahun 1213 H. (1801 M ) sampai awal abad 20.
Dari pendapat tersebut dapat dipahami bahwa periode sejarah kebudayaan Islam dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. Diangkat menjadi Rasul, pada tahun 12/13 tahun sebelum hijrah. Hal ini berarti mendukung pendapat pihak pertama sebagaimana uraian terdahulu.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Nourouzzaman as-Shiddiqi yang menyatakan bahwa waktu sekarang ini para sejarawan cenderung mengambil masyarakat sebagai unit sejarah. Jika unit sejarah itu tertumpu pada Negara, maka hal itu mengandung kelemahan. Artinya, batas Negara tidak selalu tetap. Dia telah membagi perjalanan sejarah Islam ke dalam tiga bagian besar beserta cirri-ciri sebagai berikut:
1. Periode klasik, yang dimulai sejak Rasulallah SAW. Menyampaikan seruannya sampai masa runtuhnya Dinasti Abbasiyah pada tahun 656 H/1258 M. Cirinya ialah tanpa menutup mata terhadap adanya dinasti-dinasti kecil, Dinasti Umaiyah Barat yang berkedudukan di Andalusia dan interengum (masa peralihan pemerintahan) Dinasti Fatimah di Mesir, masih ada satu kekuasaan politik yang kuat dan disegani. Dalam periode klasik inilah umat Islam mencapai prestasi-prestasi puncak di bidang kebudayaan.
2. Periode pertengahan yang dimulai sejak runtuhnya Dinasti Abbasiyah sampai abad ke-11 H/17 M. Ciri-cirinya ialah kekuasaan politik terpecah-pecah dan saling bermusuhan. Osmanli Turki, Mamluk Mesir, Umaiyah Barat di Andalusia, Mamluk India, dan berdirinya kerajaan-kerajaan Muslim yang berdaulat sendiri-sendiri.
3. Periode modern, yaitu sejak abad ke-12 H/18 M sampai sekarang. Dalam periode ini umat Islam sudah tidak memiliki kekuatan politik yang disegani. Dinasti Turki Osmanli yang pernah menggedor pintu Wina sudah mendapat julukan The Sick Man of Europa. Bukan saja Turki sudah tidak mampu memperluas wilayah dibagi-bagi antara Inggris, Perancis dan Rusia. Wilayah Turki Barat seperti sepotong kue yang menjadi rebutan antara kekuasaan-kekuasaan besar Barat. Bekas jajahan setiap Negara Barat inilah yang kemudian melahirkan Negara-negara baru setelah Perang Dunia I.

Pembagian periode sejarah Islam ke dalam tiga (3) periode tersebut memang merupakan pembagian secara garis besar. Bila dikaitkan dengan pendapat A. Hasjmy, maka periode pertama (periode klasik) dimulai sejak masa permulaan Islam sampai menjelang berakhirnya masa Daulah Abbasiyah IV (No. 1-6); periode kedua (periode pertengahan) adalah masa Daulah Mongoliyah dan masa Daulah Usmaniyah (No.7 dan 8); sedangkan Nomor 9 sebagai periode ketiga (periode modern).
Di lain pihak Harun Nasution juga telah membagi sejarah Islam secara garis besar ke dalam tiga (3) periode besar, yaitu periode klasik (650-1250 M); periode pertengahan (1250-1800 M); dan periode modern (1800-dan seterusnya). Periode klasik merupakan kemajuan Islam dan dibagi ke dalam dua fase, yaitu pertama: fase ekspansi, integrasi, dan puncak kemajuan (650-1000 M); dan kedua: fase disintegrasi, periode pertengahan juga dibagi ke dalam dua fase, yaitu pertama; fase kemunduran (1250-1500 M) dan fase ketiga kerajaan besar (1500-1800 M), yang dimulai dengan zaman kemajuan (1500-1700 M) dan zaman kemunduran (1700-1800 M), sedang periode modern merupakan zaman kebangkitan umat Islam.
Dari pendapat tersebut dapat dipahami periodisasi sejarah Islam dimulai pada tahun (650 M), yang berarti dia tidak memasukkan masa permulaan Islam (sejak Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul) sampai dengan tahun 650 M, sebagai periode Islam. Pada selama masa itu (610-650 M) Nabi Muhammad SAW dan umatnya (para sahabat) telah banyak berperan membawa perubahan-perubahan besar dikalangan masyarakat, yang seharusnya dimasukkan dalam suatu babakan (periodisasi) sejarah tersendiri.
Karena itu, untuk tidak mengurangi arti pendapat-pendapat sebelumnya dan juga pendapat dari Harun Nasution tersebut, maka ada baiknya periodisasi sejarah Islam secara garis besarnya dibagi ke dalam 4 (empat) periode besar, yaitu:
1. Periode praklasik (610-650 M), yang meliputi 3 (tiga) fase, yaitu: fase pembentukan agama (610-622 M), fase pembentukan Negara (622-632 M), dan fase praekspansi (632-650 M).
2. Periode klasik (650-1230 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M), dan fase disintegrasi (1000-1250 M).
3. Periode pertengahan (1250-1800 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase kemunduran (1250-1500 M), dan fase tiga kerajaan besar (1500-1800 M), dan
4. Periode modern (1800-dan seterusnya), yang merupakan zaman kebangkitan Islam.
C. Beberapa Peristiwa Penting Yang Terjadi Pada Masing-masing
Periode Sejarah Islam
I. Periode Praklasik (610-650 M)
Periode ini dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) fase, yaitu:
1. Fase Pembentukan Agama (610-622 M)
Pada fase ini Nabi Muhammad SAW melakukan kegiatan pembentukan akidah dan pemantapannya serta pengalaman ibadah di kalangan umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama dan wahyu-wahyu berikutnya, kemudian Nabi Muhammad SAW memperkenalkan Islam kepada masyarakatnya di Makkah berdasarkan wahyu tersebut. Dakwah yang beliau lakukan melalui tiga tahapan, yaitu: pertama, memperkenalkan Islam secara rahasia, dalam arti terbatas pada keluarga terdekat dan teman-teman akrabnya, melalui pendekatan pribadi. Tahap ini dilakukan secara hati-hati sehingga tidak menimbulkan kejutan dikalangan masyarakat, namun hasilnya cukup memadai,terbukti beberapa keluarga dan teman terdekatnya berhasil masuk Islam. Kedua dilakukan dengan semi rahasia, dalam arti mengajak keluarganya yang lebih luas dibandingkan pada tahap pertama, terutama keluarga yang bergabung dalam rumpun Bani Abdul Mutholib (Baca QS. As-Syu’ara: 214), Ketiga dilakukan secara terbuka dan terang-terangan dihadapan masyarakat umum dan luas (Baca QS.al-Hijr: 94) pada tahap ini Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya menghadapi oposisi dari berbagai pihak, bahkan mendapatkan siksaan berat sebagiannya mengakibatkan kematian. Sungguhpun demikian, akidah mengikuti Nabi tetap kokoh dan tidak luntur dalam menghadapi oposisi tersebut. Berbagai upaya dilakukan antara lain pengungsian rahasia ke Abbesinia, tetapi justru menimbulkan pengejaran hebat, bahkan terjadi pemboikotan massa atas pengikut Nabi Muhammad SAW. A. Syalabi telah menjelaskan beberapa sebab timbulnya reaksi negatif terhadap dakwah beliau, yaitu:
1) Persaingan dalam berebut kekuasaan.
2) Persamaan hak antara kasta bangsawan dan kasta hamba sahaya.
3) Takut dibangkitkan setelah manusia mati,untuk mempertanggungjawabkan segala amalannya selama hidup di dunia.
4) Taklid kepada nenek moyang.
5) Memperniagaan patung (masalah ekonomi).
2. Fase Pembentukan Negara (622-632 M)
Sebelum Nabi Muhammad SAW hijrah ke Yatsrib (Madinah) didahului dengan usaha memengaruhi para peziarah Ka’bah di Makkah agar mereka masuk Islam. Di antara mereka banyak yang berasal dari kabilah Khazraj dan Aus (Yatsrib/Madinah). Ternyata sebagian mereka menyambut baik atas seruan dan ajakan Nabi Muhammad SAW tersebut, yang pada gilirannya menyatakan diri masuk Islam serta diikuti dengan perjanjian kesetiaan mereka kepada agama Islam dan Nabi Muhammad SAW yang terkenal dengan ’’Perjanjian Aqabah’’.Beberapa upaya dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah, yaitu:
1) Mendirikan Masjid, sebagai tempat ibadah dan berkumpulnya umat Islam, secara gotong-royong;
2) Mempersaudarakan antara kaum Anshor dan Muhajiin;
3) Membuat perjanjian persahabatan (toleransi) antara intern umat Islam dan antara umat beragama; dan
4) Meletakkan dasar-dasar politik ekonomi dan social untuk masyarakat baru. Karena itu terbentuklah masyarakat yang disebut Negara kota dengan membuat konstitusi di dunia.

3. Fase Pra-Ekspansi (632-650 M)
Merupakan fase ekspansi pertama (pendahuluan), yang pada dasarnya dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu:
Pertama: Fase konsolidasi. Abu Bakar sebagai kholifah Islam pengikut Rasulallah SAW. (632 M) harus menghadapi suku-suku bangsa Arab yang tidak mau lagi tunduk kepada Madinah, mereka menganggap bahwa perjanjian yang mereka buat dengan Nabi SAW. Dengan sendirinya tidak mengikat lagi setelah beliau wafat. Selanjutnya mereka mengambil sikap menentang Abu Bakar ( ingkar kepada pemerintah Islam ) tidak mau membayar dinar karena itu Abu Bakar menyelesaikannya dengan perang Riddah (melawan kaum separatis) di bawah komando Khalid bin Walid, dan kemenangan di pihak Abu Bakar ( umat Islam ).
Kedua, Fase pembuka jalan. Dimana setelah selesai perang dalam negeri tersebut (konsolidasi), Abu Bakar mulai mengirim kekuatan-kekuatan ke luar Arabia. Khalid bin al-Walid memimpin tentara yang diantar ke Irak (wilayah Bizantium) dan dapat menguasai al-Hirah di tahun 634 M. Bersama dengan itu ke Suria (Iran) dikirim tentara di bawah pimpinan tiga Jendral: Amr Ibnu ‘Ash, Yazid Ibnu Abi Sofyan dan Syurahbil Ibnu Hasanah, dan ditunjang oleh pasukan Khalid, sehingga dapat menguasai kota Ajnadin dan Fihl.
Ketiga, Fase pemerataan jalan. Dimana usaha-usaha yang dirintis oleh Abu Bakar untuk membuka jalan ekspansi, kemudian dilanjutkan oleh khalifah kedau, Umar bin Khatab (634-664 M). pada zaman Umar inilah gelombang ekspansi pertama terjadi kota Damaskus jatuh di tahun 635 M dan setahun kemudian Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, daerah Suria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan adanya gelombang ekspansi pertama ini (menurut istilah kami fase perantara jalan ekspansi). Maka kekuasaan Islam di bawah Khalifah Umar telah meliputi selain Semenanjung Arabiah, juga Palestina, Suria, Irak, Persia, dan Mesir.
Keempat, Fase jalan buntu, yaitu pada zaman Usman bin Affan (644-656 M) sebagai khalifah ketiga, dan pada zaman Ali bin Abi Thalib (656-661 M) khalifah keempat. Pada zaman Usman, meskipun Tripoli, Ciprus dan beberapa daerah lain dikuasai, tetapi gelombang ekspansi pertama berhenti sampai disini, karena dikalangan umat Islam mulai terjadi perpecahan menyangkut masalah pemerintahaan dan dalam kekacauan yang timbul itu Usman mati terbunuh.
Selanjutnya diganti oleh Ali bin Abi Thalib, tetapi mendapat tantangan dari pendukung Usman, terutama Muawiyah Gubernur Damaskus dari Golongan Thalhah dan Zubair di Makkah dan kaum Khawarij dan Ali sebagaimana Usman juga terbunuh.
II. Periode klasik (650-1250 M)
Periode Klasik ini merupakan zaman kemajuan umat Islam. Harun Nasution telah membagi periode klasik ini ke dalam dua (2) fase, yaitu:
1. Fase Ekspansi, Integrasi, dan Puncak Kemajuan (650-1000 M)
Periode klasik ini merupakan periode kebudayaan dan peradaban Islam yang tertinggi dan mempunyai pengaruh terhadap tercapainya kemajuan atau peradaban modern di Barat sekarang, sungguhpun tidak dengan secara langsung. Hal ini diakui oleh para orientalis Barat, sebagai berikut:
a. Christopher Dawson, menyatakan:”Periode kemajuan Islam ini bersamaan masanya dengan abad kegagalan di Barat (Eropa).”
b. H. McNeill, menyatakan:”Kebudayaan Kristen di Eropa di antara tahun 600-1000 M sedang mengalami masa surut yang rendah. Di abad XI Eropa mulai sadar akan adanya peradaban Islam yang tinggi di Timur, dan melalui Spanyol, Sicilia, Perang Salib peradaban itu sedikit demi sedikit di bawa ke Eropa.”
c. Gustave Lebon, menyatakan: “Orang Arablah yang menyebabkan kita mempunyai peradaban, karena mereka imam kiita selama enam abad..”
d. Romm Landayu, dari hasil penelitiannya mengambil kesimpulan bahwa “dari orang Islam periode klasik inilah orang Barat belajar berfikir serta objektif dan logis, dan belajar lapang dada.
e. Jacques C. Rislar juga menyatakan bahwa “ilmu pengetahuan dan teknik Islam amat dalam memengaruhi kebudayaan Barat.”
2. Fase Disintegrasi (1000-1250 M)
Fase disintegrasi merupakan fase di mana pemisahan diri dinasti-dinasti dari kekuasaan pusat, dilanjutkan dengan perebutan kekuasaan antara dinasti-dinasti tersebut untuk menguasai satu sama lain. Misalnya:(1). Dinasti Buwaihi yang menguasai daerah Persia dikalahkan oleh Saljuk pimpinan Tughril Beg (1076 M).
(2). Dinasti Saljuk waktu dipimpin Nizamul Mulk dikalahkan oleh Dinasti Hasysyasin pimpinan Hasan Ibnu Sabah, yang meskipun Dinasti Saljuk masih sempat berdiri, tetapi akhirnya dikalahkan total pada Perang Salib oleh Paus Urban II (1096-1099 M).
III. Periode Pertengahan (1250-1800 M)
Periode pertengahan ini juga dibagi ke dalam dua (2) fase yaitu:
1. Fase Kemunduran (1250-1500 M)
Pada masa ini desentralisasi dan disintegrasi bertambah meningkat. Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah, demikian juga antara Arab dan Persia bertambah tampak. Dunia Islam pada zaman ini terbagi dua, yaitu: Bagian Arab yang terdiri dari Arabia, Irak, Suria, Palestina, Mesir dan Afrika Utara, dengan Mesir sebagai pusat, dan Bagian Persia yang terdiri atas Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai Pusat.
2. Fase Tiga Kerajaan Besar (1500-1700 M) yang Dimulai dengan Zaman Kemajuan (1500-1700 M), Kemudian Zaman Kemunduran (1700-1800 M). Tiga Kerajaan Besar Tersebut Ialah Kerajaan Usmani (Ottoman Empire) di Turki, Kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India.
Dimasa kemajuaan, ketiga kerajaan besar tersebut mempunyai kerajaan masing-masing, terutama dalam bentuk literature dan arsitek. Masjid-masjid dan gedung-gedung indah yang didirikan di zaman ini masih dapat dilihat di Istambul, di Tibriz, Isfahan, serta kota-kota lain di Iran dan Delhi. Kemajuan umat Islam di zaman ini lebih banyak merupakan kemajuan di periode klasik.
Sedangkan di zaman kemunduran kerajaan Usmani terpukul di Eropa, Kerajaan Safawi dihancurkan oleh serangan-serangan suku bangsa Afgam, dan daerah kekuasaan kerajaan Mughal diperkecil oleh pukulan-pukulan raja-raa India. Kekuatan militer dan kekuatan politik umat Islam menurun umat Islam dalam keadaan kemunduran drastis. Akhirnya Napoleon pada tahun 1798 M. menduduki Mesir, sebagai salah satu pusat Islam terpentin jatuhnya pusat umat Islam ke tangan Barat, menginsafkan dunia Islam.
IV. Periode Modern (1800 M-dan seterusnya)
Ciri-ciri umat Islam pada periode modern ini adalah keadaan yang berbalik dengan pada periode klasik. Dalam arti, umat Islam pada periode ini sedang menaik sementara Barat sedang dalam kegelapan sedang pada periode modern ini sebaliknya, umat Islam sedang dalam kegelapan sementara Barat sedang mendominasi dunia Islam, dan umat Islam ingin belajar dari Barat tersebut.
KESIMPULAN


Sejarah Islam adalah berbagai peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi, yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam dalam berbagai aspek. periodisasi sejarah kebudayaan Islam dimulai sejak Nabi Muhammad SAW. Diangkat menjadi Rasul, pada tahun 12/13 tahun sebelum hijriyah, periode sejarah kebudayaan Islam dapat dibagi dalam 9 periode, yaitu:
1. Masa permulaan Islam, yang dimulai sejak lahirannya Islam pada tanggal 17 Ramadhan 12 tahun sebelum hijrah sampai tahun 41 Hijriyah, atau 6 Agustus 610 sampai 661 M;
2. Masa Daulah Amawiyah: dari tahun 41-132 H. ( 661-750 M );
3. Masa Daulah Abbsiyah Islam: dari tahun 132-232 H. ( 750-847 M );
4. Masa Daulah Abbasiyah II: dari tahun 232-334 H. ( 847-946 M );
5. Masa Daulah Abbasiyah III: dari tahun 334-467 H. ( 946-1075 M );
6. Masa Daulah Abbasiyah IV: dari tahun 467-656 H. ( 1075-1261 M );
7. Masa Daulah Mungoliyah: dari tahun 656-925 H. ( 1261-1520 M );
8. Masa Daulah Usmaniyah: dari tahun 925-1213 H. ( 1520-1801 M );
9. Masa Kebangkitan Baru: dari tahun 1213 H. (1801 M ) sampai awal abad 20.
Periodisasi sejarah Islam secara garis besarnya dapat dibagi ke dalam 4 (empat) periode besar, yaitu:
1. Periode praklasik (610-650 M), yang meliputi 3 (tiga) fase, yaitu: fase pembentukan agama (610-622 M), fase pembentukan Negara (622-632 M), dan fase praekspansi (632-650 M).
2. Periode klasik (650-1230 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase ekspansi, integrasi dan puncak kemajuan (650-1000 M), dan fase disintegrasi (1000-1250 M).
3. Periode pertengahan (1250-1800 M), yang meliputi 2 (dua) fase, yaitu: fase kemunduran (1250-1500 M), dan fase tiga kerajaan besar (1500-1800 M), dan
4. Periode modern (1800-dan seterusnya), yang merupakan zaman kebangkitan Islam.






DAFTAR PUSTAKA


Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Ed. Revisi -11: PT.Raja Grafindo Persada Jakarta Thn. 2007.
Atang Abd.Hakim, Jaih Mubarok, Metodologo Studi Islam, Ed. Revisi -9: PT.Remaja Rosda Karya, Bandung. Mei 2007.
Muhaimin, Abd.Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Ed. I cetakan ke-2 PT.Prenada Media, Jakarta, Juli 2007.
Tadjab, Muhaimin, Abd.Mujib, Dimensi-dimensi Studi Islam, cetakan pertama, PT.Karya Abditama, Surabaya, Agustus 1994.
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1 (Jakarta: UI Press, 1984), hlm. 57
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983), hal. 87-89.
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-Masyrik, 1986), hal. 8.
Majdid wahab, Kamil al-Muhandis, Mu’jam al-Musthalahat al-Arabiyah fi al-Lughah wa al-adab, (Beirut: Maktab Lubanani, 1984), hal. 82.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1988), hal. 794.
AS. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Distionary of Current English, (Oxford University Press, 1983), hal. 405

KAJIAN TAFISR

PEMBAHASAN


A. Penafsiran ilmiah Al Qur an
Al-Qur an AL-Karim, yang merupakan sumber utama ajaran Islam, berfungsi sebagai “petunjuk kejalan yang sebaik-baiknya” ( QS 17:9) demi kebahagiaan manusia di dunia dan di akherat. Petunjuk-petunjuk tersebut banyak yang bersifat umum dan global.
Di samping itu, Al Qur an juga memerintahkan umat manusia untuk memperhatikan ayat-ayat Al Qur an (QS 39:18 ; 47:24), dengan perhatian yang, di samping dapat mengantar mereka kepada keyakinan dan kebenaran ilahi, juga untuk menemukan alternative-alternatif baru melalui pengintegrasian yata-ayat tersebut dengan perkembengan situasi masyarakat tanpa mengorbankan prinsi-prinsip pokok ajarannya (Al Ushul Al ‘Ammah) atau mengabaikan perincian-perincian yang tidak termasuk dalam wewenang ijtihad. Dengan demikian, akan ditemukan kebenaran-kebenaran penegasan Al Qur an, bahwa :
1. Allah akan memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-NYA di seluruh ufuk dan pada diri manusia, sehingga terbukti bahwa Al Qur an adalah benar.
2. Fungsi di turunkannya kitab suci kepada para Nabi (tentunya terutama Al Qur an), adalah Untuk memberikan jawaban atau jalan keluar bagi perselisihan dan problem-problem yang dihadapi masyarakat.
Perkembangan penafsiran Al Qur an.
Dalam rangka pembuktian Al Qur an, wahyu ilahi ini telah mengajuka tantangan kepada siapa pun yang meragukannya untuk menyusun kembali “semisal” Al Qur’an.
Arti semisal mencakup segala macam aspek yang terdapat dalam Al Qur’an, salah satu di antaranya adalah kandungannya yang antara lain berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang belum dikenal pada masa turunnya.
Dari sini tidaklah mengherankan jika sementara pihak dari kaum muslim berusaha untuk membuktikan kemukjizatan al Qur’an, atau kebenaran-kebenarannya sebagai wahyu ilahi melalui penafsiran, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, walaupun tidak jarang dirasakan adanya “pemaksaan-pemaksaan”dalam penafsiran tersebut yang antara lain diakibatkan oleh keinginan untuk membuktikan kebenaran ilmiah melalui Al Qur’an, dan bukan sebaliknya.
Corak penafsiran ilmiah ini telah lama di kenal. Benihnya bermula pada masa dinasti abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun (w. 1059-1111M) yang secara panjang lebar dalam kitabnya ihya’ ‘ulum Al-Din dan jawahir Al qur’an mengemukakan alasan-alasan yang membuktika pendapatnya itu. Al Ghazali mengatakan bahwa : “Segala macam ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu (masih ada atau telah punah), maupun yang kemudian ; baik yang telah diketahui maupun belum, semua bersumber dari Al Qur’an Al Karim.
Hal ini, menurut Al Ghazali, karena segala macam ilmu termasuk dalam af’al (perbuatan-perbuatan) Allah dan sifat-sifat NYA. Sedangkan Al Qur’an menjelaskan tentang zat, af’al dan sifat-NYA. Pengetahuan tersebut tidak terbatas. Dalam Al Qur’an terdapat isyarat-isyarat menyangkut prinsip-prinsip pokoknya. Hal terakhir ini, antara lain, dibuktikan dengan mengemukakan ayat, “Apabila aku sakit maka Dia-lah yang mengobatiku” (QS 26:80).
“Obat” dan “penyakit”, menurut Al Ghazali, tidak dapat diketahui kecuali oleh orang yang berkecimpung di bidang kedokteran. Dengan demikian, ayat di atas merupakan isyarat tentang ilmu kedokteran.

Korelasi antara Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan
Membahas hubungan antara Al Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari banyak atau tidaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dikandungnya, tetapi yang lebih utama adalah melihat : adakah Al qur’an atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan atau mendorongnya, karena kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya diukur melalui sumbangan yang di berikan kepada masyarakat atau kumpulan ide dan metode yang dikembangkannya, tetapi juga pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan social yang diwujudkan, sehingga mempunyai pengaruh (positif atau negative) terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.
Sejarah membuktikan bahwa Galileo ketika mengungkapkan penemuan ilmiahnya tidak mendapat tantangan dari satu lembaga ilmiah, kecuali dari masyarakat dimana ia hidup. Mereka memberikan tantangan kepadanya atas dasar kepercayaan agama. Akibatnya, Galileo pada akhirnya menjadi korban penemuannya sendiri.
Dalam Al qur’an ditemukan kata-kata “ilmu” dalam berbagai bentuknya yang terulang sebanyak 854 kali. Disamping itu, banyak pula ayat-ayat Al qur’an yang menganjurkan untuk menggunakan akal pikiran, penalaran, dan sebagainya, sebagaimana dikemukakan oleh ayat-ayat yang menjelaskan hambatan kemajuan ilmu pengetahuan, antara lain :
1. Subjektivitas (a) suka dan tidak suka (baca antara lain, QS 43:78 ; 7:79); (b) taqlid atau mengikuti tanpa alasan (baca antara lain, QS 33:67 ; 2:170).
2. Angan-angan dan dugaan yang tak beralasan (baca antara lain, QS 10:36).
3. Bergegas-gegas dalam mengambil keputusan atau kesimpulan (baca antara lain QS 21:37).
4. Sikap angkuh (enggan untuk mencari atau menerima kebenaran) (baca antara lain QS 7:146).
Di samping itu, terdapat tuntutan tuntutan antara lain :
1. Jangan bersikap terhadap sesuatu tanpa dasar pengetahuan (QS 17:36), dalam arti tidak menetapkan sesuatu kecuali benar-benar telah mengetahui dulu persoalan (baca antara lain QS 36:17), atau menolaknya sebelum ada pengetahuan (baca antara lain, QS 10:39).
2. Jangan menilai sesuatu karena factor ekstern apa pun walaupun dalam dalam pribadi tokoh yang paling diagungkan.

Ayat- ayat semacam inilah yang mewujudkan iklim ilmu pengetahuan dan yang telah melahirkan pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan Islam dalam berbagai disiplin ilmu. “tiada yang lebih baik dituntun dari suatu kitab akidah (agama) menyangkut bidang ilmu kecuali anjuran untuk berpikir, serta tidak menetapkan suatu ketetapan yang menghalangi umatnya untuk menggunakan akalnya atau membatasinya menambah pengetahuan selama dan dimana saja ia kehendaki. Inilah korelasi pertama dan utama antara Al qur’an dan ilmu pengetahuan.
Korelasi kedua dapat ditemukan pada isyarat-isyarat ilmiah yang tersebar dalam sekian banyak ayat Al qur’an yang berbicara tentang alam raya dan fenomenanya. Isyarat-isyarat tersebut sebagian nya telah diketahui oleh masyarakat arab ketika itu. Namun apa yang mereka ketahui itu masih sangat terbatas dalam perinciannya.
Dalam dalam penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat Al qur’an, membawa kita kepada, paling tidak, tiga hal pula hal yang perlu di garisbawahi, yaitu (1) Bahasa (2) konteks ayat-ayat ; dan (3) sifat penemuan ilmiah.
1. Bahasa
Disepakati oleh semua pihak bahwa untuk memahami kandungan Al qur’an dibutuhkan pengetahuan bahasa arab. Untuk memahami arti suatu kata dalam rangkaian redaksi suatu ayat, seorang terlebih dahulu harus meneliti apa saja pengertian yang dikandung oleh kata tersebut. Kemudian menetapkan arti yang paling tepat setelah memperhatikan segala aspek yang berhubngan ayat tadi.
2. Konteks antara kata atau ayat
Memahami pengertian suatu kata dalam sdalam rangkaian satu ayat tidak dapat dilepaskan dari konteks kata tersebut dengan keseluruhan kata dalam redaksi ayat tadi.
3. Sifat penemuan ilmiah
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi oleh banyak factor, antara lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalamannya. Perkembangan ilmu pengetahuan sudah sedemikian pesatnya, sehingga dari faktor ini saja pemahaman terhadap redaksi Al qur’an dapat berbeda-beda.

Seperti yang telah dikemukakan bahwa salah satu pembuktian tentang kebenaran
Al qur’an adalah ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin yang diisyaratkan. Memeng terbukti, bawa sekian banyak ayat-ayat Al qur’an yang berbicara tentang hakikat ilmiah yang tidak dikenal pada masa turunnya, namu terbukti kebenarannya di tengah-tengah perkembangan ilmu, seperti :
• Teori tentang expanding universe (kosmos yang mengembang) (QS 51:47 ).
• Matahari adalah planet yang bercahaya sedangkan bulan adalah pantulan dari cahaya matahari (QS 10:5).
• Pergerakan bumi mengelilingi matahari, gerakan lapisa-lapisan yang berasal dari perut bumi, serta bergeraknya gunung sama dengan pergerakan awan (QS 27:88).
• Zat hijau daun (klorofil) yang berperanan dalam mengubah tenaga radiasi matahari menjadi tenaga kimia melalui proses foto sintesis sehingga menghasilkan energy (QS 36:80).bahkan, istilah Al qur’an, al syajar al akhdhar (pohon yang hijau) justru lebih tepat dari istilah klorofil (hijau daun), karena zat-zat tersebut bukan hanya terdapat dalam daun saja tapi di semua bagian pohon, dahan dan ranting yang warnanya hijau.
• Bahwa manusia diciptakan dari sebagian kecil sperma pria dan yang setelah fertilisasi (pembuahan) berdempet di dinding rahim (QS 86:6 dan 7; 96:2).

Contohnya juga, para ulam menafsirkan arti kata al ‘alaq dalam ayat-ayat yang menerangkan proses kejadian janin dengan al-dam al-jamid atau segumpal darah yang beku. Dan dapat disimpulkan bahwa proses kejadian manusia terdiri atas lima periode : (1) Al-Nuthfah; (2) Al ‘Alaq; (3) AL-Mudhghah; (4) Al-Idzam; dan (5) Al-Lahm.
Apabila seseorang mempelajari embriologi dan percaya akan kebenaran Al qur’an, maka dia sulit menafsirkan al-‘alaq tersebut dengan segumpal darah yang beku. Menurut embriologi, proses kejadian manusia terbagi dalam tiga periode :
1) Periode Ovum
2) Periode Embrio
3) Periode foetus

Demikian seterusnya, sehingga amat tepatlah kesimpulan yang dikemukakan oleh
Dr. Maurice Bucaille dalam bukunya Al-Qur’an, Bible dan sains Modern, bahwa tidak satu ayat pun dalam Al qur’an yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan.

Ukhuwah Islamiyah

1. Definisi Ukhuwah Islamiyah

Ukhuwah yang biasa diartikan sebagai “persaudaraan”, terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti “memperhatikan”. Makna asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara.
Masyarakat Muslim mengenal istilah Ukhuwah Islamiyah. Istilah ini perlu didudukan maknanya, agar bahasan kita tentang ukhuwah tidak mengalami kerancauan. Untuk itu, terlebih dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan kedudukan kata Islamiyah dalam istilah diatas. Selama ini ada kesan bahwa istilah teresebut bermakna “persaudaraan yang dijalin oleh sesama muslim”, atau dengan kata lain , kata “islamiyah” dujadikan sebagai pelaku ukhuwah itu.
Pemahaman ini kurang tepat. Kata Islamiyah yang dirangkaikan dengan kata ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai adjektiva, sehingga ukhuwah islamiyah berarti “persaudaraan yang bersifat islami atau yang diajarkan oleh Islam”. Paling tidak ada dua alasan untuk mendukung pendapat ini. Pertama, Al-Qur’an dan Hadits memperkenalkan bermacam-macam persaudaraan. Kedua, karena alasan kebahasaan. Di dalam bahasa arab, kata sifat selalu harus disesuaikan dengan kata yang disifatinya. Jika yang disifati berbentuk indefinitif maupun feminin, maka kata sifatnya pun harus demikian. Ini terlihat secara jelas pada saat kita berkata “ukhuwah Islamiyah dan Al-Ukhuwah Al-Islamiyah”.
Kata ukhuwah berakar dari kata kerja akha, misalnya dalam kalimat “akha fulanun shalihan”, (Fulan menjadikan Shalih sebagai saudara). Makna ukhuwah menurut Imam Hasan Al Banna: Ukhuwah Islamiyah adalah keterikatan hati dan jiwa satu sama lain dengan ikatan aqidah.

2. Macam-Macam Ukhuwah Islamiyah
Di atas telah dikemukakan arti ukhuwah Islamiyah, yakni ukhuwah yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam. Di dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menyinggung masalah ukhuwah Islamiyah dan dapat kita simpulkan bahwa di dalam kitab suci ini memperkenalkan paling tidak empat macam persaudaraan:
1) Ukhuwah ‘ubudiyah atau saudara kesemahlukan dan kesetundukan kepada Allah.
2) Ukhuwah Insaniyah (basyariyah) dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari seorang ayah dan ibu. Rasulullah Saw. juga menekankan lewat sabda beliau,
كونو عباد الله اخوانا (رواه ابخاري عن ابي هريرة)
Jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara.
العبادة كلهم اخوة
Hamba-hamba Allah semuanya bersaudara
3) Ukhuwah wathaniyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan.
4) Ukhuwah fi din Al-Islam, persaudaraan antarsesama Muslim. Rasulullah Saw. bersabda,
انتم اصحابي اخوانناالدين ياتون بعدى
Kalian adalah sahabat-sahabatku, saudara-saudara kita adalah yang datang sesudah (wafat)-ku.


3. Hakekat Ukhuwah Islamiyah

1.Nikmat Allah
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (Q.S. Ali Imron:103)

2. Perumpamaan tali tasbih
اْلأَخِلآءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلاَّ الْمُتَّقِينَ
Artinya: “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa”. (Q.S.Az-Zukhruf :67)

3. Merupakan arahan Rabbani
َأَلّوَفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنفَقْتَ مَافِي اْلأَرْضِ جَمِيعًا مَّآأَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. Al-Anfal:63)

4. Merupakan cermin kekuatan iman

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”. (Q.S. Al-hujurat:10)


Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad saw., beliau bersabda, “Barangsiapa menghilangkan kesusahan seorang muslim, niscaya Allah akan menghilangkan satu kesusahannya di hari kiamat. Barang siapa menutupi aib di hari kiamat. Allah selalu menolong seorang hamba selama dia menolong saudaranya.” (H.R. Muslim).
Ta’awun adalah saling membantu tentu saja dalam kebaikan dan meninggalkan kemungkaran.

4. Hal-hal yang menguatkan ukhuwah islamiyah:

1. Memberitahukan kecintaan kepada yang kita cintai
Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa Rasulullah bersabda: “ Ada seseorang berada di samping Rasulullah lalu salah seorang sahabat berlalu di depannya. Orang yang disamping Rasulullah tadi berkata: ‘Aku mencintai dia, ya Rasullah.’ Lalu Nabi menjawab: ‘Apakah kamu telah memberitahukan kepadanya?’ Orang tersebut menjawab: ‘Belum.’ Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Beritahukan kepadanya.’ Lalu orang tersebut memberitahukan kepadanya seraya berkata: ‘ Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.’ Kemudian orang yang dicintai itu menjawab: ‘Semoga Allah mencintaimu karena engkau mencintaiku karena-Nya.”

2. Memohon didoakan bila berpisah
“Tidak seorang hamba mukmin berdo’a untuk saudaranya dari kejauhan melainkan malaikat berkata: ‘Dan bagimu juga seperti itu” (H.R. Muslim)
3. Menunjukkan kegembiraan dan senyuman bila berjumpa
“Janganlah engkau meremehkan kebaikan (apa saja yang dating dari saudaramu), dan jika kamu berjumpa dengan saudaramu maka berikan dia senyum kegembiraan.” (H.R. Muslim)
4. Berjabat tangan bila berjumpa (kecuali non muhrim)
“Tidak ada dua orang mukmin yang berjumpa lalu berjabatan tangan melainkan keduanya diampuni dosanya sebelum berpisah.” (H.R Abu Daud dari Barra’)
5. Sering bersilaturahmi (mengunjungi saudara).
6. Memberikan hadiah pada waktu-waktu tertentu.
7. Memperhatikan saudaranya dan membantu keperluannya.
8. Memenuhi hak ukhuwah saudaranya.
9. Mengucapkan selamat berkenaan dengan saat-saat keberhasilan.

5. Manfaat Ukhuwah Islamiyah

1) Merasakan lezatnya iman.
2) Mendapatkan perlindungan Allah di hari kiamat (termasuk dalam 7 golongan yang dilindungi).
3) Mendapatkan tempat khusus di surga.

Di antara unsur-unsur pokok dalam ukhuwah adalah cinta. Tingkatan cinta yang paling rendah adalah husnudzon yang menggambarkan bersihnya hati dari perasaan hasad, benci, dengki, dan bersih dari sebab-sebab permusuhan. Al-Qur’an menganggap permusuhan dan saling membenci itu sebagai siksaan yang dijatuhkan Allah atas orang0orang yang kufur terhadap risalahNya dan menyimpang dari ayat-ayatNya. Sebagaiman firman Allah Swt dalam Q.S. Al-Ma’idah:14:

وَمِنَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّا نَصَارَى أَخَذْنَا مِيثَاقَهُمْ فَنَسُوا حَظًّا مِّمَّا ذُكِّرُوا بِهِ فَأَغْرَيْنَا بَيْنَهُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَآءَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَسَوْفَ يُنَبِّئُهُمُ اللهُ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
Artinya: “Dan diantara orang-orang yang mengatakan:"Sesungguhnya kami orang-orang Nasrani", ada yang telah kami ambil perjanjian mereka, tetapi mereka (sengaja) melupakan sebahagian dari apa yang mereka telah diberi peringatan dengannya; maka Kami timbulkan diantara mereka permusuhan dan kebencian sampai hari kiamat. Dan kelak Allah akan memberitakan kepada mereka apa yang selalu mereka kerjakan”.

Ada lagi derajat (tingkatan) yang lebih tinggi dari lapang dada dan cinta, Yaitu itsar. Itsar adalah mendahulukan kepentingan saudaranya atas kepentingan diri sendiri dalam segala sesuatu yang dicintai. Ia rela lapar demi kenyangnya orang lain. Ia rela haus demi puasnya prang lain. Ia rela berjaga demi tidurnya orang lain. Ia rela bersusah payah demi istirahatnya orang lain. Ia pun rela ditembus peluru dadanya demi selamatnya orang lain. Islam menginginkan dengan sangat agar cinta dan persaudaraan antara sesama manusia bisa merata di semua bangsa, antara sebagian dengan sebagian yang lain. Islam tidak bisa dipecah-belah dengan perbedaan unsure, warna kulit, bahasa, iklim, dan atau batas negara, sehingga tidak ada kesempatan untuk bertikai atau saling dengki, meskipun berbeda-beda dalam harta dan kedudukan.

Perjuangan Islam tidak akan tegak tanpa adanya ukhuwah islamiyah.
Islam menjadikan persaudaraan dalam islam dan iman sebagai dasar bagi aktifitas perjuangan untuk menegakkan agama Allah di muka bumi. Ukhuwah islamiyah akan melahirkan rasa kesatuan dan menenangkan hati manusia. Banyak persaudaraan lain yang bukan karena islam dan persaudaraan itu tidak akan kuat dikalangan umat dewasa ini terjadi disebabkan mereka tidak memenuhi persyaratan ukhuwah, yaitu kurangnya mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah yang bersungguh-sungguh. Sebagaimana firman Allah SWT:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”.(Q.s. Al-Hujrat:10)

يَسْأَلُونَكَ عَنِ اْلأَنفَالِ قُلِ اْلأَنفَالُ للهِ وَالرَّسُولِ فَاتَّقُوا اللهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنَكُمْ وَأَطِيعُوا اللهَ وَرَسُولَهُ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

Artinya: Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah:"Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertaqwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan diantara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang beriman".(Q.S. Al-Anfal:1)

Oleh karena itu untuk mencapai nikmatnya ukhuwah, perlu kita ketahui beberapa proses terbentuknya ukhuwah Islamiyah antara lain :

1. Melaksanakan proses ta’aruf (saling mengenal). Literaturnya : 49:13

ِيَآأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Ta’aruf adalah saling mengenal sesama manusia. Saling mengenal antara kaum muslimin merupakan wujud nyata ketaatan kepada perintah Allah SWT (Q.S. Al Hujurat: 13)
Tafahum adalah saling memahami. Hendaknya seorang muslim memperhatikan keadaan saudaranya agar bisa bersegera memberikan pertolongan sebelum saudaranya meminta, karena pertolongan merupakan salah satu hak saudaranya yang harus ia tunaikan.
Adanya interaksi dapat lebih dan kekal. Persaudaraan Islam yang dijalin oleh Allah SWT merupakan ikatan terkuat yang tiada tandingannya, Poerpecahan mengenal karakter individu. Perkenalan pertama tentunya kepada penampilan fisik (Jasadiyyan), seperti tubuh, wajah, gaya pakaian, gaya bicara, tingkah laku, pekerjaan, pendidikan, dan lain sebagainya. Selanjutnya interaksi berlanjut ke pengenalan pemikiran (Fikriyyan). Hal ini dilakukan dengan dialog, pandangan terhadap suatu masalah, kecenderungan berpikir, tokoh idola yang dikagumi dan diikuti, dan lain sebagainya. Pengenalan terakhir adalah mengenal kejiwaan (Nafsiyyan) yang ditekankan kepada upaya memahami kejiwaan, karakter, emosi, dan tingkah laku. Setiap manusia tentunya punya keunikan dan kekhasan sendiri yang memepengaruhi kejiwaannya. Proses ukuhuwah islamiyah akan terganggu apabila tidak mengenal karakter kejiwaan ini.

2. Melaksanakan proses tafahum (saling memahami) Al-Hadits

Saling memahami adalah kunci ukhuwah islamiyah. Tanpa tafahum maka ukhuwah tidak akan berjalan. Proses ta’aruf (pengenalan) dapat deprogram namun proses tafahum dapat dilakukan secara alami bersamaan dgn berjalannya ukhuwah. Dengan saling memahami maka setiap individu akan mudah mengatahui kekuatan dan kelemahannya dan menerima perbedaan. Dari sini akan lahirlah ta’awun (saling tolong menolong) dalam persaudaraan.
Ukhuwah tidak dapat berjalan apabila seseorang selalu ingin dipahami dan tidak berusaha memahami org lain. Saling memahami keadaan dilakukan dgn cara penyatuan hati, pikiran dan amal. Allah-lah yang menyatukan hati manusia.

3. Melakukan At-Ta’aawun (saling tolong menolong). Q.S. 5:2

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتُحِلُّوا شَعَائِرَ اللهِ وَلاَ الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلاَ الْهَدْىَ وَلاَ الْقَلاَئِدَ وَلآَءَآمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّن رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَن تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: “Hai kehormatan bulan-bulan Haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) menggganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keredhaan dari Rabbnya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorong kamu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (Q.S. Al-maidah:2)

Bila saling memahami sudah lahir maka timbullah rasa ta’awun. Ta’awun dapat dilakukan dengan hati (saling mendo’akan), pemikiran (berdiskusi dan saling menasehati), dan aman (saling bantu membantu). Saling membantu dalan kebaikan adalah kebahagiaan tersendiri. Manusia adalah makhluk sosial yang butuh berinteraksi dan butuh bantuan orang lain. Kebersamaan akan bernilai bila kita mengadakan saling Bantu membantu.

4. Melaksanakan proses takaful (saling menanggung atau senasib sepenanggungan)

yang muncul setelah proses ta’awun berjalan. Rasa sedih dansenang diselesaikan bersama. Takaful adalah tingkatan ukhuwah yang tertinggi. Banyak kisah dan hadits Nabi SAW dan para sahabat yang menunjukkan pelaksanaan takaful ini. Seperti ketika seorang sahabat kehausan dan memberikan jatah airnya kepada sahabat lainnya yang merintih kehausan juga, namun setelah diberi, air itu diberikan lagi ek sahabat yang lain, terus begitu hingga semua mati dalam kondisi kehausan. Mereka saling mengutamakan saudaranya sendiri dibandingkan dirinya (itsar). Inlah cirri utama dari ukhuwah islamiyah.
Seperti sabda Nabi SAW: “Tidak beriman seseorang diantaramu hingga kamu mencintainya seperti kamu mencintai dirimu sendiri”. (HR. Bukhari-Muslim).

Betapa indah ukhuwah islamiyah yang diajarkan Allah SWT. Bila umat islam melakukannya, tentunya terasa lebih manis rasa iman di hati dan terasa indah hidup dalam kebersamaan. Kesatuan barisan dan umat berarti bersatu fikrah/pemikiran dan tujuan tanpa menghilangkan perbedaan dalam karakter (kejiwaan). Inilah kekuatan Islam. Mari kita mulai dari diri kita, keluarga, masyarakat dekat untuk menjalin persaudaraan islam ini.

5. Merakit "Ulang" Ukhuwah Islamiyah Yang Hampir “Hilang”

Ukhuwah atau persaudaraan dalam Islam bukan saja mencirikan kualitas ketaatan seseorang terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya, tetapi juga sekaligus merupakan salah satu kekuatan perekat sosial untuk memperkokoh kebersamaan. Fenomena kebersamaan ini dalam banyak hal dapat memberikan inspirasi solidaritas sehingga tidak ada lagi jurang yang dapat memisahkan silaturahmi di antara umat manusia sebagai mahluk sosial yang dianugrahi kesempurnaan. Meskipun demikian, dalam perjalanan sejarahnya, bangunan kebersamaan ini seringkali terganggu oleh godaan-godaan kepentingan yang dapat merusak keutuhan komunikasi dan bahkan mengundang sikap dan prilaku yang saling berseberangan.

Karena itu, semangat ukhuwah ini secara sederhana dapat terlihat dari ada atau tidak adanya sikap saling memahami untuk menumbuhkan interaksi dan komunikasi. Ukhuwah Islamiyah sendiri menunjukkan jalan yang dapat ditempuh untuk membangun komunikasi di satu sisi, dan di sisi lain, ia juga memberikan semangat baru untuk sekaligus melaksanakan ajaran sesuai dengan petunjuk al-Qur'an serta teladan dari para Nabi dan Rasul-Nya.
Sekurang-sekurangnya ada dua pernyataan Nabi SAW, yang menggambarkan persaudaraan yang Islami. Pertama, persaudaraan Islam itu mengisyaratkan wujud tertentu yang dipersonifikasikan ke dalam sosok jasad yang utuh, yang apabila salah satu dari anggota badan itu sakit, maka anggota lainnya pun turut merasakan sakit. Kedua, persaudaraan Islam itu juga mengilustrasikan wujud bangunan yang kuat, yang antara masing-masing unsur dalam bangunan tersebut saling memberikan fungsi untuk memperkuat dan memperkokoh.
Ilustrasi pertama menunjukkan pentingnya unsur solidaritas dan kepedulian dalam upaya merakit bangunan ukhuwah menurut pandangan Islam. Sebab Islam menempatkan setiap individu dalam posisi yang sama. Masing-masing memiliki kelebihan, lengkap dengan segala kekurangannya. Sehingga untuk menciptakan wujud yang utuh, diperlukan kebersamaan untuk dapat saling melengkapi. Sedangkan ilustrasi berikutnya menunjukkan adanya faktor usaha saling tolong menolong, saling menjaga, saling membela dan saling melindungi.

Pernyataan al-Qur'an: Innama al-mu'minuuna ikhwatun (sesungguhnya orang-orang mu'min itu bersaudara) memberikan kesan bahwa orang mu'min itu memang mestinya bersaudara. Sehingga jika sewaktu-waktu ditemukan kenyataan yang tidak bersaudara, atau adanya usaha-usaha untuk merusak persaudaraan, atau bahkan mungkin adanya suasana yang membuat orang enggan bersaudara, maka ia berarti bukan lagi seorang mu'min. sebab penggunaan kata "innama" dalam bahasa Arab menunjukkan pada pengertian "hany saja”.
Tuntutan normatif seperti tertuang dalam al-Qur'an di atas memang seringkali tidak menunjukkan kenyataan yang diinginkan. Kesenjangan ini terjadi, antara lain, sebagai akibat dari semakin memudarnya penghayatan terhadap pesan-pesan Tuhan khususnya berkaitan dengan tuntutan membina persaudaraan. Bahkan, lebih celaka lagi apabila umat mulai berani memelihara penyakit ambivalensi sikap: antara pengetahuan yang memadai tentang al-Qur'an di satu sisi, dengan kecenderungan menolak pesan-pesan yang terkandung di dalamnya di sisi lain, hanya karena terdesak tuntutan pragmatis, khususnya menyangkut kepentingan sosial, politik ataupun ekonomi. Karena itu, bukan hal yang mustahil, jika seorang pemuka agama sekalipun, rela meruntuhkan tatanan ukhuwah hanya karena pertimbangan kepentingan-kepentingan primordial.
Karena tarik menarik antara berbagai kepentingan itulah, sejarah umat Islam selain diwarnai sejumlah prestasi yang cukup membanggakan, juga diwarnai oleh sejumlah konflik yang tidak kurang memprihatinkan. Nilai-nilai ukhuwah tidak lagi menjadi dasar dalam melakukan interaksi sosial dalam bangunan masyarakat tempat hidupnya sehari-hari. Konflik yang bersumber pada masalah-masalah yang tidak prinsip menurut ajaran, dapat membongkar bangunan kebersamaan dalam seluruh tatanan kehidupannya.
Perbedaan interprestasi tentang imamah pada akhir periode kepemimpinan shahabat, misalnya, telah berakibat pada runtuhnya kebesaran peradaban Islam yang telah lama dirintis bersama. Lalu sejarah itu pun berlanjut, seolah ada keharusan suatu generasi untuk mewarisi tradisi konflik yang mewarnai generasi sebelumnya. Akhirnya, nuansa kekuasaan pada masa-masa berikutnya hampir selalu diwarnai oleh politik "balas dendam" yang tidak pernah berujung.
Al-Qur'an memang memberikan peluang kepada ummat manusia untuk bersilang pendapat dan berbeda pendirian. Tetapi al-Qur'an sendiri sangat mengutuk percekcokan dan pertengkaran. Interprestasi terhadap ayat-ayat yang mujmal (umum), pemaknaan terhadap keterikatan sesuatu ayat dengan asbab nuzul, atau sesuatu hadits dengan asbab wurud-nya, seringkali melahirkan adanya sejumlah perbedaan. Lebih-lebih jika perbedaan itu telah memasuki wilayah ijtihadiyah
Dalil-dalil dzanny yang biasa menjadi rujukan beramal memang memiliki potensi untuk melahirkan perbedaan. Tetapi perbedaan itu sendiri seharusnya dapat melahirkan hikmah, baik dalam bentuk kompetisi positif, mempertajam daya kritis, maupun dalam membangun semangat mencari tahu sesuai dengan anjuran memperbanyak ilmu. Sayangnya, dalam kenyataan, perbedaan itu justru seringkali melahirkan hancurnya nilai-nilai ukhuwah, hanya karena ketidaksiapan untuk memahami cara berpikir yang lain, atau karena keengganan menerima perbedaan sebagai buah egoisme yang tidak sehat.
Dan, yang lebih celaka lagi, apabila potensi konflik itu telah dipengaruhi variabel-variabel politik dan ekonomi seperti apa yang saat ini tengah dialami oleh bangsa kita yang semakin lelah ini. Ikatan agama telah pudar oleh kepentingan kekuasaan. Kehangatan persaudaraan pun semakin menipis karena desakan-desakan materialisme ataupun kepentingan primordialisme. Perbedaan paham politik sangat potensial untuk melahirkan suasana ketidakakraban yang cenderung membawa kepada suasana batin yang tidak menunjang tegaknya ukhuwah. Demikian juga perbedaan tingkah kekayaan sering melahirkan kecemburuan yang juga sangat potensial untuk mengundang suasana bathin yang tidak menunjang tegaknya ukhuwah.
Subhanallah, ukhuwah kini telah menjadi barang antik yang sulit dinikmati secara bebas dan terbuka. Karena ukhuwah memang hanya akan dapat terwujud apabila masyarakat sudah mampu memiliki dan menghayati prinsip-prinsip tasamuh (toleransi), sekaligus terbuka untuk melakukan tausiyah (saling mengingatkan).
6. Islam dan Kepedulian Sosial
Rasululullah bersabda : “Belum beriman seseorang itu sebelum ia mencita saudara nya seperti mencitai dirinya sendiri.
Hadis ini shahih dan cukup populer di kalangan kau muslimin umum sekalipun. Yang subtansif pada hadis ini adalah mengaitkan iman dengan masalah sikap hati –dalam hal ini− mencintai orang lain selain dirinya. Mencintai orang itupun ditentukan bobotnya oleh Rasulullah yaitu sama dengan mencintai diri sendiri. Rasanya ini sangat berat dan sulit dilaksanakan, namun jika iman itu benar−benar ada dan hidup dalam jiwa maka yang berat dan sulit itupun sangat bisa terealisir.
Konsep kepedulian sosial dalam Islam sungguh cukup jelas dan tegas . Bila diperhatikan dengan seksama, dengan sangat mudah ditemui dan untuk saya mengatakan bahwa masalah kepedulian sosial dalam Islam terdapat dalam bidang akidah dan keimanan , tertuang jelas dalam syari’ah serta jadi tolok ukur dalam akhlak seorang mukmin.
Begitu juga Allah menghargai mereka yang melaksanakan amal sosial dalam kontek kepedulian sosial tersebut sebagaimana juga Alah sangat mengecam mereka yang tidak mempunyai rasa kepedulian sosial.
1. Dari Dimensi Aqidah dan Keimanan.
Iman kepada Allah merupakan rukun utama dan pertama dalam Islam. Bagaimana implikasi kepada Allah dijelaskan oleh Al−Quran dan hadis. Salah satunya berkaitan dengan kepedulian sosial.antara lain, misalnya surah al−Anfal ayat 2-5:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ {2} الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ {3} أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ {4} كَمَآأَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِن بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ {5}
Artinya: “Sesungguhnya orang−orang beriman itu hanyalah mereka yang jika disebut nama Allah gemetar hatinya. (2) dan apabila dibacakan kepadanya bertambah keimanannya (3) dan mereka bertawakkal kepadanya. (4) Mereka yang melaksanakan sholat dan (5) menafkahkan sebagian harta yang diberikan kepada mereka…”
Jadi menafkahkan sebagian harta (ayat:5) untuk orang lain termasuk indikasi/ukuran bagi keimanan sesorang dalam kehidupan ini.Hadis−hadis yang menekan hal ini cukup banyak antara lain Siapa yang beriman dengan Allah dan hari akhirat hendaklah ia memuliakan tamu/tetangga.
Dalam Islam, para pemberontak negara haru diperangi sampai habis total dan tuntas.Termasuk disini adalah mereka yang tak mau bayar zakat.Artinya tidak mau bayar zakat merupakan kesalahan besar di mata hukum Islam. Islam juga mewajibkan amar makruf nahi mungkar yang kesemuanya terkait dengan hukum dan segala konsekwensinya. Orang yang yang tidak memberi makan fakir miskin dapat terjerat vonis pedusta agama.
2. Dimensi Akhlak
Dalam Islam seseorang dianggap mulia, jika ia memelihara anak yatim. Orang yang paling disenangi Allah adalah mereka yang paling dermawan. Orang−oarang yang berinfaq/bersedekah diberi ganjaran pahala sampai 70 x lipat. Dalam hadis Rasulullah disebutkan bahwa Allah akan selalu membantu hambaNya selama hamba tersebut membantu saudaranya. Pada hadis lain Rasulullah menyebutkan, bahwa bakhil itu sifat tercela dan pemboros itu adalah kawan−kawan setan.
Jika dibahas secara terinci, tentang kepedulian Islam terhadap masalah sosial maka kita akan menemukan bahwa ternyata amal ibadah secara umum lebih banyak berurusan dengan hamblum minannas ketimbang hablum minallah. Cuma kesemuanya itu harus dikunci dengan prinsip utama.
KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat penyusun simpulkan bahwa :
 ukhuwah islamiyah berarti “persaudaraan yang bersifat islami atau yang diajarkan oleh Islam”.
 Di dalam kitab suci ini memperkenalkan paling tidak empat macam persaudaraan:
a) Ukhuwah ‘ubudiyah atau saudara kesemahlukan dan kesetundukan kepada Allah.
b) Ukhuwah Insaniyah (basyariyah) dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari seorang ayah dan ibu.
c) Ukhuwah wathaniyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan.
d) Ukhuwah fi din Al-Islam, persaudaraan antarsesama Muslim. Rasulullah Saw. bersabda,
 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, secara garis besar ukhuwah dibagi menjadi dua yaitu:
a) Ukhuwah Islamiyah yang bersifat abadi dan universal karena berdasarkan akidah dan syariat Islam.
b) Ukhuwah Jahiliyah yang bersifat temporer (terbatas waktu dan tempat), yaitu ikatan selain ikatan akidah (missal: ikatan keturunan orang tua-anak, perkawinan, nasionalisme, kesukuan, kebangsaan, dan kepentingan pribadi).
 Manfaat ukhuwah Islamiyah:
a) Merasakan lezatnya iman.
b) Mendapatkan perlindungan Allah di hari kiamat (termasuk dalam 7 golongan yang dilindungi).
c) Mendapatkan tempat khusus di surga.
 Untuk mencapai nikmatnya ukhuwah, perlu kita ketahui beberapa proses terbentuknya ukhuwah Islamiyah antara lain :
a) Melaksanakan proses ta’aruf (saling mengenal).
b) Melaksanakan proses tafahum (saling memahami).
c) Melakukan At-Ta’aawun (saling tolong menolong).

TASAWWUF

PEMBAHASAN
A. Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonsentrasi pada perbaikan akhlak dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf ini berkonsentrasi pada upaya-upaya menghindarkan diri dari akhlak yang tercela (mazmumah) sekaligus mewujudkan akhlak yang terpuji (mahmudah) didalam diri para shufi. Menurut para shufi, manusia cenderung mengikuti hawa nafsunya. Jika manusia telah dikendalikan hawa nafsunya maka ia telah mempertuhankan nafsunya tersebut. Dengan demkian berbagai penyakitpun timbul didalam dirinya, seperti kikir, sombong, membanggakan diri, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan hati. Dalam pandangan shufi, merupakan penghalang bagi seorang untuk dekat dengan Tuhannya.
Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak, disusun sebagai berikut:
1) Takhalli, adalah usaha membersihkan diri dari semua prilaku yang tercela, baik maksiat batin maupun lahir. Maksiat-maksiat ini harus dibersihkan karena menghalangi seseorang untuk dekat pada Tuhannya, yang oleh para shufi disebut sebagai najis maknawiyah. Sebagaimana najis dzati yang menghalangi seseorang untuk ibadah kepada-Nya.
2) Tahalli, adalah tahapan pengisian jiwa setelah dikosongkan dari akhlak-akhlak tercela. Diantara sikap mental dan perbuatan baik yang sangat penting untuk diisikan kedalam jiwa manusia adalah: al-Taubah, al-Khauf wa al-Raja, al-Zuhud, al-Faqr, al-Ikhlas, al-Shabr, al-Ridha, al-Muraqabah dan lain-lain.
3) Tajalli, berarti tersingkapnya nur gaib. Agar yang apa yang telah diupayakan pada langkanh diatas langgeng, berkelanjutan, dan terus meningkat maka rasa ketuhanan mesti dipupuk dalam diri. Kesadaran ketuhanan didalam semua aktivitas akan melahirkan kecintaan, bahkan kerinduan kepada-Nya.
B. Tasawuf Falasafi
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat atau yang bermakana mistik metafisis, karakter umum dari tasawuf ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Taftazani bahwa tasawuf seperti ini: tidak dapat dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat, juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa.
Para shufi aliran ini mengenal dengan baik filsafat-filsafat Yunani dan berbagai aliran-alirannya. Aliran ini menonjolkan pemikiran-pemikiran filosofis dengan ungkapan-ungkapan ganjilnya (syathahiyat) dalam ajaran-ajaran yang dikembangkannya. Ungkapan-ungkapan syathahiyat itu bertolak dari keadaan yang fana menuju pernyataan tentang terjadinya penyatuan ataupun hulul.
Hamka menegaskan juga bahwa tasawuf jenis tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan begitu juga sebaliknya. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof. Oleh karena itu, mereka gemar terhadap ide-ide spekulatif. Dari kegemaran berfilsafat itu, mereka mampu menampilkan argumen-argumen yang kaya dan luas tentang ide-ide ketuhanan.
C. Tasawuf Irfani
Tasawuf irfani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana mengenal Allah secara benar yang hanya bisa ditempuh dengan kesucian hati, para sufi dengan berbagai aliran yang dianutnya memiliki sesuatu konsepsi tentang jalan (thariqat) menuju Allah. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniyah (riyadhah), lalu secara bertahap menempuh beberapa fase yang dikenal dengan maqom (tingkatan) dan hal (keadaan), dan berakhir dengan mengenal (ma'rifat) kepada Allah. Potensi untuk memperoleh ma'rifat telah ada pada manusia. Persoalannya adalah apakah ia telah memenuhi prasarana atau pra syaratannya? Salah satu prasyaratannya adalah kesucian jiwa dan hati.
Jika totalitas jiwanya telah suci dan hatinya telah dipenuhi dengan dzikir kepada tuhan, maka hidup akan dipenuhi oleh kearifan dan bimbingan-Nya. Dalam dunia tasawuf qolb merupakan pengetahuan tentang hakikat, termasuk di dalamnya adalah hakikat ma'rifat, qolb yang telah suci akan mampu menembus alam malakut (misalnya, alam malaikat) sebagaimana telah diungkapkan oleh Al-Ghozali dalam kimia’ Al-Sa'adah-nya bahwa qolb merupakan sesuatu yang sejenis dengan malaikat, ketika berada dalam alam malakut inilah qolb mampu memperoleh ilmu pengetahuan dari Tuhan. Ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari kondisi biologis batiniyah dengan perangkat qolb yang suci inilah yang mereka sebut sebagai ilmu ma'rifat, dan secara spesifik dapat memperoleh ilmu laduni, yakni ilmu yang datang melalui ilham yang dibisikkan ke dalam hati manusia.
Irfan berarti pengetahuan atau pengenalan. Qalb dalam pandangan shufi mempunyai fungsi esensial untuk memperoleh kearifan atau ma’rifah, hanya qalb yang suci yang dapat sampai kesana. Untuk sampai kepada ma’rifah ini mesti melalui tahapan-tahapan. Disamping tahapan-tahapan maqamat dan ahwal diatas, masih harus malalui usaha berikut:
• Riyadhah, merupakan latihan kejiwaan dalam usaha meninggalkan sifat buruk termasuk didalamnya adalah pendidikan ahlak dan pengobatan penyakit hati.
• Tafakkur (berfikir), dalam pandangan para shufi dapat menghasilkan ilmu ladunni dengan usaha yang sungguh-sungguh.
• Tazkiyyah al-Nafs, adalah proses penyucian jiwa dari kotoran-kotoran dan penyakit dalam hati.
• Dzikrullah, berarti mengingat Allah baik dengan ucapan lisan maupun dengan getaran hati.

KESIMPULAN
 Pada dasarnya, perkembangan ilmu tasawuf ini, terjadi karena adanya perbedaan pendapat para sufi. Sehingga timbullah berbagai macam paham dalam dunia kesufian. Paham-paham tersebut masing-masing memiliki tujuan yang berlainan, sehingga terjadi perbedaan yang mencolok antara paham yang satu dengan yang lain.
 Diantara peneliti-peneliti tasawuf membagi tasawuf kedalam tiga bagian:Tasawuf Akhlaqi, Taswuf Falsafi dan Tasawuf Falsafi.
 Tasawuf diciptakan sebagai media untuk mencapai maqashid al-Syar’i (tujuan-tujuan syara’). Karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti salat, puasa, zakat, haji, dan lain sebagainya, yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

PENUTUP
Demikianlah makalah sederhana ini kami buat. Namun demikian, kami sebagai penyusun menyadari makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kami mohon maaf apabila masih banyak ditemui kesalahan, itu datangnya dari kealpaan kami. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan dari pembaca semua. Terutama dari Bapak Drs. H. S. Hamdani, MA. selaku pembimbing kami dan teman-teman pada umumnya.
Akhirnya, marilah kita kembalikan semua urusan kepada-Nya. Billahit taufiq wal hidayah war ridho wal inayah.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar ,Rosihan.Solihin, Mukhtar, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV. PUSTAKA SETIA, 2006.
Jamil, H. M., Cakrawala Tasawuf, Jakarta: GP. Press, 2007.
HamkaTasawuf Perkembangan dan Pemurniannya.Jakarta: P.T. CITRA SERUMPUN PADI, 1986.
Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Hilal,Ibrahim, Tasawuf(Antara Agama dan Filsafat), Bandung: PUSTAKA HIDAYAH, 2002.

ILMU KALAM

ISLAM, IMAN, DAN IHSAN
MATA KULIAH ILMU KALAM
MENGENAL ISLAM
Islam, ialah berserah diri kepada Allah dengan tauhid dan tunduk kepada-Nya dengan penuh kepatuhan akan segala perintah-Nya serta menyelamatkan diri dari perbuatan syirik dan orang-orang yang berbuat syirik.
Dan agama Islam, dalam pengertian tersebut, mempunyai tiga tingkatan, yaitu : Islam, Iman dan Ihsan, masing-masing tingkatan mempunyai rukun-rukunnya.
Tingkatan Islam
Adapun tingkatan Islam, rukunnya ada lima :
 Syahadat (pengakuan dengan hati dan lisan) bahwa "Laa Ilaaha Ilallaah" (Tiada sesembahan yang haq selain Allah) dan Muhammad adalah Rasulullah.
 Mendirikan shalat.
 Mengeluarkan zakat
 Shiyam pada bulan Ramadhan Haji ke Baitullah Al-Haram.
Dalil Syahadat.
Firman Allah Ta'ala yang artinya : Allah menyatakan bahwa tiada sesembahan (yang haq) selain Dia, dengan senantiasa menegakkan keadilan (Juga menyatakan demikian itu) para malaikat dan orang-orang yang berilmu. Tiada sesembahan [Al-Imraan : 18]
"Laa Ilaaha Ilallaah"' artinya : Tiada sesembahan yang haq selain Allah.
Syahadat ini mengandung dua unsur : menolak dan menetapkan. "Laa Ilaaha", adalah menolak segala sembahan selain Allah. "Illallaah" adalah menetapkan bahwa penyembahan itu hanya untuk Allah semata-mata, tiada sesuatu apapun yang boleh dijadikan sekutu didalam penyembahan kepada-Nya, sebagaimana tiada sesuatu apapun yang boleh dijadikan sekutu di dalam kekuasaan-Nya.
Tafsiran syahadat tersebut diperjelas oleh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kepada kaumnya.
'Sesungguhnya aku menyatakan lepas dari segala yang kamu sembah, kecuali Tuhan yang telah menciptakan-ku, karena sesungguhnya Dia akan menunjuki'. Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka senantiasa kembali (kepada tauhid)". [Az-Zukhruf : 26-28].
Makna dan Pengertian Islam
( الإسلام "berserah diri kepada Tuhan" adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Agama ini termasuk agama samawi (agama-agama yang dipercaya oleh para pengikutnya diturunkan dari langit) dan termasuk dalam golongan agama Ibrahim. Dengan lebih dari satu seperempat milyar orang pengikut di seluruh dunia [1][2], menjadikan Islam sebagai agama terbesar kedua di dunia setelah agama Kristen.[3] Islam memiliki arti "penyerahan", atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan (: الله, Allāh).[4] Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti "seorang yang tunduk kepada Tuhan"[5][6], atau lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki dan Muslimat bagi perempuan. Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan firman-Nya kepada manusia melalui para nabi dan rasul utusan-Nya, dan meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi dan rasul terakhir yang diutus ke dunia oleh Allah.
ISLAM, IMAN DAN IHSAN
Islam Mencakup 3 Tingkatan
Rosululloh shollallahu ‘alaihi wa sallam suatu hari pernah didatangi malaikat Jibril dalam wujud seorang lelaki yang tidak dikenali jatidirinya oleh para sahabat yang ada pada saat itu, dia menanyakan kepada beliau tentang Islam, Iman dan Ihsan. Setelah beliau menjawab berbagai pertanyaan Jibril dan dia pun telah meninggalkan mereka, maka pada suatu kesempatan Rosululloh bertanya kepada sahabat Umar bin Khoththob, “Wahai Umar, tahukah kamu siapakah orang yang bertanya itu ?” Maka Umar menjawab, “Alloh dan Rosul-Nya lah yang lebih tahu”. Nabi pun bersabda, “Sesungguhnya dia itu adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim). Syaikh Ibnu Utsaimin rohimahulloh mengatakan: Di dalam (penggalan) hadits ini terdapat dalil bahwasanya Iman, Islam dan Ihsan semuanya diberi nama ad din/agama (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 23). Jadi agama Islam yang kita anut ini mencakup 3 tingkatan; Islam, Iman dan Ihsan.
1. Tingkatan Islam
Di dalam hadits tersebut, ketika Rosululloh ditanya tentang Islam beliau menjawab, “Islam itu engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan (yang haq) selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, engkau dirikan sholat, tunaikan zakat, berpuasa romadhon dan berhaji ke Baitulloh jika engkau mampu untuk menempuh perjalanan ke sana”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini ialah bahwa Islam itu terdiri dari 5 rukun (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 14). Jadi Islam yang dimaksud disini adalah amalan-amalan lahiriyah yang meliputi syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji.
2. Tingkatan Iman
Selanjutnya Nabi ditanya mengenai iman. Beliau bersabda, “Iman itu ialah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rosul-Nya, hari akhir dan engkau beriman terhadap qodho’ dan qodar; yang baik maupun yang buruk”. Jadi Iman yang dimaksud disini mencakup perkara-perkara batiniyah yang ada di dalam hati. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah pembedaan antara islam dan iman, ini terjadi apabila kedua-duanya disebutkan secara bersama-sama, maka ketika itu islam ditafsirkan dengan amalan-amalan anggota badan sedangkan iman ditafsirkan dengan amalan-amalan hati, akan tetapi bila sebutkan secara mutlak salah satunya (islam saja atau iman saja) maka sudah mencakup yang lainnya. Seperti dalam firman Allah Ta’ala, “Dan Aku telah ridho Islam menjadi agama kalian.” (Al Ma’idah : 3) maka kata Islam di sini sudah mencakup islam dan iman… (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 17).
3. Tingkatan Ihsan
Nabi juga ditanya oleh Jibril tentang ihsan. Nabi bersabda, “Yaitu engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila kamu tidak bisa (beribadah seolah-olah) melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu”. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan: Diantara faedah yang bisa dipetik dari hadits ini adalah penjelasan tentang ihsan yaitu seorang manusia menyembah Robbnya dengan ibadah yang dipenuhi rasa harap dan keinginan, seolah-olah dia melihat-Nya sehingga diapun sangat ingin sampai kepada-Nya, dan ini adalah derajat ihsan yang paling sempurna. Tapi bila dia tidak bisa mencapai kondisi semacam ini maka hendaknya dia berada di derajat kedua yaitu: menyembah kepada Allah dengan ibadah yang dipenuhi rasa takut dan cemas dari tertimpa siksa-Nya, oleh karena itulah Nabi bersabda, “Jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu” artinya jika kamu tidak mampu menyembah-Nya seolah-olah kamu melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (Ta’liq Syarah Arba’in hlm. 21). Jadi tingkatan ihsan ini mencakup perkara lahir maupun batin.
BAGAIMANA MENGKOMPROMIKAN KETIGA ISTILAH INI?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan yang maknanya, Bila dibandingkan dengan iman maka Ihsan itu lebih luas cakupannya bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada iman bila ditinjau dari orang yang sampai pada derajat ihsan. Sedangkan iman itu lebih luas daripada islam bila ditinjau dari substansinya dan lebih khusus daripada islam bila ditinjau dari orang yang mencapai derajat iman. Maka di dalam sikap ihsan sudah terkumpul di dalamnya iman dan islam. Sehingga orang yang bersikap ihsan itu lebih istimewa dibandingkan orang-orang mu’min yang lain, dan orang yang mu’min itu juga lebih istimewa dibandingkan orang-orang muslim yang lain… (At Tauhid li shoffil awwal al ‘aali, Syaikh Sholih Fauzan, hlm. 63)
KESIMPULAN
Dari hadits serta penjelasan di atas maka teranglah bagi kita bahwasanya pembagian agama ini menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat tidaklah dikenal oleh para ulama baik di kalangan sahabat, tabi’in maupun tabi’ut tabi’in; generasi terbaik ummat ini. Pembagian yang syar’i adalah sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu islam, iman dan ihsan dengan penjelasan sebagaimana di atas. Maka ini menunjukkan pula kepada kita alangkah berbahayanya pemahaman sufi semacam itu. Lalu bagaimana mungkin mereka bisa mencapai keridhoan Alloh Ta’ala kalau cara beribadah yang mereka tempuh justeru menyimpang dari petunjuk Rosululloh ? Alangkah benar Nabi yang telah bersabda, “Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim). Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia pun harus muslim dan mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat sufiyah yang membolehkan orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan syari’at. Wallohu a’lam.





.
PENGERTIAN TAFSIR, TA`WIL DAN TERJEMAH

Tafsir secara bahasa mengikuti wazan ”taf`íl”, berasal dari asal kata al-Fashr (f, s, r) yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan ”daraba – yadribu” dan ”nasara-yansuru”. Dikatakan ”fasara (asy-syai`a) yafsiru” dan ”yafsuru, fasran”, dan ”fassarahu”, artinya ”abanahu” (menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam lisanul `Arab dinyatakan: kata kata ”al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata ”at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafadz yang musykil, pelik. Dalam al-Qur`an dinyatakan:
(Tidaklah mereka datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik tafsir-nya) (al-Furqan [25]:33).
Maksudnya: setiap kali mereka datang kepada nabi Muhammad s.a.w membawa suatu hal yang aneh berupa usul dan kecaman, Allah menolaknya dengan suatu yang benar dan nyata. Dalam al-Qur`an dinyatakan:
”Suatu ilmu yg di dalamnya dibahas tentang cara-cara menyebut lafal Al Qur-an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya, baik secara ifrat, maupun secara tarkib dan makna-maknanya yg ditampung oleh tarkib dan yg selain itu, seperti mengetahui nasakh, sebab nuzul, dan sesuatu yg menjelaskan pengertian seperti kisah dan matsal (perumpamaan).”

Dalam pengertian istilah ahli tafsir, ada beberapa macam maknanya:
 Golongan mutaqoddimin memaknakan ta`wil dengan tafsir,
 Mujahid berkata : ”Bahwasanya para ulama mengetahui ta`wil Al Qur-an, yakni tafsirnya. Ibnu Jarir pun mempergunakan kata ta`wil dalam arti tafsir.
 Sebagian lagi berpendapat lain bahwa tafsir berbeda dari ta`wil dalam segi umum dan khusus saja. Tafsir lebih umum daripada ta`wil. Dimaksud dengan ta`wil ialah menerangkan kehendak lafal atau petunjuk lafal kepada yg tidak segera ditanggapi.
 Tafsir ialah menetapkan dgn penuh keyakinan, bahwasanya demikianlah kehendak Allah, sedangkan ta`wil mentarjihkan salah satu makna yg mungkin diterima oleh lafal, tanpa meyakini bahwa itulah yg dimaksudkan. Demikian pendapat Al Maturidy.
 Tafsir ialah menetapkan dgn penuh keyakinan, bahwasanya demikianlah kehendak Allah, sedangkan ta`wil mentarjihkan salah satu makna yg mungkin diterima oleh lafal, tanpa meyakini bahwa itulah yg dimaksudkan. Demikian pendapat Al Maturidy.
 Ada yg mengatakan tafsir ialah menerangkan arti lafadz dengan jalan riwayat, sedangkan ta`wil menerangkan arti lafadz dengan jalan dirayat.
 Atau tafsir ialah menerangkan makna-makan yang diperolehdengan jalan isyarat.
 Atau tafsir ialah menerangkan makna-makan yang diperolehdengan jalan isyarat.
 Makna inilah yang terkenal dalam kalangan mutaakhkhirin, seperti yang diterangkan oleh al-Alusyi dalam Tafsir Ruhul Ma`ani.
 Atau tafsir ialah menerangkan makna-makan yang diperolehdengan jalan isyarat.
 Perlu ditandaskan bahwa pengertian ta`wil, menurut istilah mufassirin, adalah supaya tidak mencakup pengertian ta`wil menurut istilah mutakallimin. Menurut mereka, ta`wil bermakna: ”Memalingkan nash-nash al-Qur`an dan as-Sunnah yang mutasyabbihah, dari maknanya yang dhahir, kepda makna-makna yang sesuai dengan kesucian Allah dari menyerupai makhluq, yang berlainan dengan makna yang diberikan oleh ulama-ulama salaf, yaitu menyerahkan pengertian-pengertian nash itu, kepada Allah sendiri tanpa menentukan sesuatu makna”.
I. Tafsir Tahlili

Tafsir Tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelasakan kandungan ayat-ayat al-Qur`an dari berbagai aspeknya dengan memperhatikan runtunan ayat-ayat al-Qur`an yang tercantum di dalam mushaf, (Shadr, 1980:10) atau suatu metode penafsiran al-Qur`an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat tersebut (al-Farmawi, 1977:24).
Dalam metode ini, segala sesuatu yang di anggap perlu oleh seorang mufassir tahlili diuraikan, baik bermula dari penjelasan makna lafadz-lafadz tertentu, ayat per-ayat, surat per-surat, susunan kalimat, persesuaian kalimat yang satu dengan yang lain, Asbab al-Nuzul, hadits yang berkenaan dengan ayat-ayat yang ditafsirkan dan lain-lain.

Ciri-ciri

Penafsiran yang mengikuti metode ini bisa mengambil bentuk ma`tsur (riwayat) atau ra`yi (pemikiran). Dalam penafsiran tersebut, al-Qur`an ditafsirkan ayat demi ayat dan surat demi surat secara berurutan, serta tak ketinggalan menerangkan Asbab An-Nuzul dari ayat-ayat yg ditafsirkan. Kemudian diungkapkan pula penafsiran-penafsiran yg pernah diberikan oleh Nabi SAW, Sahabat, Tabi^in, Tabi Tabi^in, dan para ahli tafsir lainnya dari berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, fiqih, bahasa, sastra, dsb. Selain itu juga dijelaskan Munasabah antara ayat yg satu dengan yg lainnya.
Ciri lain dari metode ini, penafsirannya diwarnai oleh kecenderungan dan keahlian mufassirnya sepert fiqih, sufi, falsafi, ilmi, adabi ijtimai, dan lain-lain.

ÎI. Tafsir Ijmali
Tafsir Ijmali adalah menafsirkan Al-Qur an dengan cara menjelaskan maksud Al Qur an secar global, tidak terperinci sepert tafsir tahlili, (Hidayat, 1996: 191) atau menjelaskan ayat-ayat Al Qur-an secara ringkas tapi mencakup dgn bahasa yang populer, mudah dimengerti, dan enak dibaca. Sistematika tulisannya menurut susunan ayat-ayat yg terdapat dalam mushaf. Selain itu penyajiannya tidak terlalu jauh dari gaya bahasa Al Qur-an sehingga pendengar dan pembacanya seakan-akan masih mendengarkan Al Qur-an padahal yg didengarnya adalah tafsirannya.
Tafsir dengan metode ini ditetapkan secara khusus bagi orang awam agar mudah memahami maksud yyg terkandung dalam Al Qur-an. Karena dgn metode tafsir ijmali, seorang mufassir berbicara kepada pembacanya dgn cara yang termudah, singkat, tidak berbelit-belit yg dapat menjelaskan arti ayat sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal lain dari arti yg dikehendaki, dgm target pihaj pembaca memahami kandungan pokok Al Qur-an.


Ciri-ciri:
Penafsiran yg dilakukan terhadap ayat-ayat Al Qur-an, ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai dengan urutannya dalam mushaf. Dan kadangkala mufassir menafsirkan Al Qur-an dgn lafazh Al Qur-an, sehingga pembaca merasa bahwa uraian tafsirnya tidak jauh dari konteks Al Qur-an dgn penyajiannya yg mudah dan indah. Metode tafsir Ijmali ini hampir sama dengan metode tafsir Tahlili, tetapi penafsirannya tidak secara terperinci seperti tafsir Tahlili, hanya secara ringkas dan umum.

III. Tafsir Muqoron
Pengertian metode tafsir Muqoron adalah: 1) membangdingkan teks (nash) ayat-ayat Al Qur-an yg memiliki kesamaan redaksi dalam 2 kasus lebih, dan atau memiliki berbeda bagi satu kasus yg sama; 2) membandingkan ayat Al Qur-an dgn hadits yg pada lahirnya bertentangan; dan 3) membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir di dalam menafsirkan Al Qur-an (Baidan 1998: 65)
Definisi di atas menunjukkan bahwa, penafsiran Al Qur-an dgm metode ini memiliki cakupan yg amat luas, tidak hanya membandingkan ayat dgn ayat, ayat dgn hadits, tapi juga membandingkan pendapat para mufassir dalam menafsirkan ayat.

Ciri-ciri:
Metode ini mempunyai ciri khas yg dapat membedakannya dari metode lain yaitu membandingkan pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat dgn ayat, atau ayat dengan hadits, baik merka termasuk ulama salaf ataupun ulama hadits yg metode dan kecenderungan merka berbeda-beda, baik penafsiran merka yg berdasarkan riwayat yg bersumber dari Rosulullah SAW, Sahabat atau Tabi^in ( tafsir bil ma^tsur) atau berdasarkan rasio, ijtihad (tafsir bil ra^y) dan mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan kecenderungan masing-masing yg berbeda dalam penafsiran Al Qur-an.
Mufassir dengan metode ini dituntut mampu nenganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir yg mereka kemukakan untuk kemudian mengambil sikap untuk menerima penafsiran yg dinilai benar dan menolak penafsiran yg tidak dapat diterima oleh rasionya serta menjelaskan kepada pembaca alasan dari sikap yang diambilnya, sehingga pembaca merasa puas.

IV. Tafsir Maudhu`i
Metode tafsir Maudhu^i / tematik adalah suatu metode penafsiran Al Qur-an dimana seorang mufassir mengkaji Al Qur-an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan dalam Al Qur-an, baik yang berkaitan dengan hal kehidupan, sosiologi, ataupan kosmologi (Muhaimin, 1994: 120) . Dalam metode ini, semua ayat yg berkaitan, dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yg terkait dengannya, seperti asbaabun nuzul, kosa kata, dsb. Semuanya dikaji secara rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yg dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Ciri-ciri:
Sesuai dengan namanya, maka yg menjadi ciri utama dari metode ini ialah penonjolan tema, judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal (Baidan, 1998: 152)
Tafsir Maudhu^i mempunyai dua bentuk kajian yg menjadi ciri utamanya: Pertama, pembahasan mengenai satusurat secara menyeluruh dan utuh dgn menjelaskan maksudnya yg bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yg dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yg betul-betul utuh dan cermat. Kedua, menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yg sama-sama membicarakan satu masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupadan diletakkan di bawah satu tema bahasan, selanjutnya ditafsirkan secara Maudhu^i.
Kemudian untuk cara kerjanya (yg menjadi ciri khas metode ini) Abd al- Farmawi (1977: 52) merumuskannya sbb: (a) menetapkan masalah/tema yg akan dibahas; (b) menghimpun ayat-ayat yg berkaitan dgn masalah tersebut; (c) menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya; (d) memahami korelasi ayat-ayat tsb dalam suratnya masing-masing; (e) menyusun pembahasan dalam rangka yg sempurna; (f) melengkapi pembahasan dgn hadits-hadits yg relevan dgn pokok pembahasan; (g) mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dgn jalan menghimpun ayat-ayat yg memiliki pengertian sama, atau mengkompromasikan antara yang ”amm” dengan yang ’khosh”, yang ”mutlak”, yang ”muqoyyad”, atau yg lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu ke dalam satu muara tanpa perbedaan atau pamaksaan.

Contoh Kitab-kitab tafsir bil-Ma’sur yang terkenal :
1). Tafsir yang dinisbahkan kepada Ibn Abbas.
2). Tafsir Ibn ’Uyainah.
3). Tafsir Ibn Abi Hatim.
4). Tafsir Abusy Syaikh bin Hibban.
5). Tafsir Ibn ’Atiyah.
6). Tafsir Abuk Lais Samarqandi, Bahrul Ulum.
7). Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyfu wal Bayan an Tafsiril Qur-an.
8). Tafsir Ibn Jarir at-Tabari, Jami’ul Bayan fii Tafsiril Qur-an.
9). Tafsir Ibn Abi Syaibah.
10.) Tafsir al-Baghowi, Ma’alimut Tanzil.
11). Tafsir Abil Fida’ al-Hafizh Ibn Katsir, Tafsirul Qur-anul Azhim.
12). Tafsir as-Salabi, al-Jawahirul Hisan fii Tafsiril Qur-an.
13). Tafsir Jalaluddin as-Suyuti, ad-Durrul Mantsur fit Tafsiri bil Ma’sur.
14). Tafsir asy-Syaukani, Fathul Qadir.


Contoh Kitab-kitab Tafsir bir-Ra’yi yang terkenal :
1). Tafsir Abdurrahman bin Kaisan al-Asam.
2). Tafsir Abu ’Ali al-Juba’i.
3). Tafsir ’Abdul Jabbar.
4). Tafsir az-Zamakhsyari, al-Kasysyaf ’an Haqa’iqi Gawamidit.
5). Tafsir Fakhruddin ar-Razi, Mafatihul Gaib.
6). Tafsir Ibn Furak.
7). Tafsir an-Nasafi, Madarikul Tanzil wa Haqa’iqut Ta’wil.
8). Tafsir al-Khozin, Lubabut Ta’wil fi Ma’anit Tanzil.
9). Tafsir Abu Hayyan, al-Bahrul Muhit.
10). Tafsir al-Baidawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil.
11). Tafsir al-Jalalain; Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti.



---Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pustaka Rizki Putra, 2002.s



KESIMPULAN
Al-Qur`an sebagai ”hudan-linnas” dan “hudan-lilmuttaqin”, maka untuk memahami kandungan al-Qur`an agar mudah diterapkan dalam pengamalan hidup sehari-hari memerlukan pengetahuan dalam mengetahui arti/maknanya, ta`wil, dan tafsirnya sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Sehingga kehendak tujuan ayat al-Qur`an tersebut tepat sasarannya.
Terjemah, tafisr, dan ta`wil diperlukan dalam memahami isi kandungan ayat-ayat al-Qur`an yang mulia. Pengertian terjemah lebih simple dan ringkas karena hanya merubah arti dari bahasa yg satu ke bahasa yg lainnya. Sedangkan istilah tafsir lebih luas ari kata terjemah dan ta’wil , dimana segala sesuatu yg berhubungan dengan ayat, surat, asbaabun nuzul, ddan lain sebagainya dibahas dalam tafsir yg bertujuan untuk memberikan kepahaman isi ayat atau surat tersebut, sehingga mengetahui maksud dan kehendak firman-firman Allah SWT tersebut.





DAFTAR PUSTAKA
---Manna Kholil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur-an, Pustaka Litera Antarnusa 2007,
---Saifullah dkk, Ulumul Qur-an, Prodia Pratama Sejati 2004,
 
Blogger Templates