Subscribe:

Mari Membaca

Ads 468x60px

Social Icons

Senin, 25 Oktober 2010

Mazhab Hanafi

Pendahuluan


Dewasa ini sangat mudah sekali kita temui wanita-wanita yang senang mempertontonkan auratnya tanpa adanya rasa penyelasan, dengan menunjukkan lekuk tubuhnya yang seksi, adalah suatu kebanggaan untuk mereka, padahal itu adalah suatu kesalahan yang fatal akibatnya, kalau mereka benar-benar sayang akan kecantikan dan keindahan tubuhnya tidaklah seharusnya mereka memperlihatkannya karena itu sama saja mengundang nafsu birahi.

Ada juga yang memakai jilbab tapi pakaiannya tetap saja menunjukkan lekuk tubuhnya dan mengatasnamakan Tren, hal itu mereka anggap sangatlah baik padahal mereka telah merusak citra dari memakai jilbab dan menutup aurat itu sendiri.

Syaikh Bakar Abu Zaid menyatakan bahwa Jilbab adalah baju kurung yang tebal yang dikenakan seorang wanita dari kepala hingga kedua kakinya dan menutupi seluruh tubuhnya berikut pakaian dan perhiasan yang dikenakannya.Akan tetapi dalam tulisan ini, fokus utamanya adalah aurat (apa saja yang boleh dilihat dan yang tidak boleh dilihat) bukan jilbabnya. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua.


I. Sejarah singkat Imam Hanafi (Abu Hanifah)

Imam Abu Hanifah adalah seorang pendiri mazhab Hanafi. Nama lengkap beliau adalah Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit bin Zufti at-Tamimi. Dilahirkan di Kuffah 80 H/699 M, pada masa pemerintahan al-Qalid bin Abdul Malik. Beliau berasal dari kalangan seorang pedagang. Dalam hal mendalami ilmu pengetahuan al-Qur’an, beliau sempat belajar pada Imam Asin, seorang ulama terkenal pada masa itu. Selain itu beliau juga mendalami ilmu Fiqh pada sahabat Rasul diantaranya Anas binMalik, Abdullah bin Aufa dan Abu Tufail Amir, beliau juga mendalami hadits dari mereka. Beliau juga pernah belajar pada seorang ulama yangbernama Humaid bin Abu Sulaiman.

Setelah 10 tahun sepeninggal gurunya, yakni 130 H, beliau pergi meninggalkan Kuffah menuju Makkah, disanalah beliau bertemu dengan muridnya Abdullah bin Abbas r.a. semasa hidupnya beliau dikenal sebagai orang yang alim dalam ilmunya, zuhud, sangat tawaddhu’ dan teguh dalam memegang ajaran agama.Imam Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H/769 M, pada usia 70 tahun. Beliau dimakamkan di Khirza. Pada tahun 450 H/1066 M didirikanlah sebuah sekolah yang diberinama Jami’ Abu Hanifah.

Secara garis besar, para imam-imam mazhab sepakat mengenai pengambilan suatu hukum haruslah berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Akan tetapi yang membedakannya terletak pada pencarian suatu hukum yang berdasarkan kaedah-kaedah dasar berupa tujuan moral, illat dan lain sebagainya, maka pengambilan hukum disebut qiyas. Dan perlu diketahui bahwa Abu Hanifah terkenal dengan mazhab rasionalisme, akan tetapi bukan berarti ia mengabaikan nash-nash al-Qur’an dan Sunnah atau meninggalkan ketentuan hadits dan atsar.

I. Ciri khas Imam Hanifah

“saya kembalikan segala persoalan pada Kitabullah, saya merujuk pada sunnah Nabi, namun apabila saya tidak menemukan jawaban hukum dalam Kitabullah ataupun Sunnah Nabi saw, maka saya akan mengambil pendapat para sahabat Nabi dan tidak beralih fatwa selain pada mereka. Apabila masalahnya sampai pada Ibrahim, Sya’bi, Hasan bin Sirin, Atha’ dan Said bin Musayyib, maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”.

a. Imam Hanifah lebih menekankan kepada fiqh muamalah.
b. Beliau memberikan penghargaan khusus kepada pria atau wanita, menurut beliau yang menjadi hakim tidak harus pria tetapi juga hak wanita yang memiliki potensi.

Tidak ada riwayat sahih yang menemukan bahwa AbuHanifah mendahulukan rasio ketimbang al-Qur’an dan as Sunnah. Bahkan jika ia menemukan pendapat sahabat yang benar, ia menolak untuk berijtihad.

Adapun metode yang digunakan beliau dalam menetapkan hukum berdasarkan 8 hal pokok;

1. Al-Qur’an sebagai sumber dari segala hukum.
2. Sunnah Rasul sebagai penjelas terhadap hal-hal global yang ada dalam al-Qur’an.
3. Fatwa Sahabat (Aqwal Assahabat) yaitu karena para sahabat mengetahui turunnya al-Qur’an dan Asbab nuzulnya serta asbabul khuruj hadits dan para perawinya.
4. Qiyas (analogi) penetapan hukum yang memiliki persamaan pada permasalahan atau illat nya yang ada pada qur’an dan sunnah.
5. Istihsan, suatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu dari al-Qur’an dan Sunnah.
6. Ijma’ yaitu kesepakatan para mujtahid dalam suatu kasus hukum pada masa tertentu.
7. Urf ‘yaitu kebiasaan yang dilakukan orang muslim yang tidak ada nashnya baik al-Qur’an maupun Sunnah dan prakteknya pada masa sahabat
8. Hilah Syar’iyyah ialah suatu jalan yang dilalui sebagai upaya untuk keluar dari kesempitan masalah dengan cara yang menurutnya diakui oleh syara’.


II. Contoh Ayat dan Tafsir serta Penjelasan para Imam

Dalam permasalahan aurat bagi wanita para imam berpendapat;

Artinya:
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(al-Ahzab; 59)

Berkata Imam At-Thabari dalam tafsirnya bahwa maknanya, Allah swt berfirman pada Nabi saw: Hai Nabi, katakan pada istrimu, anak-anak-mu dan wanita muslimah: Janganlah kalian menyerupai wanita-wanita lain dalam cara berpakaiannya (yatasyabbahna bil ima’i fi libasihinna) yaitu dengan membiarkan rambut dan wajah terbuka, melainkan tutup semua itu dengan jilbab.

Sedangkan Imam Ibnu Katsir mengatakan maknanya: Allah swt menyampaikan kepada Nabi agar memerintahkan kepada semua wanita muslimah agar menjaga kehormatan mereka dan agar mereka berbeda dengan cara berpakaiannya wanita jahiliyyah yaitu hendaklah gunakan jilbab.

Imam Al Qurtubi dalam Tafsirnya mengatakan: “Hukum yang nampak dari lafazh ayat ini menurut pendapat saya adalah hendaknya seorang wanita bersungguh-sungguh untuk tidak menampakkan perhiasannya, adapun pengecualian itu berlaku pada saat darurat yang memang memerlukan gerakan yang di butuhkan.

IV. Pendapat Para Imam Mengenai Aurat Bagi Wanita

a. Madzhab Hanafi
Dalam kitab al-Mansukh karangan Asy-Syarkasyi dikatakan “kepala wanita itu aurat” dan disebutkan pula disana “wanita yang berikhram tidak boleh menutup wajahnya” oleh karenanya wanita hanya memakai pakaian berjahit yang menutup kepala namun tidak menutup wajahnya. Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa madzhab Hanafi berpendapat bahwasannya aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Beberapa ulama menyatakan, perempuan diharuskan menutup telapak kakinya ketika shalat, seperti yang sering dipraktekkan umat Islam Indonesia. Tetapi, bagi ulama mazhab Hanafi, seperti dituturkan az-Zaila'i, hadis ini dianggap lemah, termasuk oleh Ibn al-Jawzi dan Ibn Hatim (Nashb ar-Rayah, juz II, h. 300). Karenanya, ulama Hanafi memperkenankan telapak kaki perempuan untuk terbuka, di dalam dan di luar sembahyang.

b. Imam Malik
Termuat dalam al-Muwattha, suatu ketika imam Malik ditanya, “bolehkah wanita makan bersama pria yang bukan mahromnya atau pembantu laki-laki?” lalu imam Malik menjawab, “tidak apa-apa kalau hal itu dilakukan dengan cara yang dikenal wanita untuk makan bersama laki-laki. Beliau berkata dan kadang wanita makan bersama suaminya dan orang lain teman suaminya.

Menurut Abul Qasim perkataan ini membolehkan wanita menampakkan wajah dan kedua telapak tangannya kepada lelaki asing, sebab tidak tergambarkan keadaan makan kecuali dengan menampakkan wajah dan tangan. Imam Malik juga menyatakan bahwa jika seorang wanita merasa wajahnya atau dua telapak tangannya terasa indah sehingga dikhawatirkan timbul fitnah bagi orang yang melihatnya, maka sebaiknya ia menutup bagian tersebut.

Disebutkan dalam kitab al-Mudhawanatul Kubro imam Malik berkata “Jika wanita melakukan shalat sedangkan rambutnya tampak atau dadanya tampak, atau punggung kakinya tampak maka hendaklah ia mengulang selama masih dalam waktunya”.

c. Madzhab Syafii
Disebutkan dalam kitab al-Umm, “Dan tidak boleh pria dan wanita melakukan shalat kecuali dengan menutup aurat. Aurat laki-laki ialah apa yang ada dalam pusar hingga lutut dan wanita harus menutup seluruh tubuhnya ketika shalat selain kedua telapak tangan dan wajahnya.

Disebutkan pula dalam kitab al-Muhadzadzab karangan Asy_Syairozi “Adapun wanita merdeka maka seluruh tubuhnya adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangan”, mengingat firman Allah yang menyatakan untuk menampakkan wajah dalam jual beli, dan telapak tangan untuk mengambil dan memberi, maka yang demikian itu tidak dijadikan aurat. Dan pada tempat lain disebutkan, “Jika seorang hendak menikahi seorang wanita maka boleh lah ia melihat wajah dan telapak tangannya, dan tidak boleh melihat selain keduanya, karena kedua hal itu aurat.

d. Madzhab Hanbali
Disebutkan dalam al-Mukhtasor karangan al-Khiraqi mengatakan “Maka jika ada sesuatu selain wajah yang terbuka dari wanita maka ia harus mengulang shalatnya”. Disebutkan pula dalam kitab al-Hidayah karangan al-Khaludzani “aurat wanita merdeka adalah seluruh badannya kecuali wajahnya, sedangkan mengenai kedua telapak tangan ada dua riwayat. Dalam kitab al-Ifshah ‟Anish-Shashihah karangan Ibnu Hubirah“ dan Ahmad berkata di salah satu dari dua riwayatnya, “Semuanya adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangannya”. Dalam riwayat lain disebutkan “Semuanya adalah aurat kecuali wajahnya saja”. Dan itulah yang masyhur dan pendapat inilah yang dipilih oleh al-Khiraqi. Sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa seluruh anggota tubuh wanita (dari ujung rambut sampai ujung kaki bahkan sampai dengan kuku-kukunya) adalah aurat.

1 komentar:

masruralun mengatakan...

sedikit krng jlas, tpi setdanya sdah membantu sukron

Posting Komentar

Silakan anda komentar blog ini dan budayakan memberikan pendapat
terima kasih

 
Blogger Templates