PENDAHULUAN
Al-Qur’an
adalah wahyu Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Untuk disampaikan
kepada umatnya yang berisi ajaran-ajaran Allah meliputi akidah, syariah, ajaran
moral/akhlak, sejarah, dan hubungan antara manusia. Nabi Muhammad diutus kemuka
bumi ini dengan tugas menyampaikan risalah kenabiannya dan wahyu sebagai
sumbernya. Al-Qur’an sebagai kitab suci umat islam senantiasa dijaga
kesuciannya dan kemuliaannya, dipelihara orisinalitasnya dari tangan-tangan
jahil, baik dalam bentuk tahrif, tabdid,
taghyir, atau bentuk lainnya.
Para
ulama dan ulama al-Qur’an, mufassir, para qari’, para huffad, para khattat
al-qur’an, dengan kea nya masing-masing satu sama lainnya memiliki tugas untuk
menjaga dan memelihara kesucian dan kemurnian serta orisinalitasnya. Begitu
pula umat islam pada umumnya. Oleh karena itu bila ada upaya sedikit saja dari
pihak-pihak lain untuk merusak kesucian dan kemurnian serta orisinalitasnya,
maka akan hlian dan kepakaran di bidang muncul reaksi dari masyarakat,
khususnya umat islam.
Berkaitan
dengan upaya-upaya pemeliharaan tersebut, ada suatu lembaga yang secara
fungsional diberi tugas untuk itu. Lembaga tersebut adalah Lajnah Pentashih
Mushaf Al-Qur’an yang untuk selanjutnya disebut Lajnah.
PEMBAHASAN
PENULISAN
MUSHAF DI INDONESIA
A.
Lajnah
pentashih Mushaf Litbang Depag dan peranannya
Lajnah secara kelembagaan
dibentuk pada 1 oktober 1959 berdasarkan peraturan menteri muda dan agama no. 11 tahun 1959. Lajnah merupakan
salah satu unit di badan litbang dan diklat depag RI yang memberikan pelayanan
kepada masyarakat, khususnya kepada penerbit dalam hal pentashihan atau
pengoreksian terhadap al-qur’an yang
akan diterbitkan. Oleh karena itu, tugas utama lajnah adalah memelihara
kebenaran penulisan dan penerbitan di Indonesia melalui pentashihan, disamping
memberikan penerangan kepada masyarakat berkaitan dengan peredaran mushaf
al-qur’an di Indonesia. [1]
Namun,
sekedar sharing idea, dengan masuknya Bayt al-Qur’an dan museum Istiqlal
yang nota bene menangani benda-benda budaya dan manuskrip Islami, tugas
lajnah bukan saja menjadi lebih luas dan kurang focus, tetapi pada saat yang
sama, jika tidak diantisipasi dapat saja mereduksi tugas utamanya dalam hal
memelihara kebenaran al-Qur’an, khususnya yang beredar di Indonesia.
Lajnah
sebagai lembaga yang memiliki tugas-tugas pokok pentashihan di bidang al-qur’an
memiliki pedoman kerja yang sifatnya tertulis untuk melakukan tugas-tugasnya.
Pedoman praktis tersebut memuat aturan dan tata cara penulisan al-qur’an yang sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan
al-Qur’an rosm usmani. Dengan mengetahui dan menjiwai prinsip-prinsip pokok
penulisan tersebut para pentashih diharapkan dapat melakukan tugasnya dengan
baik, cermat, cepat dan akurat.
B.
Sejarah
penulisan mushaf di Indonesia
Pada tahun 1984
telah dikeluarkan surat keputusan menteri agama no. 25 tentang penetapan
al-Qur’an standar Indonesia yaitu al-Qur’an standar rasm usmani, al-Qur’an
standar bahriah(al-Qur’an sudut), al-Qur’an standar Braille. Pada tahun yang
sama dikeluarkan pula interuksi menteri agama no. 7 tentang keharusan bagi
Lajnah mempergunakan al-Qur’an standar sebagai pedoman melaksanakan tugas
pentashihan dan mengusahakan kepada penerbit agar penerbit sudah menggunakan
al-Qur’an standar dalam menerbitkan al-Quran[2].
Maka sejak itulah al-Qur’an standar Indonesia dijadikan rujukan dan pedoman
bagi Lajnah untuk mentashih seluruh produk al-qur’an yang akan dicetak atau
diterbitkan di Indonesia.
Pada dasarnya penulisan rasm al-qur’an standar
Indonesia mengacu pada al-Qur’an terbitan Depag 1960, dan sebagai pedoman untuk
tanda-tanda baca.[3] Hal ini dikarenakan prinsip pokok penulisan
mushaf al-Qur’an menyangkut beberapa
hal, diantaranya tentang penulisan rosm, penulisan harokat, penulisan
tanda-tanda tajwid, penulisan tanda waqaf, dan ketentuan-ketentuan khusus
lainnya. Hal ini dimaksutkan supaya tanda-tanda baca tidak menimbulkan
kebingungan, dikarenakan ada berbagai dan perbedaan variasi al-Qur’an terbitan
luar negeri. Jadi ketika tanda-tanda baca al-qur’an itu digunakan secara
bersama-sama sebagai variasi, akan dapat menimbulkan kebingungan di kalangan masyaraka
terutama kalangan pembaca yang masih awam. Misalnya saja penulisan tanda-tanda
waqaf dalam berbagai al-Qur’an yang beredar
di Indonesia beragam jenisnya yang dilambangkan dalam huruf dan begitu
pula terdapat keberagaman dalam penempatan tanda-tanda waqaf tersebut dalam
ayat-ayat al-Qur’an.
Penempatan tanda-tanda waqaf
akan memepengaruhi dalam memahahi arti dan tafsiran ayat yang berbeda antara
satu mufassir dengan mufassir lainnya. Dalam hal memaknai/memahami fungsi tanda
waqaf itu sendiri akan berpengaruh terhadap penulisan harakat pada ayat-ayat
al-Qur’an tersebut.
Dalam hal penetapan
tanda-tanda baca menjadi tanda-tanda baca yang distandarkan diperlukan waktu yang cukup panjang. Dan
untuk menemukan formula tanda-tanda baca tersebut melibatkan para ulama ahli
al-Qur’an dari berbagai pesantren dan kalangan cerdik cendekia dalam bidang
al-Quran. Diperlukan sekitar 9 kali musyawarah kerja (MUKER) ulama ahli al-Qur’an
beserta Lajnah untuk membahasnya sehingga terwujud apa yang disebut Mushaf
Usmani Standar Indonesia.
C.
Mushaf
Istiqlal
Dalam
pembukaan festival istiqlal I pada 15 oktober 1991, telah ditetapkan juga
peresmian dimulainya penulisan mushaf istiqlal. Dan pada tahun 1995 kerja keras
yang luar biasa untuk penulisan mushaf tersebut selesai digarap. Karya tersebut
terdiri dari 3 kumpulan yang masing-masing terdiri atas 10 juz yang disimpan
dalam 3 peti terpisah. Setiap lembar halaman kertas berukuran 123 cm x 88 cm.
manuskrip asli mushaf istiqlal dipertontonkan ke publik lewat pameran besar
kebudayaan Islam Indonesia, yaitu pada festival istqlal ke II tahun 1995, yang
mendapat sambutan publik yang cukup besar. Dan baru pada tahun 1997, karya
tersebut selesai dicetak dalam 2 macam edisi, yaitu edisi luks (24 cm x 29 cm)
dan edisi koleksi museum (35 cm x 43,5 cm) yang masing-masing terdiri dari 3
jilid cetak.
Hal-hal
yang menggembirakan adalah sosok mushaf istiqlal yang ternyata sangat menawan
dan inspiratif di beberapa daerah di Indonesia dan bahkan di Negara tetangga,
seperti Malaysia. Bentuk iluminasinya tidak sekedar hiasan yang cantik, tapi
mempunyai sifat ilusi cahaya yang memancar dari ayat-ayat yang tersurat dari
dalam keluar. Selain wajahnya indah,
khatnya juga mudah dibaca kalangan masyarakat awam serta sesuai dengan standar
peraturan penulisan al-qur’an oleh Depag RI. Keagungan mushaf ini sekaligus menggambarkan
kemantapan kekuasaan dan politik persatuan yang mencoba menghimpun seluruh bentuk seni ornamen dari seluruh
etnik dan lingkungan budaya yang ada di Indonesia. Terciptalah 42 varian
ornamen yang diangkat dari lingkungan budaya daerah yang jauh lebih besar lagi
jumlahnya oleh peta politik yang diperlihatkan oleh adanya 27 propinsi.
Selain
mushaf istiqlal di Indonesia secara berturut-turut telah lahir pula beberapa
mushaf baru, seperti Mushaf Sundawi –
Jawa Barat (1996 - 1997), Mushaf Attin (1997 - 1999), Mushaf Jakarta
(1999 - 2002), Mushaf Kalimantan Barat (2001 - 2002), dll.
D.
Mushaf
Sundawi (ja - bar)
Mushaf
Sundawi lahir dan terbit pada bulan januari 1997 di kota Bandung – Jawa Barat
atas prakarsa mantan gubernur H. R
Nuriana. Penulisan dan perencanaannya menelan waktu 1,5 tahun (14 agustus 1995
– 25 januari 1997). Idenya disampaikan dalam peringatan maulid
Nabi SAW. Dua tahun sebelumnya.
Bahan-
bahan yang digunakan antara lain cat akrilik Winsor & Newton buatan
Inggris. Sedangkan kertasnya adalah jenis Conqueror Laid, tipe Riple Art
Special warna China White, buatan Inggris pula. Adapun tinta hitamnya bermerk
Dr. Ph. Martin’s Black Star buatan Amerika. Sedangkan tinta emasnya dibuat dari
bubuk emas serta emas lembaran buatan Jepang dan Taiwan
Setiap
halaman Mushaf Sundawi terdiri atas 15 baris, kecuali halaman-halaman
istimewa/halaman khusus seperti ummul al-Qur’an, nisf al-Qur’an, dan khatm al-Qur’an
yang disesuaikan dengan bentuk dan
ukurannya. Setiap juz masing-masing terdiri atas 24 halaman, kecuali juz 1, 15,
19, dan 30 mempunyai halaman lebih banyak.
Daya
tariknya terutama terletak pada iluminasinya atau dekorasinya. Terasa ada upaya
untuk berpijak pada budaya Sunda seraya mewadahi ragam hias yang hidup di Jawa
Barat. Dalam mushaf ini ada 17 ragam desain iluminasi yang dianggap mewakili
wilayah budaya di Jawa Barat, yang sumber
ragam hias itu diambil dari motif-motif tradisional yang
dikembangkan dengan sumber ragam hias lain khas Jawa Barat. Iluminasi tiap juz
dalam tiap mushaf ini berbeda-beda, baik menyangkut motifnya, maupun menyangkut
tata warnanya.
Dalam
frame-nya, iluminasi Mushaf Sundawi memperlihatkan banyak motif kembang dan
daun, bak hiasan batik. Sedangkan bagian atasnya serupa tiara, tampak bersumber
dari gaya arsitektur tradisional pucuk atap masjid yang lazim dilihat di Banten
atau Cirebon.
Manuskrip
aslinya disimpan dalam peti kayu jati pendam yang indah berukir dan bertahtakan
bebatuan dari Sukabumi serta ornamen berlapis emas dan dipamerkan secara tetap
di Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal di komplek Pusdai (Islamic Center), jalan
Diponegoro Bandung. Mushaf Sundawi sudah mengalami 2 edisi cetakan, dimana
cetakan kedua mengalami beberapa perbaikan dan koreksi serta bersetifikat.
E.
mushaf Wonosobo
Penggagas
al-Qur’an raksasa tersebut adalah pengasuh Ponpes Al-Asy’ariyah, KH. Muntaha
al-Hafidz (alm) yang akrab dipanggil Mbah Mun. Beliau ingin al-Qur’an langgeng
diseluruh Indonesia, dan alasan lainnya adalah beliau bermaksut menjaga warisan
kakeknya, KH. Abdurrohim (seorang ahli menulis mushaf al-qur’an). Karya KH.
Abdurrohim tersebut hilang saat al-Asy’ariyyah diserbu tentara Belanda pada
agresi militer ke II tahun 1948.
Awalnya
al-Qur’an raksasa tersebut ditulis di atas kertas berukuran 1 m x 1,2 m. kebetulan
pada saat mereka telah merampungkan 2 juz, menteri penerangan Harmoko
berkunjung ke Ponpes al-Asy’ariyyah. Mbah mun pun mengungkap proyek besarnya
kepada orang dekat presiden Soeharto itu. Lalu dikirimlah 1000 lembar kertas
berukuran 2 m x 1,5 m.
Penulisan
al-Qur’an tersebut dimulai oktober 1991 – desember 1992. Ornamen yang dipakai
adalah ornamen khas Indonesia dengan motif tumbuh-tumbuhan bertuliskan
al-Asy’ariyah agar nama pesantren tersebut terukir disana. Khat dalam mushaf
ini ditulis oleh Hayatuddin menggunakan peralatan tradisional karena kertasnya
besar, jadi huruf dan ornamennya juga harus lebih lebar. Maka dipakailah
Gambung wuluh yang diraut menjadi mata pena yang besarnya sesuai kebutuhan.
Mushaf itu ditulis dalam kondisi suci dan pembuatannyapun dalam ruangan khusus
yang tertutup. Orang yang datang ke ruangan kerja tidak diperkenankan menyentuh
mushaf. Hasilnya, terciptalah al-Qur’an terbesar yang pertaman dibuat. Sisa
kertas besar dari proyek pertama itu mendorong Mbah Mun mengajak santrinya
untuk berkarya lagi. Lahirlah mushaf raksasa yang kedua dan ketiga yang kini
disimpan di Masjid at-Tin TMII dan Islamic Center Jakarta.
Menurut
KH. Ahmad Faqih, Pesantren yang kini dipimpinnya tidak lagi membuat mushaf
raksasa, karena mulai mushaf ke-4 pembuatannya ditangani oleo UNSIQ Kalibeber
Wonosobo, sebuah Perguruan Tinggi yang berada dalam satu Yayasan dengan Ponpes
al-Asy’ariyah. Mulai penulisan mushaf ke-4 hingga ke-6 ornamennya sudah di
cetak dengan computer walau khatnya masih dengan tangan.
Kreasi
unik lainnya adalah mushaf terberat di dunia. Karya ini di gagas oleo pimpinan
Ponpes al-Ashiriyah Nurul Iman Parung Bogor, Habib Saggaf bin Mahdi bersama
Sembilan Ulama’ lainnya. Ketika menulis mereka harus suci dan berpuasa. Mushaf
seberat 1,3 ton yang terbuat dari lempengan aluminium itu dibuat selama 5 tahun
sejak 1985. Mushaf ini dibuat sebelum adanya Ponpes Nurul Iman. Mushaf
berukuran 120x100 cm tersebut setiap juznya membutuhkan satu lempengan. Jadi
total seluruhnya 300 lempengan untuk 30 juz.
F. Mushaf Aceh
Al-Qur’an
dari Aceh mudah dikenal dari bentuk dan hiasannya. Mushaf tersebut kini telah
menjadi koleksi baik berbagai lembaga di dalam dan luar negeri. Al-Qur’an dari
Aceh memiliki gaya khas dan biasanya mudah diidentifikasi dengan jelas melalui
pola dasar, motif dasar dan pewarnaanya. Iluminasi dua halaman simetris diawal
Al-Qur’an berisi surah Fatihah dan al-Baqarah. Dalam tradisi Aceh,
naskah-naskah Al-Qur’an yang diiluminasi diawal juz ke-16 banyak yang
mengesankan seakan-akan Al-Qur’an itu di bagi menjadi dua bagian meskipun dua
bagian itu selalu dalam satu jilid. Pembagian tersebut kadang-kadang tampak
cukup jelas karena di akhir juz 15 banyak yang ditandai semacam garis khusus berbentuk
segitiga bahkan dibubuhi kata Tamm.
Pola dasar iluminasi
Al-Qur’an khas Aceh biasanya dicirikan dengan;
Ø Bentuk
persegi dengan garis vertical disisi kanan dan kiri yang menonjol keatas dan ke
bawah, biasanya dalam bentuk lancip dan lengkungan.
Ø Bentuk semacam
kubah diatas, bawah dan sisi luar.
Ø Hiasan
semacam kuncup diatas macam-macam kubah tersebut.
Ø Hiasan
sepasang sayap kecil disebelah kiri dan kanan halaman iluminasi.
Iluminasi
khas tersebut tidak hanya terdapat dalam Al-Qur’an namun juga dalam naskah-naskah
keagamaan selain Al-Qur’an. Warna yang dipakai terutama adalah merah, kuning,
hitam, dan putih namun tidak menggunakan tinta atau cat putih tetapi warna
kertasnya itu sendiri. Warna biru adalah warna lain yang khusus digunakan dalam
pola iluminasi mushaf aceh yang berbeda.
Dalam
masa Al-Qur’an, kaligrafi khas unik Aceh
muncul dalam nisf, rubu’ dan tsumun yang terletak di sisi luar halaman teks
Al-Qur’an. Dalam sebagian naskah, tulisan yang merupakan tanda baca tersebut
tampak tidak mengutamakan keterbacaan namun lebih mengedepankan ekspresi
artistic tertentu sebagai bagian dari dekorasi mushaf. Dilihat dari segi huruf,
komposisi tulisan tersebut tidak mudah dibaca, namun tampaknya memang bukan
keterbacaan itu yang ingin dicapai penulisnya, melainkan sekedar memberikan
tanda bahwa ditempat tersebut terdapat tanda baca. Dan komposisi artistic
tersebut disesuaikan dengan motif hiasan floral khas Aceh. Jadi komposisis
tersebut sangat mungkin digubah oleh illuminator naskah bukan oleh penyalin
naskah.
G. Mushaf Batik Cirebon
Mushaf
sarung batik berasal dari kesultanan Cirebon-Jabar, lengkap 30 juz dan dijilid
ulang. Mushaf ini ditulis di atas kertas Eropa yang memiliki watermark Pro
Patria. Ukurannya 42 cm x 27 cm, dan tebalnya 6 cm. warna teks adalah hitam.
Jumlah baris dalam mushaf ini biasanya adalah 15 baris. System penulisannya
mengalir apa adanya, akhir halaman tidak mesti diakhiri dengan akhir ayat. Pada
bagian versi dari setiap folio terdapat kata alihan (catchword).
Hiasan
pada mushaf ini juga terdapat pada ummul Qur’an, nisf Qur’an, dan khatmul
Qur’an. Mushaf ini tergolong unik karena hiasan pada bagian tengahnya
menyerupai gambar mata tapi diletakkan secara vertical. Pola ini belum pernah
terindentivikasi sebelumnya. Fungsi
hiasan seperti ini belum diketahui dengan jelas, tetapi dapat diduga hal itu
melambangkan bahwa Allah Maha Melihat, bahkan pada hal-hal yang paling dalam.
Sementara
pada hiasan pada awal dan akhir mushaf memiliki pola yang sama, yakni berupa
dua buah bingkai berhias yang diletakkan secara berhadapan pada halaman kiri
dan kanan. Bingkai teks berupa kotak tebal yang diisi hiasan bermotif tumbuhan,
dan di tiga sisinya terdapat sayap seperti kubah masjid, yang juga diisi dengan
hiasan dan bentuk setengah lingkaran bermotif tumbuhan.
Bingkai
kepala pada Mushaf Batik Cirebon sama dengan bingkai teks ayat, yakni berupa
garis sebanyak empat lajur dengan pola merah-hitam-hitam-hitam. Nama surat,
keterangan jumlah ayat, dan keterangan tempat turunnya surat details dengan
kaligrafi tsulus berwarna merah. Pada tepi halaman mushaf ini hanya terdapat
hiasan untuk tanda juz. Tanda-tanda lain yang menunjukkan hizb, rubu’, nisf,
tsumun, asyr dibuat dengan kaligrafi tsulus dengan tinta berwarna merah tanpa
diberi hiasan tertentu. Hiasan tanda juz berbentuk lingkaran dengan empat buah
garis lingkaran. Pada bagian tengahnya diberi latar warna merah atau biru.
Bagian luar lingkaran dihias dengan motif tumbuhan, sebagian dihias pada bagian
bawah dan atasnya dengan motif bunga dan dedaunan yang meruncing ke
masing-masing ujungnya. Tulisan juz yang menunjukkan juz bersangkutan ditulis
dengan angka, bukan dengan huruf dan diletakkan di dalam lingkaran tersebut.
KESIMPULAN
1.
Lajnah adalah salah satu unit
di bidang Litbang dan Diklat Depag RI yang memberi layanan kepada masyarakat,
khususnya penerbit dalam bidang pentashihan atau pengoreksian terhadap
al-Qur’an yang akan diterbitkan.
2.
Kehadiran al-Qur’an standar
Indonesia melalui suatu proses yang cukup panjang dan lama. Sekitar 10 tahun
lamanya para ulama al-Qur’an melaksanakan musyawarah kerja (MUKER) untuk
menyepakati rumusan-rumusan dalam system penulisan al-Qur’an standar tersebut.
3.
Mushaf Istiqlal ditulis dari
tahun 1990 dan selesai pada tahun 1995 yang sangat menawan dan inspiratif di
beberapa daerah di Indonesia. Ada 42 varian ornament yang diangkat dari
karakter inti setiap lingkungan budaya daerah.
4.
Mushaf Sundawi lahir dan
terbit pada bulan januari 1997 di kota Bandung – Jawa Barat atas prakarsa
mantan gubernur H. R Nuriana. Penulisan
dan perencanaannya menelan waktu 1,5 tahun (14 agustus 1995 – 25 januari 1997). Dalam mushaf ini ada 17
ragam desain iluminasi, yang dianggap mewakili 17 wilayah budaya Jawa barat,
mulai dari ragam hias Banten hingga ragam hias Cirebon, sebagai ide gambarnya.
Setiap ragam hias menghiasi satu juz. Jadi, iluminasi tiap juz dalam mushaf ini
berbeda-beda.
5.
Mushaf wonosobo tersebut
merupakan al-Qur’an terbesar. Pembuatan al-Qur’an raksasa dari Ponpes Al-As’ariyyah,
Kalibeber, Wonosobo. Dengan motif Ornamen khas Indonesia bermotif
tumbuh-tumbuhan bertuliskan Al-As’ariyyah agar nama pesantren tetap terukir
disana. Penggagas al-Qur’an raksasa
tersebut adalah pengasuh Ponpes Al-As’ariyyah (alm) KH Mutaha al-Hafidz yang
akrab disapa mbah Mun.
6.
Al-Qur’an dari Aceh mudah
dikenal dari bentuk dan hiasannya. Mushaf tersebut kini telah menjadi koleksi
baik berbagai lembaga di dalam dan luar negeri. Al-Qur’an dari Aceh memiliki
gaya khas dan biasanya mudah diidentifikasi dengan jelas melalui pola dasar,
motif dasar dan pewarnaanya.
7.
Mushaf sarung batik berasal
dari kesultanan Cirebon-Jabar. System penulisannya mengalir apa adanya, akhir
halaman tidak mesti diakhiri dengan akhir ayat. Mushaf ini tergolong unik karena
hiasan pada bagian tengahnya menyerupai gambar mata tapi diletakkan secara
vertical. Sementara pada hiasan pada awal dan akhir mushaf memiliki pola yang
sama, yakni berupa dua buah bingkai berhias yang diletakkan secara berhadapan
pada halaman kiri dan kanan.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan anda komentar blog ini dan budayakan memberikan pendapat
terima kasih